Opini
Menantang Warisan Snouck: Peran Ulama dalam Dekolonisasi Politik Aceh pada Pilkada 2024
Pandangan tersebut mengabaikan prinsip siyasah syar’iyyah yang mengakui peran penting ulama dalam memastikan kebijakan publik tetap selaras dengan nil
Oleh: Gus Nanda Saputra MPd, Ketua PC ISNU Pidiedan Kandidat Doktor Universitas Sebelas Maret
KETERLIBATAN ulama dalam politik praktis di Aceh seringkali memicu perdebatan sengit. Di satu pihak, terdapat pendapat yangmendukung pemisahan antara agama dan politik, sebuah pandangan yang diwariskanoleh Christiaan Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda yang berpengaruhselama era kolonial.
Namun, dalam konteks sosial dan politik Aceh saat ini,terutama menjelang Pilkada 2024, pendapat tersebut perlu dikaji ulang dan dikritisi secara mendalam.
Pandangan tersebut mengabaikan prinsip siyasah syar’iyyah yang mengakui peran penting ulama dalam memastikan kebijakan publik tetap selaras dengan nilai-nilai Islam dan mencapai kemaslahatan umat.
Warisan Pemisahan Ulama dan Politik Snouck Hurgronje
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, Aceh berada dalam konflik sengit dengan Belanda, yang dikenal sebagai Perang Aceh. Snouck Hurgronje diutus ke Aceh sebagai penasihat kolonial, dimana ia melakukan studi mendalam tentang struktur sosial dan keagamaan masyarakat Aceh.
Berdasarkan pengamatannya, ia mengusulkan bahwa pemisahan ulama dari peran politik akan mengurangi kemampuan mereka untuk mengorganisir perlawananterhadap Belanda. Christiaan Snouck Hurgronje merupakan tokoh kunci dalam sejarah kolonial Belanda di Indonesia, khususnya di Aceh.
Sebagai seorang orientalis, ia merancang strategi untuk memisahkan ulama dari kekuasaan politik, dengan tujuan memudahkan kontrol kolonial dan menjamin dominasi Belanda tidak terganggu oleh pengaruh ulama. Snouck berpendapat bahwa Islam dan politik harus dipisahkan agar ulama tidak mengancam kepentingan politik dan administratif Belanda.
Taktik ini berhasil mengurangi peran tradisional ulama sebagai pemimpin masyarakat yang memiliki wewenang dalam urusan keagamaan, sosial, dan politik. Namun, dalam Islam, konsep siyasah syar’iyyah menegaskan bahwa politik harus dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, termasuk keadilan dan pelayanan kepada umat.
Ulama, dengan pengetahuan mendalam mereka tentang syariah, bertanggung jawab memastikan pemerintahan berjalan sesuai dengan nilai-nilai Islam, bukan hanya sebagai penasihat tetapi sebagai aktor utama dalam pembuatan kebijakan.
Hurgronje berargumen bahwa Islam dan kekuasaan politik harus dipisahkan untuk menghindari pengaruh ulama dalam kebijakan politik dan administrasi.
Ia percaya bahwa dengan membatasi ulama hanya pada urusan keagamaan dan menjauhkannya dari politik, pemerintah kolonial dapat meminimalisir perlawanan dan memperkuat stabilitas kekuasaannya.
Strategi ini tidak hanya mereduksi peran tradisional ulama sebagai pemimpin dan penasihat masyarakat tetapi juga secara signifikan mengubah dinamika kekuasaan dalammasyarakat Aceh. Kebijakan pemisahan ini telah dikritik karena mengabaikan peran sejarah dan penting ulama dalam masyarakat Muslim, khususnya di Aceh.
Ulama di Aceh tradisionalnya memiliki peran ganda sebagai pemimpin rohani dan sosial-politik. Mereka berperan penting dalam menyediakan panduan moral dan kebijakan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Pemisahan yang dipaksakan oleh Hurgronje ini menghasilkan ketegangan dan ketidakstabilan, karena menghilangkan pengaruh penting yang biasanya dimiliki ulama dalam mengatur dan memediasi masalah sosial dan politik.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.