Opini
Menantang Warisan Snouck: Peran Ulama dalam Dekolonisasi Politik Aceh pada Pilkada 2024
Pandangan tersebut mengabaikan prinsip siyasah syar’iyyah yang mengakui peran penting ulama dalam memastikan kebijakan publik tetap selaras dengan nil
Pilkada dan Peran Ulama
Dalam konteks dekolonisasi dan revitalisasi peran ulama dalam politik, sangat penting untuk mengintegrasikan kembali ulama sebagai penjaga moralitas dan agama serta agen perubahan sosial yang memastikan kebijakan publik selaras dengan nilai-nilai Islam.
Kepemimpinan mereka tidak terbatas pada dimensi keagamaan tetapi juga mencakup pembentukan kebijakan yang adil dan berkelanjutan. Menjelang Pilkada Aceh 2024, keterlibatan ulama seperti Tu Sop menandakan simbol perlawanan terhadap pemikiran warisan Snouck.
Tu Sop, yang mencalonkan diri sebagai wakil gubernur, menunjukkan bagaimana ulama dapat memainkan peran kunci dalam politik praktis. Bersama pasangannya, Bustami Hamzah, seorang birokrat berpengalaman, mereka menghadirkan kombinasi antara kekuatan nilai Islam dan pengalaman administratif.
Kombinasi ini membuktikan potensi sinergi antara keahlian administratif dan pemahaman syariah, yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi tantangan sosial dan politik di Aceh. Beberapa alasan mengapa keterlibatan ulama dalam politik Aceh penting meliputi: pertama, pengawasan syariah, dimana ulama memastikan bahwa semua kebijakan publik tidak hanya legal secara administratif tetapi juga sah secara syariah; kedua, legitimasi dan kepemimpinan moral, dimana kehadiran ulama dalam politik memperkuat legitimasi pemerintah di mata masyarakat mayoritas Muslim di Aceh; ketiga, pendidikan masyarakat, di mana ulama memiliki peran penting dalam mengedukasi masyarakat tentang aplikasi nilai-nilai Islam dalam kebijakan dan keputusan politik.
Pasangan BustamiHamzah (umara) dan Tu Sop (ulama) menggambarkan kombinasi ideal antara keilmuan agama dan pengalaman administratif. Tu Sop membawa kedalaman pemahaman agama yang memberikan arah moral dan etis pada kebijakan pemerintah Aceh, sedangkan Bustami Hamzah menawarkan keahlian dalam administrasi dan pelaksanaan kebijakan yang efisien.
Kehadiran mereka diharapkan membawa keseimbangan antara idealisme agama dan pragmatisme administratif dalam pengelolaan pemerintahan Aceh. Mengkritik pandangan yang mendukung pemisahan ulama dari politik praktis sebagai pelestarian warisan Snouck Hurgronje adalah penting karena hal itu tidak memahami esensi siasah syar’iyyah dalam Islam.
Dalam konteks Aceh, di mana Islam merupakan elemen kunci dari identitas dan kebijakan publik, keterlibatan ulama tidak hanya penting tetapi juga esensial untuk memastikan pemerintahan berjalan sesuai dengan nilai-nilai Islam dan mampu memenuhi kemaslahatan umat. Mendukung figur seperti Tu Sop dalam politik praktis adalah langkah maju dalam memperkuat peran Islam dalam pembangunan dan kebijakan publik yang holistik dan inklusif.
Kehadiran ulama dalam politik Aceh harus dilihat sebagai peluang untuk mengintegrasikan nilai-nilai agama lebih dalam, dalam praktik pemerintahan yang bertanggung jawab dan responsif terhadap kebutuhan rakyat. Melawan warisan pemisahan ulama dari politik, seperti yang diusulkan oleh Snouck Hurgronje, bukan hanya aksi politis tetapi juga upaya mendalam untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam tata kelola pemerintahan.
Pilkada 2024 di Aceh menawarkan kesempatan untuk merefleksikan kembali peran ulama dalam politik praktis, bukan sebagai pemisah tetapi sebagai sinergi antara kebijaksanaan agama dan kebutuhan administratif.
Dalam konteks Aceh, ulama tidak hanya relevan tetapi penting dalam politik praktis untuk memastikanbahwa kebijakan pemerintah mencerminkan dan memenuhi kebutuhan serta nilai-nilai masyarakatnya. Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.