Opini

Ketika Ikatan Suci Berakhir Tragis

Ada kasus seorang suami tega membakar istrinya hingga tewas hanya karena istri sering berutang tanpa izin suami.

Editor: mufti
IST
Dr H Agustin Hanapi Lc, Dosen Hukum Keluarga UIN Ar-Raniry, dan Anggota IKAT-Aceh 

Dr H Agustin Hanapi Lc, Dosen Hukum Keluarga UIN Ar-Raniry, dan Anggota IKAT-Aceh

AKHIR-akhir ini kasus kekerasan dalam rumah tangga cenderung meningkat. Ada kasus seorang suami tega membakar istrinya hingga tewas hanya karena istri sering berutang tanpa izin suami. Sebelumnya juga tersiar berita suami menghabisi istrinya karena dibakar api cemburu lantaran istri aktif bermedia sosial seperti Tiktok dan lainnya. Hal yang sungguh menyedihkan dan memprihatinkan, seharusnya rumah tangga yang dibina akan menghadirkan keindahan batin dan kebahagiaan bagi suami-istri.Tetapi yang terjadi sebaliknya.

Menjadi neraka karena salah satunya harus meregang nyawa secara tragis di tangan kekasih hati. Kalau merujuk isyarat Alquran, suami-istri harus saling menghargai dan memuliakan, tidak dibenarkan berkata dan bersikap kasar, bahkan suami harus bersikap lemah lembut. “Dan bergaullah dengan mereka secara patut”, dan pada ayat lain disebutkan, “Maka tahanlah istri atau lepaskan secara baik."

Artinya jangan menyakiti istri dengan dalih apapun, baik secara fisik maupun psikis, tetapi sepenuhnya mencurahkan kasih sayang dan perhatian, karena kedudukan suami sebagai qawwam (pengayom), tempat berlindung, bersandar dan tempat bergantungnya istri dalam berbagai harapan. Maka berikan keteladanan, tidak mudah marah apalagi melakukan kekerasan, sehingga istri merasakan kenyamanan dan kedamaian, sehingga sakinah, mawaddah dan rahmah yang selama ini diidamkan benar-benar dapat diwujudkan.

Pelajaran berharga

Agar kasus memilukan di atas tidak terulang kembali maka bagi yang belum berkeluarga hendaknya lebih berhati-hati. Artinya sebelum memutuskan untuk menikah perlu mempersiapkan diri, lahir dan batin secara matang, tidak gegabah dan terburu-buru agar tidak salah langkah dan menyesal seumur hidup. Berhati-hati dalam memilih calon pasangan hidup dengan bersikap selektif dan penuh pertimbangan. Tetapkan pilihan pada orang yang sekufu` sesuai dengan kategori Rasulullah saw dengan mengedepankan agama yaitu sesama Islam.

Tidak cukup itu, namun juga melihat pengamalannya terhadap nilai-nilai agama yang baik dan komprehensif. Misalnya di samping taat beribadah juga paham akan kewajibannya dalam menafkahi istri dan anak. Sehingga akan berusaha sungguh-sungguh dan bekerja keras mewujudkan kesejahteraan mereka, tidak akan mengabaikan dan menelantarkan, juga menyakiti dan melukai baik secara fisik maupun psikis.

Hal penting lainnya adalah memperhatikan latar belakang pendidikan calon pasangan, keluarga dan pola pengasuhan dalam keluarganya serta apa yang dianggap paling bernilai bagi keluarganya. Pendidikan sangat mempengaruhi pola pikir seseorang. Semakin baik pendidikan, maka semakin dewasa serta bijaksana dalam menyelesaikan persoalan.

Sementara itu pola pengasuhan yang hangat menjadi faktor penting bagi kehangatan rumah tangga kelak, dan memperhatikan hal yang dianggap bernilai dari sebuah keluarga juga menjadi penting untuk dipertimbangkan seperti pekerjaan yang tetap, atau materi yang memadai, sehingga dianggap sekufu dan terhindar dari sikap negatif dari keluarga calon pasangan.

Jika calon pasangan pernah berumah tangga lalu berpisah, maka perlu diamati dan dianalisis sebab perpisahannya, digugatkah ia oleh mantannya karena bersikap buruk seperti possessive, kecanduan narkoba, berselingkuh, pemarah dan lain-lain. Sikap-sikap ini bisa menjadi pertimbangan demi menghindari kondisi serupa menimpa kita dalam pernikahan bersama orang tersebut. Pasalnya, sikap-sikap itu merupakan bagian dari kepribadian seseorang yang agak sulit diubah, terlebih jika tidak ada inisiatif darinya.

Kemudian jika ingin menikah dan masing-masing pasangan membawa anak dari hasil pernikahan sebelumnya, maka perlu dipertimbangkan kemaslahatan bagi anak-anaknya. Apakah ayah atau ibu sambung yang akan dimilikinya kelak dapat menjadi ayah atau ibu yang mampu berperan baik untuk mereka. Artinya dalam hal ini bukan hanya mengutamakan kepentingan diri sendiri saja. Anak bawaan dari hasil pernikahan sebelumnya dapat menjadi tantangan besar dalam pernikahan campuran ini.

Biasanya permasalahan terjadi karena pasangan barunya tidak dapat mencurahkan kasih sayang sepenuhnya dan berlaku adil terhadap anak bawaan pasangannya. Bahkan menganggapnya sebagai anak orang lain dan diperlakukan seperti orang asing yang kehadirannya juga tidak diharapkan. Sehingga konflik selalu mewarnai kehidupan rumah tangga ini.

Di sisi lain juga perlu aware terhadap sisi emosi calon pasangan. Pasalnya, ada saja suami yang tidak mengizinkan istri untuk bekerja di luar rumah, namun tidak juga memberikan biaya kebutuhan hidupnya. Semisal untuk membeli makanan kesukaan, apalagi skincare juga untuk melakukan hobinya. Namun di saat istri berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri dengan cara meminjam uang temannya atau bekerja diam-diam, kemudian memasak makanan kesukaannya, suami marah dan memaki istri yang dianggap tidak tahu diri dan nusyuz (durhaka) yang tidak akan dapat mencium bau surga.

Sebab tidak taat perintah suami karena keluar rumah tanpa izin dan ridhanya, dan hasil jerihnya dianggap haram. Maka janganlah menikah dengan calon pasangan yang kelak akan menghilangkan identitas diri kita sebagai individu, yang tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan diri sendiri dan melakukan apa yang disukai.

Pilihan hidup

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved