Jurnalisme Warga
Asingnya Bahasa Aceh di Kalangan Remaja Aceh
Dalam pengertian lain, bahasa merupakan alat komunikasi sosial yang digunakan sehari-sehari di berbagai negara dan daerah maisng-masing.
MUHAMMAD, S.Pd., M.Pd., Desen dan Wakil Dekan I Fakultas Agama Islam Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki), melaporkan dari Bireuen
Bahasa merupakan suatu ungkapan yang mengandung maksud untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Sesuatu yang dimaksudkan oleh pembicara bisa dipahami dan dimengerti oleh pendengar atau lawan bicara melalui bahasa yang diungkapkan.
Dalam pengertian lain, bahasa merupakan alat komunikasi sosial yang digunakan sehari-sehari di berbagai negara dan daerah maisng-masing.
Jumlah bahasa daerah di Indonesia sampai saat ini 718 bahasa. Jumlah ini belum termasuk dialek dan subdialek. Indonesia merupakan negara dengan jumlah bahasa daerah kedua terbanyak di dunia setelah Papua Nugini yang memiliki lebih dari 800 bahasa.
Banyaknya jumlah bahasa di Indonesia menjadi keunikan sekaligus susatu warisan budaya yang patut disyukuri dan dilestarikan.
Namun demikian, kekayaan ragam bahasa di Indonesia dipersatukan oleh satu bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia untuk kebutuhan komunikasi dan literasi formal. Sementara itu, dalam perkembangan sosial masyarakat bahasa daerah memainkan peran penting dalam memperkuat solidaritas dan hubungan sosial dalam komunitas. Ini dapat memperkuat ikatan kelompok dan menumbuhkan rasa kebersamaan dan kebanggaan akan identitas budaya mereka.
Dalam konteks ekonomi, bahasa daerah juga merupakan aset penting untuk pertumbuhan ekonomi lokal.
Provinsi Aceh sendiri memiliki ragam bahasa daerah yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Sebagaimana tercantum dalam Qanun Aceh Tahun 2022 tentang Bahasa Aceh pada Bab II Pasal 6, disebutkan bahwa bahasa tersebut di antaranya bahasa Aceh, bahasa Gayo, bahasa Tamiang, bahasa Alas, bahasa Aneuk Jamee, bahasa Kluet, bahasa Devayan, bahasa Sigulai, bahasa Lekon, bahasa Singkil, dan bahasa Haloban.
Secara khusus, bahasa Aceh merupakan bahasa yang dituturkan oleh mayoritas masyarakat Aceh di wilayah pesisir, sebagian pedalaman, dan sebagian kepulauan.
Bahasa Aceh termasuk dalam rumpun bahasa Chamik (Champa), cabang dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia, cabang dari rumpun bahasa Austronesia.
Ragam bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi masyarakat Aceh secara umum masih dominan pada bahasa Aceh, terutama di beberapa kabupaten kita di Aceh, seperti Kota Langsa, Kabupaten Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Kabupaten Bireuen, Pidie Jaya, Pidie, Aceh Besar, Kota Banda Aceh, Kota Sabang, dan Kecamatan Simpang Ulim, Kabupaten Aceh Timur.
Secara umum, mereka menggunakan bahasa Aceh sebagai alat komunikasi sehari-hari. Meski demikian, bahasa Aceh yang diominan di daerah yang disebutkan di atas justru asing bagi kalangan remajanya.
Rata-rata masyarakat yang menggunakan bahasa Aceh dalam percakapan sehari-hari adalah mereka yang berusia 45-60 tahun. Sedangkan remaja yang menggunakan bahasa Aceh persentasenya sangat sedikit. Persentase ini pun dipenuhi oleh remaja Aceh yang berada jauh di pedalaman. Sementara itu, di kalangan kaum milenial dan Gen Z, penggunaan bahasa Aceh hampir dipastikan asing, terutama mereka yang berdomisili di wilayah yang berdekatan dengan perkotaan atau bahkan kalangan siswa dan mahasiswa.
Berkaca pada beberapa daerah luar Aceh, seperti Batak, Minang, Jawa, dan Betawi, di mana pun dan kapan pun mereka bertemu selalu mengutamakan komunikasi berbahasa daerah mereka masing-masing.
Di Aceh sendiri, saya sangat mengapresiasi beberapa daerah yang konsisten menggunakan bahasa daerah dalam berbagai pertemuan dan percakapan, salah satunya adalah wilayah Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, dan beberapa daerah berdekatan lainnya yang konsisten dengan bahasa Gayonya di mana pun mereka bertemu.
Sedangkan mayoritas remaja dalam lingkup wilayah penggunaan bahasa Aceh hampir dipastikan sudah sangat jauh meninggalkan bahasa Aceh dalam percakapan sehari-hari. Mereka lebih cenderung menggunakan bahasa Indonesia nonformal. Kondisi ini bisa kita saksikan dalam keseharian generasi muda Aceh tersebut.
Kalangan mahasiswa
Kalangan mahasiswa di Aceh saat ini hampir dipastikan 50 persen tidak fasih berbahasa Aceh. Bahasa Aceh sangat asing ditemukan di antara sekian banyak percakapan dalam interaksi sesama mahasiswa. Mahasiswa cenderung memaksakan diri berbahasa Indonesia antarsesama meksipun kadang terdengar berantakan dan terkesan lucu, padahal lawan bicaranya juga asli Aceh.
Terhadap kondisi ini tentu saja kita tidak menyalahkan siapa-siapa, hanya saja cukup disayangkan karena fenomena remaja asing dengan bahasa daerahnya tentu saja menjadi dasar hilangnya kecintaan kita terhadap warisan budaya itu sendiri.
Di kalangan mahasiswa dan siswa saat ini, yang berkomunikasi menggunakan bahasa Aceh cenderung diasingkan. Bahkan, sedihnya lagi lahirnya ungkapan untuk yang berbicara bahasa Aceh sebagai anak kampungan atau tidak berpendidikan. Tentu, kondisi ini sudah melenceng jauh dari kekhususan yang dimikiki Aceh untuk merawat dan mengembangkan kekhasan Aceh, salah satunya dalam segi bahasa sebagaimana amanat Qanun Aceh.
Pada poin bahasa Aceh sebagai bahasa resmi Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) di mana bahasa Aceh dimaksudkan di antaranya untuk membentuk karakter dan kepribadian masyarakat Aceh dan lambang kebanggaan dan identitas masyarakat Aceh.
Maka, aneh rasanya jika mahasiswa dan siswa berbahasa Aceh dikucilkan dan dicap kampungan oleh sebagian kalangan mahasiswa.
Secara umum, penggunaan bahasa Aceh bagi kalangan mahasiswa dan siswa memang belum terdapat regulasi yang mengarahkan mereka wajib berbahasa Aceh dalam pembelajaran formal.
Namun demikian, juga tidak ada regulasi yang melarang penggunaan bahasa Aceh di lembaga pendidikan di luar proses pembelajaran formal.
Komunikasi di kafe
Remaja Aceh juga tidak bisa dilepaskan dari warung kopi, kafe, atau ragam tempat nongkrong lainnya. Terjalin bergitu banyak komunikasi antarremaja di berbagai kafe yang ada di Aceh.
Sudah menjadi perhatian semua, hampir tidak ditemukan remaja yang berbahasa Aceh ketika duduk nongkrong sesama remaja Aceh.
Selain itu, kafe-kafe di Aceh saat ini juga sama sekali tidak menggunakan bahasa Aceh untuk promosi bahkan di menu makanan sama sekali tidak terdapat bahasa Aceh.
Rata-rata kafe menggunakan bahasa Inggris di menu sajiannya. Pertanyaannya adalah untuk siapa dan apa manfaatanya menggunakan bahasa Inggris, bahkan remaja yang memesan makanan pun terkadang tidak mengetahui apa yang dipesannya.
Lebih anehnya lagi, yang dipesan berbahasa Inggris, tapi makanan yang datang justru kuliner khas Aceh.
Dalam bisnis, strategi promosi memang tidak terbatas. Namun, perlu diketahui, selain tujuannya memperkenalkan makanan khas daerah kepada orang luar, memperkenalkan bahasa daerah kepada orang luar juga memiliki kedudukan yang sama pentingnya.
Kondisi ini bisa dimaklumi jika memang kafenya pada lingkup lokasi wisata yang dikunjungi orang asing, seperti Sabang dan beberapa objek wisata lainnya.
Tulisannya tidak untuk menunjukkan benar atau salah, hanya bahan sebagai refleksi kita semua, terutama remaja Aceh jangan malu dan jangan asing dengan bahasa daerah kita sendiri.
Berlombalah memperkaya bahasa asing, tanpa meninggalkan bahasa daerah kita sendiri. Sayogyanya kita belajar bahasa asing adalah sebagai sarana komunikasi untuk memperkenalkan kekhasan adat istiadat dan budaya kita sendiri kepada mereka yang belum mengetahui dengan cara dan bahasa mereka.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.