Opini
Menggagas Kongres Wakaf Aceh
Gagasan menghidupkan wakaf di daerah kita juga menjadi salah satu pesan yang sering disampaikan oleh Nazhir Wakaf Baitul Asyi, Syeikh Dr Abdul Latif B
Fahmi M Nasir, Pengamat perkembangan wakaf
SETIAP musim haji, sejak tahun 2006, wakaf menjadi topik pemberitaan dan pembicaraan yang dominan di Aceh. Hal ini disebabkan adanya dana wakaf yang diterima para jamaah haji Aceh. Dana ini bersumber dari hasil pengelolaan Wakaf Baitul Asyi.
Serambi Indonesia pada 27 Mei lalu memberitakan bahwa setiap jamaah haji Aceh, yang tahun ini berjumlah 4.850 orang, akan menerima dana wakaf sebesar 1.500 Riyal. Ini berarti total dana wakaf yang diterima kali ini adalah sebesar 7.275.000 Riyal atau sekitar 31,54 miliar rupiah.
Melalui kolom opini "Baitul Asyi dan Jamaah Haji Aceh" di SI pada 30 Mei 2024, Al Yasa' Abubakar selain memaparkan sejarah dan cikal bakal dana wakaf yang diterima serta memperkenalkan nazhir wakaf yang berjasa mengelola aset wakaf secara produktif, ia juga mengajak kita semua menghidupkan dan menggalakkan kesadaran serta kemauan berwakaf di daerah asal kita.
Gagasan menghidupkan wakaf di daerah kita juga menjadi salah satu pesan yang sering disampaikan oleh Nazhir Wakaf Baitul Asyi, Syeikh Dr Abdul Latif Baltou. Ketika penulis, bersama Jamaluddin Affan, bertemu Syeikh Baltou pada April 2019, ia menyampaikan bahwa rakyat Aceh tidak perlu khawatir dengan keberlanjutan dana Wakaf Baitul Asyi karena siapa pun yang menjadi nazhirnya haruslah mengelola aset wakaf tersebut sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh Mahkamah Mekkah.
Ia berharap keberadaan Wakaf Baitul Asyi hendaklah menjadi inspirasi bagi kita untuk mengembangkan aset wakaf di Aceh secara produktif. Pesan Syeikh Baltou perlu kita tindak lanjuti agar momentum wakaf ini tidak hanya hadir ketika musim haji saja, akan tetapi terjaga sepanjang tahun sehingga dapat menjadikan wakaf sebagai gaya hidup.
Apa tolok ukur wakaf sudah menjadi gaya hidup? Birol Baskan, penulis dari Turki, menukilkan dengan indah mengenai budaya wakaf Turki pada masa Kerajaan Usmani. Ia menulis bahwa, “Seseorang itu mungkin akan lahir di rumah wakaf, tidur di dalam ayunan wakaf, makan dan minum dari hasil aset wakaf, ketika membaca buku, buku-buku itu pun berasal dari wakaf, belajar di sekolah wakaf, bekerja di lembaga wakaf, ketika dia meninggal dunia dia akan dibawa dengan keranda jenazah yang merupakan aset wakaf dan selanjutnya dimakamkan di pemakaman wakaf”.
Pertanyaannya adalah bagaimana bisa mencapai standar wakaf yang tinggi seperti ini, sedangkan perkembangan wakaf di daerah kita masih belum begitu signifikan dibandingkan dengan rekam jejak sebelumnya dan potensi yang ada sekarang?
Penulis melihat bahwa langkah yang perlu segera diambil oleh pemangku kepentingan wakaf di Aceh adalah melaksanakan Kongres Wakaf Aceh (KWA). Mengapa demikian? KWA akan menjadi tempat para pemangku kepentingan bertukar pikiran dan gagasan, mengidentifikasi segala tantangan dan potensi sektor wakaf, menawarkan solusi pengembangan wakaf secara komprehensif, mengidentifikasi mitra dan calon mitra untuk mengembangkan aset wakaf di Aceh, dan menghasilkan dokumen Rencana Induk Wakaf Aceh (RIWA) yang menjadi pedoman pengembangan wakaf di daerah kita. KWA ini kemudian akan menjadi landasan awal pengembangan wakaf secara komprehensif setelah sekian lama kita belum memiliki program pengembangan wakaf yang tersusun rapi.
Agenda kongres
Agenda apa saja yang perlu ada di kongres tersebut? Penulis mengusulkan setidaknya ada empat agenda utama, yaitu: Pertama, sesi sharing (berbagi) oleh para praktisi wakaf dan sesi seminar wakaf. Kedua, Focus Group Discussion (FGD) Pengembangan Wakaf Aceh. Ketiga, sesi pemaparan potensi dan proposal pengembangan wakaf Aceh. Keempat, sesi business matching (pertemuan bisnis yang terjadwal).
Untuk agenda pertama, panitia dapat memilih para praktisi dan pakar wakaf sebagai nara sumbernya. Praktisi yang diundang ini meliputi nazhir wakaf, mitra nazhir wakaf, dan otoritas yang telah berhasil mengembangkan wakaf. Sedangkan pakar wakaf, bisa dipilih beberapa pakar wakaf yang relevan dan punya rekam jejak bagus di level nasional ataupun internasional.
Di antara praktisi wakaf yang diundang adalah Nazhir Wakaf Baitul Asyi sendiri dan mitra mereka baik mitra pembangunan hotel ataupun mitra yang sekarang ini menjadi pengelola hotel tersebut. Tentu sangat menarik mendengar secara langsung cara mereka mengembangkan Wakaf Baitul Asyi mulai dari skema pembiayaan, skema pengelolaan dan skema bagi hasil.
Menariknya lagi Syeikh Baltou di samping menjadi Nazhir Wakaf Baitul Asyi, ia lebih dahulu dipercaya sebagai Nazhir Wakaf Ahmad Yakub Beik, wakaf yang berasal dari komunitas muslim Uzbekistan. Kesuksesannya mengelola Wakaf Ahmad Yakub Beik, yang merupakan salah satu sebab kenapa ia diangkat sebagai Nazhir Wakaf Baitul Asyi oleh Mahkamah Mekkah, tentu perlu kita teladani.
Panitia juga dapat mengundang pihak yang terlibat dalam berbagai proyek wakaf ikonik seperti Menara Bank Islam Malaysia di Kuala Lumpur, Proyek Komersial Bencoolen di Singapura, dan Menara Zamzam di Mekkah. Pengalaman dan skema pengembangan yang mereka lakukan, tantangan yang mereka hadapi sewaktu merencanakan dan mengimplementasikan proyek tersebut, dan cara pengelolaannya sekarang ini akan memberikan kontribusi besar bagi pemangku kepentingan wakaf di Aceh dalam mengembangkan sektor wakaf ke depan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.