Jurnalisme Warga
Noda Hitam dalam Tradisi Tunangan di Aceh
Islam memberi batas antara peminang dengan terpinang. Kedua pihak tetaplah bukan mahram sehingga hubungan harus dijaga agar tidak melanggar syariat.
MUHAMMAD, S.Pd., M.Pd., Wakil Dekan I dan Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki) Bireuen, melaporkan dari Kota Lhokseumawe
Tunangan (jak ba tanda) yang berarti seorang laki-laki telah terikat janji dengan seorang perempuan yang akan dinikahinya pada waktu yang telah ditentukan, dalam bahasa Arab disebut ‘khitbah’.
Menurut para ulama, tunangan hukumnya mubah (boleh) karena tunangan dikategorikan sebagai proses pendahuluan atau persiapan yang dilakukan lelaki sebelum menikah dan melakukan pinangan yang mengikat seorang wanita.
Tunangan atau ‘khitbah’ diperbolehkan dalam Islam karena melihat tujuan peminangan atau tunangan hanyalah sekadar mengetahui kerelaan dari pihak wanita yang dipinang.
Meski diperbolehkan, tetapi Islam tetap memberi batas-batas pergaulan yang dilakukan antara peminang dengan si terpinang. Kedua belah pihak tetaplah bukan mahram sehingga hubungan harus dijaga agar tidak melangga.r syariat
Atas dasar itu, rasanya pertunangan yang dilaksanakan di Aceh saat ini tidak lagi mengedepankan anjuran syariat sebagaimana batas ketentuan yang telah ditetapkan.
Tunangan yang sering dipertontonkan saat ini lebih kepada tradisi adat yang mulanya dihukumi mubah menjadi wajib, bahkan muncul asumsi masyarakat bila pernikahan tanpa melalui tunangan bisa dipastikan pertemuan dan pernikahan tersebut tidak baik-baik saja (makna negatif).
Atas asumsi itu, tidak heran jika proses pertunangan di Aceh saat ini dilaksanakan secara berlebihan dan menghebohkan. Bahkan terkadang diviralkan lewat media sosial.
Perjalanan saya ke beberapa daerah berbeda di Aceh cukup mengherankan melihat prosesi tunangan yang dipraktikkan oleh masyarakat dengan tingkat kehebohan yang berbeda-beda. Tidak sedikit di antaranya melaksanakan acara makan bersama antara keluarga calon tunangan pihak perempuan dan laki-laki.
Di tempat yang sama terdapat jamuan khusus untuk calon tunangan laki-laki dan perempuan duduk berhadapan yang didampingi seorang perempuan yang dituakan atau perwakilan adat gampong.
Masih di suasana yang sama, terdapat tahapan yang cukup disayangkan di mana laki-laki dan perempuan saling memasangkan cincin tunangan, setelah itu dilanjutkan dengan foto bersama dan saling memperlihatkan tangan sebagai bukti bahwa sudah melaksanakan pertunangan.
Yang membuat saya bertanya-tanya adalah apa yang dipikirkan para orang tua sehingga proses penyimpangan syariat seperti ini terlaksana dengan rapi dan heboh seolah-olah hal tersebut dibenarkan.
Sebaliknya, pada situasi ini posisi ketua adat dan ‘reusam’ gampong turut dipertanyakan perannya sehingga hal seperti ini seolah menjadi suatu keharusan dan janggal apabila tidak dilaksanakan.
Tidak ada perdebatan kondisi sosial di kota atau di desa, kondisi ini sudah banyak ditemukan di berbagai kalangan masyarakat baik di kota maupun di desa. Justru yang mebedakan saat ini hanyalah mampu atau tidaknya orang tua melaksanakan tradisi tunangan yang ”wah” sebagaimana dideskripsikan di atas.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.