Breaking News

Cahaya Aceh

Rateb Berjalan, Tradisi Tolak Bala di Aceh Tamiang Menjadi Magnet Bagi Wisatawan

Rateb Berjalan ini merupakan tradisi berjalan dari kampung ke kampung seraya melafazkan tahlil, zikir dan doa pada malam hari.

Penulis: Rahmad Wiguna | Editor: Safriadi Syahbuddin
SERAMBINEWS.COM/RAHMAD WIGUNA
Rateb Berjalan, tradisi berjalan dari kampung ke kampung seraya melafazkan tahlil, zikir dan doa pada malam hari. 

Rateb duduk ini diakuinya banyak sisi baik. Selain mengajak masyarakat meningkatkan ibadah, juga bermanfaat untuk memperkuat silaturahmi. “Berkumpul di tempat yang baik (masjid), tentunya mendapat ridha Allah SWT,” ujarnya.

Setelah melakoni rateb duduk tiga malam, tradisi ini dilanjutkan dengan Rateb Berjalan selama tiga malam juga. Djuned menjelaskan rangkaian rateb ini merupaka tradisi yang sudah dilakukan sejak dulu dalam menutup bulan Safar.

Pemerhati kebudayaan Aceh Tamiang, Muntasur Wan Diman menambahkan dalam pandangan melayu Aceh Tamiang, bulan Safar yang merupakan bulan kedua Hijriyah bermakna sebagai bulan panas. Konon, masyarakat zaman dulu mempercayai Rabu akhir bulan Safar merupakan hari turunnya penyakit.

Untuk mengantisipasi turunnya bala ini, masyarakat melakukan kenduri sambil membacakan doa dan berzikir menuju sumber kehidupan.

“Kalau di hilir jalan ke arah sungai sebagai sumber kehidupan (nelayan), hulu ke arah gunung dan kalau di kota dilakukan di perempatan sawah,” kata dia.

Muntasir mengakui dulu kegiatan ini bersentuhan dengan pelanggaran syariat karena ada proses membuang makanan. Seiring masuknya Islam ke Indonesia, kegiatan yang cenderung syirik ini dihapus dan diganti dengan makan bersama di lokasi kenduri.

Di sisi lain, tradisi Rateb Berjalan yang melibatkan ratusan orang ini telah menjadi daya tarik wisatawan. Terlabih kata dia, Rateb Berjalan sudah diakui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbusristek) sebaai Warisan Budaya tak Benda (WBTB). 

“Sekarang ini sudah banyak orang yang datang hanya untuk menyaksikan, seandainya ini dikemas lebih baik, maka akan lebih tersampaikan syiarnya,” ujarnya.

Kadisparpora Aceh Tamiang, Muhammad Farij pun tak menampik kalau tradisi tolak bala ini telah menjadi momen yang ditunggu masyarakat. Efek positif dari kegiatan ini cukup luas, termasuk menciptakan pemberdayaan ekonomi.(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved