Breaking News

Kupi Beungoh

Dimana MPA di Hari Pendidikan Aceh

Kopelma Darussalam merupakan simbol dan semangat kebangkitan dan titik tolak kemajuan pendidikan di Aceh pasca konflik politik yang berkepanjangan

Editor: Muhammad Hadi
FOR SERAMBINEWS.COM
Dr. Muhibuddin Hanafiah, M.Ag, Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry 

Oleh: Dr. Muhibuddin Hanafiah, M.Ag*)

Di tengah ketidakjelasan legalitas dan kredibilitas kepengurusan Majlis Pendidikan Aceh (MPA) Periode 2024-2029 hasil Mubes, Pemerintah Aceh memperingati Hari Pendidikan Daerah Aceh (Hardikda) ke-65. 

Masyarakat menilai bahwa Pemerintah Aceh tidak saja gagal dalam mengemban amanat rakyat Aceh untuk memajukan pendidikan, tetapi juga gagal dalam menentukan orang-orang yang tepat untuk mengurus pendidikan Aceh yang duduk di MPA

Bagaimana Aceh mengejar ketertinggalan pembangunan di sektor pendidikan bila masih saja berkutat dengan sistem primordial dalam menentukan orang yang benar-benar tepat untuk memberikan kontribusi positif terhadap kemajuan pendidikan Aceh. 

Lalu apa makna dan manfaat bagi rakyat Aceh memperingati hari yang bersejarah ini sedangkan pemerintahnya saja abai dan acuh-tak acuh memikirkan masa depan pendidikan Aceh?

Tahun 1958, pemerintah Daerah Istimewa Aceh mulai membangun kampus Darussalam sebagai Kota Pelajar dan Mahasiswa (Kopelma), sebagai jantoeng hate masyarakat Aceh
Tahun 1958, pemerintah Daerah Istimewa Aceh mulai membangun kampus Darussalam sebagai Kota Pelajar dan Mahasiswa (Kopelma), sebagai jantoeng hate masyarakat Aceh (FOR SERAMBINEWS.COM)

Padahal para founding fathers telah menitipkan amanat mulia ini dengan penuh spirit dan harapan yang lebih baik dari masa mereka dahulu.

Mari kita renungkan tentang rentetan peristiwa besar bersejarah di Aceh pasca tahun 1945 yang menentukan masa depan Aceh adalah berakhirnya konflik Aceh (gerakan DII/ TII di bawah pimpinan Tgk Daud Beureueh, mantan Gubernur Militer Aceh-Sumut) dengan pemerintah pusat tahun 1953. 

Setelah itu beberapa tahun kemudian (1957) pemerintah pusat menetapkan kembali status Aceh sebagai daerah Istimewa.

Setahun berlalu (1958) pemerintah Daerah Istimewa Aceh mulai membangun kampus Darussalam sebagai Kota Pelajar dan Mahasiswa (Kopelma), sebagai jantoeng hate masyarakat Aceh melalui sebuah yayasan yang dibentuk pada 26 Maret 1958, yaitu Yayasan Dana Kesejahteraan Aceh-Yayasan Pembangun Darussalam (YDKA-YPD)  yang berfungsi sebagai pendiri dan pengembang Kopelma Darussalam. Setahun  kemudian, 2 September 1959 Kopelma Darussalam dinyatakan secara resmi berdiri megah. 

Baca juga: Rapat Dengan Menkeu, Haji Uma Minta Dana Pendidikan Rp 722,6 Triliun Diprioritaskan Ke Guru Honorer

Kopelma Darussalam merupakan simbol dan semangat kebangkitan dan titik tolak kemajuan pendidikan di Aceh pasca konflik politik yang berkepanjangan. 

Tugu yang berdiri megah di tengah lapangan kampus Darussalam adalah saksi bisu tentang betapa kobaran hasrat dan api jiwa masyarakat Aceh untuk keluar dari keterbelakang menuju masa depan yang lebih bermartabat.

Pembangunan di bidang pendidikan diakini sebagai salah satu solusi dan kunci untuk menuju cita-cita dan mimpi tersebut. Hanya saja ruh pendidikan yang dibangun tersebut terus mencari bentuk idealitasnya. 

Kendati harapan dan cita-cita ideal pendidikan yang khas Aceh belum terwujud sampai hari ini, ikhtiar ke arah itu terus saja dilakukan oleh pemerintah di Aceh dengan dukungan kaum terpelajar, cerdik pandai, intelektual, para sarjana Darussalam dan seluruh masyarakat Aceh.

Harapan Pendidikan Aceh

Menurut pandangan sejumlah pendiri dan penggagas Darussalam, sebagaimana disunggung oleh alm Prof Safwan Idris, sebenarnya konsep keistimewaan Aceh dalam bidang pendidikan adalah model pendidikan terpadu, integrasi  dan berkualitas (agama dan umum), tidak berdiri sendiri sebagai lembaga terpisah sebagaimana yang terwujud sekarang (UIN, USK Pante Kulu). 

Hal ini diakui sebaga harapan masyarakat Aceh kepada generasi Darussalam. Namun usaha yang telah lama dirintis ini belum juga membawa hasil dan sistem pendidikan masih terpisah-pisah. 

Untuk menjaga dan mengawal gagasan leluhur ini agar tidak dilupana,  maka saban 2 September diperingati sebagai Hari Pendidikan Daerah )Hardikda) Aceh. 

Sebab, 2 September 1959 merupakan tonggak bersejarah dalam kebangkitan pembangunan pendidikan di Aceh, yaitu lahirnya Kopelma Darussalam dan berdirinya kampus Universitas Syiah Kuala, dan diperingati sebagai Hardikda Aceh. 

Untuk tujuan mengisi keistimewaan Aceh dalam bidang agama, adat-istiadat dan pendidikan, maka untuk pembangunan pendidikan Aceh, pemerintah daerah Aceh kemudian membentuk sebuah badan yang diberi nama Majlis Pendidikan Daerah (MPD) atau sekarang berubah nama menjadi Majlis Pendidikan Aceh (MPA). 

Baca juga: Terkendala Dana, Putra Abdya Terancam Gagal Berangkat Menimba Ilmu di Universitas Al-Azhar Mesir

Sebenarnya lembaga ini (MPA) ditugaskan untuk mengidentifikasi permasalahan-permaslahan pendidikan Aceh secara terpadu dan menyeluruh serta merumuskan cara-cara untuk mengatasi masalah tersebut. 

Kelahiran lembag ini sebenarnya mempunyai arti penting dalam mencari bentuk pendidikan yang lebih terpadu untuk Aceh. Karena kehadiran lembaga ini pada hakikatnya merupakan suatu  langkah dalam menjabarkan konsep keistimewaan Aceh dalam bidang pendidikan sejak tahun1959. 

Kesitimewaan Aceh dalam bidang agama melahirkan MUI atau MPU tahun 1966. Kesitimewaan Aceh dalam bidang adat-istiadat telah melahirkan lembaga yag bernama (LAKA atau MAA sekarang), dan untuk melengkapi konsep keistimewaan Aceh maka pada tahun 1990 dibentuklah MPD D.I. Aceh sebagai badan ketiga keistimewaan Aceh, sebagai langkah konkrit memikirkan penjabaran keistimewaan Aceh. 

Menurut alm Prof Safwan Idris, sebenarnya saat pembangunan Kopelma Darussalam masih dikendalikan oleh YPD, cita-cita membangun pendidikan terpadu masih ada harapan. 

Tetapi setelah YPD tidak diberi peran lagi, karena pembangunan dan pengembangan lembaga pendidikan tinggi yang ada di Kopelma Darussalam dilaksanakan oleh masing-masing departemen dan kementerian secara sentral dari pusat. 

Dengan surutnya peran YPD, konsep pembangunan Darussalam sebagai Kopelma yang terpadukan hampir seluruhnya berantakan. Konon lagi setelah APDN ikut dipindahkan dari komplek Kopelma Darussalam. 

Dayah Manyang Tgk Chiek Pante Kulu yang awalnya sebagai satu-satunya lembaga pendidikan tinggi yang dikelola oleh Pemda Aceh  mundur teratur dan kemudian berubah menjadi PTU swasta, IAIN menjadi PTKIN dan USK menjadi PTUN. 

Harapan Pemda Aceh setelah terbentuknya MPD akan berfungsi sebagai pengganti YPD. Keberadaan MPD setelah diberi mandat oleh Pemda Aceh diproyeksikan  akan memikirkan pengembangan pendidikan Aceh secara terpadu (lebih luas fungsinya dari YPD).

Baca juga: Pilar Pendidikan dalam Islam

 Kelahiran MPD ibarat kelahiran kembali hasrat masyarakat Aceh tentang  pembangunan pendidikan seperti yang disemangatkan pada awal pemerintahan D.I Aceh, dan MPD diharapkan dapat mewarisi semangat tersebut. 

Selama beberapa tahun kemudian pembangunan pendidikan Aceh dilakukan oleh badan-badan, lembaga atau instansi yang terpisah-pisah yang masing-masing mengembangkan pendidikan di Aceh secara terpisah-pisah sebagai dampak dari warisan dan pola pengembangan pendidikan yang muncul dari zamannya. 

Kebijakan pendidikan yang tersentralisasi dari pusat sebagai akibat dari ketidakmampuan pemerintah dalam mengintegrasikan pendidikan di Aceh. 

Kenyataan inilah yang menyebabkan konsep keistimewaan Aceh dalam bidang pendidikan tidak bisa dikembangkan dengan baik. 

Keadaan ini dirasakan sangat merugikan pengembangan pendidikan di Aceh. Masyarakat Aceh tidak memiliki pilihan pendidikan berkualitas bagi anak-anaknya, banyak biaya dikeluarkan dengan kualitas yang rendah. 

Harapan mereka agar sistem pendidikan di Aceh dapat diintegrasikan menjadi suatu sistem pendidikan yang terpadu. 

Kesan terhadap kenyataan sistem pendidikan di aceh tunduk pada sistem pusat menunjukkan bahwa Aceh belum istimewa dalam bidang pendidikan.

Kenyataan Pendidikan Aceh

Dikhotomi pendidikan di Aceh diawali sejak pemerintah kolonial memperkenalkan sistem sekolah. Sebelumnya pendidikan di Aceh hanya ada, yaiti dayah dan sejenisnya (meunasah, rangkang, balee). 

Dikhotomi pendidikan umum dan agama, dunia dan akhirat, agama dan dunia, sekular dan religius. Bagaimana reaksi masyarakat Aceh terhadap sekolah ala Belanda ini yang kemudian diteruskan oleh organisasi Muhammadiyah dan pemerintah Indonesia?

Sebagai konsep kebutuhan praktis termasuk kebutuhan sebagai pegawai pemerintah dan swasta dan kebutuhan kepada tenaga terampil di perusahaan. 

Mulai saat inilah orientasi pendidikan bagi masyarakat berubah menjadi orientasi kerja sebagai pegawai negeri atau swasta. 

Dalam konteks ini reaksi masyarakat Aceh terbelah menjadi dua, ada yang menolak sama sekali sistem pendidikan sekolah, dan ada juga yang menilai secara positif dan memasukkan anak-anak mereka ke sekolah tersebut dan kemudian menjadi pegawai negeri. Bahkan ada diantara ulama pesantren yang memasukkan anak-anak mereka ke pendidikan sekolah ini. 

Meskipun masyarakat Aceh dapat menerima sistem pendidikan Barat atau umum ini, namun mereka (kalangan ulama) tidak merasa puas  dengan pendidikan tersebut karena tidak memasukkan pendidikan agama di dalam kurikulumnya. 

Meskipun kemudian materi pendidikan agama tercantum dalam pendidikan umum, namun presentasenya cukup terbatas. 

Sehingga lahirlah tradisi ketiga dalam perkembangan pendidikan di Aceh, yaitu dengan mengawinkan pendidikan umum dan agama dalam suatu lembaga baru yang disebut dengan madrasah. 

Baca juga: Aceh Provinsi Termiskin di Sumatera, Haji Uma Pertanyakan Metode Pendataan Oleh BPS

Kemudian setelah madrasah diambil alih pemerintah, maka nasib madrasah persis menjadi sekolah secara perlahan dimana porsi pendidikan agama semakin terkuras. 

Inovasi selanjutnya muncul kemudian apa yang dinamakan dengan dayah terpadu atau dayah modern, yaitu memadukan dua sistem pendidikan sekolah (siang hari) dan dayah (malam hari) dengan sistem (nyantri) atau berasrama. 

Dayah (tradisional)-sekolah-madrasah-dayah terpadu (menjalankan dua jenis pendidikan dalam satu kelembagaan dayah atau menyediakan dua sistem pendidikan-pendidikan dayah dan sekolah secara terpisah, namun dilaksakan secara masing-masing tetapi dalam lingkungan dayah tradisional.

Upaya Meraih Asa

Rekayasa sistem lembaga pendidikan terus diupayakan di Aceh selama beberapa dekade hingga sekarang. 

Contohnya usaha memadukan madrasah dan dayah di Aceh yang melahirkan MAN-PK, pemaduan antara sistem sekolah dan dayah (contoh dayah terpadu YPUI Darul Ulum), atau pemaduan madrasah-sekolah dan dayah (dayah modern/terpadu). 

Dari segi praktek pendidikan, maka ikhtiar integrasi pendidikan di Aceh sudah mulai dijalankan. Namun dari aspek organisasi dan kepemimpinan (struktural) hal ini belum terwujud, belum terpadu dan masih bergerk sendiri-sendiri. 

Hal ini disebabkan adanya kendala birokrasi dan sentralisasi pendidikan. Aspek yang paling penting dalam organisasi pendidikan adalah adanya kepemimpinan yang efektif dalam pelaksanaan pendidikan. 

Salah satu persoalan penting dalam pengembangan pendidikan di Aceh adalah menentukan siapa sebenarnya yang bertanggungjawab terhadap perkembangan pendidikan, baik pendidikan dayah, madrasah dan sekolah. 

Sebenarnya sebagai penguasa daerah dan sebagai kepala daerah, maka gubernur pada dasarnya memegang tanggungjawab integral terhadap nasib pendidikan di Aceh secara keseluruhan (dinas pendidikan umum, dinas pendidikan dayah, kementerian agama). 

Tetapi karena sistem pendidikan kita yang masih sentralistis, maka peranan gubernur cukup terbatas, baik dari aspek kebijakan, penerapan maupun pembiayaan.

Dengan dibentuknya MPD sebagai badan non-struktural dari Pemerintah Aceh diharapkan kepala daerah dapat memberikan suatu kepemimpinan integral terhadap perkembangan pendidikan di Aceh secara keseluruhan. 

Karena badan ini mewakili dan bertanggungjawab kepada gubernur. Karena itu fungsi MPD sebagai organisasi bersama yang menentukan arah kegiatan pendidikan yang terintegrasi di Aceh. 

Namun apa lacur jika kita melihat kondisi MPA sekarang, jangankan mengembankan misi keistimewaan Aceh dalam pembangunan kemajuan pendidikan, persoalan internal kelembagaan saja belum selesai sampai hari ini. 

Baca juga: Ketua MPA Sebut Penyelenggaraan Mubes Berdasarkan Qanun dan Pergub

Persoalan internal kelembagaan MPA yang cukup mendesak untuk dibenahi adalah mensterilkan lembaga ini dari kunkungan kepentingan politik kekuasaan pemerintah dan diskriminasi golongan.

 MPA harus benar-benar kembali ke khittah dan amanat keistimewaan Aceh sebagai badan non-struktural. Artinya hanya orang-orang profesional di bidang pendidikan saja yang menggawangi badan ini, baik pada level ketua maupun anggota. 

Miris jika melihat kekisruhan terkait dengan kepengurusan yang baru yang menjadi sorotan masyarakat. Pengurusan MPA didominasi oleh mantan pejabat daerah dan orang-orang berpengaruh lainnya namun tidak memiliki rekam jejak dan kiprah yang baik terhadap pengembangan pendidikan Aceh. 

Dalam kondisi seperti ini bagaimana mungkin MPD menjalankan misinya—alih-alih membawa kemajuan pendidikan Aceh--memperbaiki carut marut mutu pendidikan Aceh yang semakin terpuruk saja belum belum nampak gebrakannya.

*) PENULIS adalah Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry

email: muhibuddin.hanafiah@ar-raniry.ac.id 

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved