Opini
Geurutè dan Sutra Aceh
Perbukitan Geurutè ini menghadap laut luas, menyajikan pemandangan indah hamparan biru Samudera Hindia hijaunya Pulau Keluang dan Pulau Sudeuen dari
Dari hasil penelusuran awal, saya menemukan bahwa tradisi pembuatan sutra masih bertahan di gampong Lamtamot dan Siem Aceh Besar dimana para pengrajin di dua gampong ini menyebut ulat sutra sebagai ulat saja, dan batang Murbei dengan sebutan bak Karton.
Dari investigasi lanjutan, penulis menemukan bahwa spesies Murbei ternyata memiliki beberapa varian nama di pulau Sumatera. Di Sumatera Barat, tanaman ini dikenal dengan nama Andalas atau Andaleh. Sementara dalam dialek-dialek Melayu lain, termasuk dalam bahasa Gayo, tanaman ini disebut Karatau atau Karto.
Sepertinya, istilah terakhir inilah yang diserap ke dalam Bahasa Aceh tempo dulu saat nenek moyang kita mulai mengadopsi tradisi kerajinan sutra ini.
Penyebutan Karto berubah menjadi Karton dalam dialek Lamtamot. Namun, daerah pedalaman Aceh Jaya masih menyebut Keurto.
Besar kemungkinan orang Aceh tempo dulu sempat menamai tanaman ini sebagai Kartè atau Keurtè . Hipotesis ini berlandas dari pola serapan kosa kata Bahasa Melayu ke dalam Bahasa Aceh yang polanya sering kali demikian, yakni kata berakhiran -au pada kata bahasa Melayu berubah menjadi -o dalam bahasa Aceh (contoh lain, ‘pulau’ – ‘pulo’).
Dan kata berakhiran -u pada Bahasa Melayu lazim juga berubah menjadi akhiran -è dalam Bahasa Aceh (contoh lain: malu – malè). Lalu, lazim juga awalan k- dalam bahasa Melayu, berubah menjadi awalan g- dalam bahasa Aceh, layaknya pada kata ‘kasar’-‘gasa’, ‘kaki’-‘gaki’. Maka Murbei atau Kartau dalam Bahasa Aceh dapat pula menjadi Gartè.
Saya teringat satu lagi hukum perubahan bunyi Melayu-Aceh; bahwa pada suku kata awal dalam Bahasa Melayu, bunyi vokalnya melemah bahkan menghilang di dalam Bahasa Aceh. Misalnya ‘keras’ menjadi ‘kreueh’, ‘kejuruan’ menjadi ‘keujreuen’. Maka, Kata Garatè atau Gartè tadi, saat dibunyikan dengan dialek Aceh akan menjadi Geurutè atau Geurtè.
Maka, berdasarkan analisis mini ini, dapat kita simpulkan bahwa nama Gunong Geurutè sebenarnya merujuk kepada sebuah nama sebuah tanaman penting di masa lalu: Murbei Hutan, yang daunnya merupakan makanan utama ulat sutera. Beberapa dialek memilih menyebut Keurto (Lamno), Karton (Aceh Besar-Lamtamot dan Siem), dan Geurutè (dialek Aceh lain). Namun mungkin karena istilah Keurto dan Karton lebih popular, orang-orang berhenti memakai istilah Geurutè untuk tanaman Murbei tersebut.
Sebagai perbandingan, di pedalaman Sumatera Selatan, ternyata juga ada desa bernama mirip, Gunung Kerto, yang sepertinya juga merupakan bukti sejarah megahnya tekstil sutra Sumatera di masa lampau. Gunong Geurutè, tentu saja, tidak lain tidak bukan, adalah sebuah bukti raksasa megahnya sutra Aceh berabad-abad lalu.
Teori Ashabiyyah: Siklus Tiga Generasi Ibnu Khaldun |
![]() |
---|
Milad UIN Ar-Raniry: Mengawal Nilai Keislaman dalam Kurikulum |
![]() |
---|
Rotasi Birokrasi Era Disrupsi: Bukan Kursi, tapi Motivasi |
![]() |
---|
Infrastruktur Pariwisata Bernapaskan Syariat untuk Kemakmuran Aceh |
![]() |
---|
Tubuh Kurus di Tengah Piring Penuh karena Cacingan dan Ketimpangan Gizi Anak Indonesia |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.