Opini

Kepemimpinan Perempuan Aceh Masa Kini

setidaknya pada masa ini ada perempuan Aceh yang telah mencoba mengikuti jejak para Srikandi hebat di masa lalu itu.

Editor: mufti
FOR SERAMBINEWS.COM
Muhibuddin Hanafiah, Akademisi Darussalam dan pegiat kesetaraangender 

Muhibuddin Hanafiah, Akademisi Darussalam dan pegiat kesetaraangender

SETELAH era Sulthanah dan masa perjuangan para pejuang perempuan Aceh prakemerdekaan, Aceh seakan tidak pernah lagi melahirkan tokoh perempuan cerdas dan pemberani di medan “perang” politik. Mengapa hal ini bisa terjadi? Padahal kaum perempuan Aceh rata-rata sudah mengecap pendidikan tinggi, sehingga mereka banyak yang pintar dan bertitel tinggi.

Menurut penulis sebabnya adalah karena perempuan Aceh sekarang telah kehilangan “kedaulatan” atas dirinya sendiri baik disebabkan oleh mindset yang kurang berani keluar dari zona nyaman sebagai perempuan, atau tidak memiliki daya tahan terhadap kungkungan sistem sosio kultural yang membatasi kaum perempuan untuk berada kancah politik dan kepemimpinan sosial.

Keberanian untuk berada di posisi terdepan seperti menjadi pemimpin negeri dengan basis ilmu pengetahuan (kecerdasan), ketahanan mental yang membaja, integritas kepribadian yang utuh, dan kemahiran membangun jejaring dengan berbagai bangsa lain sudah tidak dimiliki lagi oleh perempuan Aceh era kekinian. Seakan sosok perempuan kuat dan tegar sekaliber Sri Ratu Safiatuddin, Laksamana Keumalahayati, dan Cut Nyak Dhien tidak terlahir lagi saat ini di Aceh.

Kendati belum ada perempuan Aceh yang sehebat empat sulthanah era keemasan kerajaan Aceh Darussalam pada abad XVI dahulu, namun setidaknya pada masa ini ada perempuan Aceh yang telah mencoba mengikuti jejak para Srikandi hebat di masa lalu itu. Oleh karena itu, masih relevan kiranya jika kita membicarakan kembali tentang  kepemimpinan perempuan di Aceh masa kini. Terlebih dalam konteks pilkada tahun ini dimana sederet kaum perempuan terlibat secara langsung dalam ajang pemilihan kepala daerah baik di level provinsi maupun kabupaten/kota di Aceh. Kita menyaksikan masih ada--walaupun tidak banyak-- srikandi Aceh yang berani bertarung untuk meraih posisi sebagai pimpinan daerah atau perwakilan daerah di level pusat.

Mewakili dari sekian banyak perempuan Aceh yang berkiprah di ranah politik praktis, kita bisa melihat bagaimana ikhtiar dan perjuangan seorang Darwati A Gani dan Illiza Sa’aduddin Jamal. Kedua politisi perempuan Aceh ini sedang dan telah pernah berkiprah di gedung parlemen Senayan Jakarta. Kini Darwati bertugas sebagai salah seorang anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mewakili (kaum perempuan) Aceh, dan Illiza setelah purna tugas sebagai anggota parlemen di Senayan, kini sedang berjuang untuk memperoleh kursi calon Wali Kota Banda Aceh. Pertanyaannya adalah bagaimana peluang kaum perempuan dalam meraih panggung kepemimpinan di Aceh masa kini? Bagaimana pandangan masyarakat Aceh terhadap kepemimpinan kaum perempuan di ranah publik sekarang ini?

Budaya patriarki 

Sampai saat ini masih saja menyisakan khilafiah (kontradiksi atau pro dan kontra) pandangan dari sejumlah pihak di kalangan umat Islam baik di domain akademis (pakar) dan juga di ranah sosial (yang diwakili oleh ulama) terhadap masalah kepemimpinan perempuan. Sebagian mereka menyetujui kepemimpinan perempuan di ranah publik dengan kualifikasi yang memadai dan ketat. Namun sebagian yang lain sama sekali tidak sepakat atas kepemimpinan perempuan walaupun berkualifikasi sebagai figur pemimpin.

Konon lagi jika kita telusuri pandangan masyarakat awam di Aceh (laki-laki maupun kaum perempuan sendiri), mereka rata-rata tidak memihak kepada kaum perempuan sebagai pemimpin mereka. Jika bandingkan dengan peradaban masyarakat Aceh sebelumnya yang pernah menerima perempuan sebagai sulthan (pemimpin politik), sebagai panglima perang, dan sebagai pemimpin perang gerilya, mengapa sekarang sebagai kepala daerah saja ditolak? Dimana letak kesalahannya, pada cara berpikirkah (mindset) yang sudah berbeda dengan zaman ketika itu yang kosmopolit dan bertamadun tinggi.

Jadi cara berpikir masyarakat Aceh sekarang semakin jauh dari ketamadunan, kembali ke era prakemajuan berpikir sebelum Islam hadir di Aceh. Padahal tatanan dunia sudah semakin maju dengan segala kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengaruh globalisasi dunia yang semakin cepat dan meluas.
Apa dalih yang lazim disampaikan oleh para pihak yang menolak kepemimpinan politik kaum perempuan? Hal yang sering terdengar adalah mulai dari stereotipe atas fisik, mental dan emosional perempuan yang dianggap lemah dan labil, dalih tafsir agama sampai pada anggapan ketidaklaziman sosial budaya.

Singkatnya, mereka menganggap bahwa perempuan tidak layak sebagai pemimpin sosial konon lagi politik. Budaya patriarki yang semakin kental dianut oleh masyarakat Aceh tradisional inilah yang cukup menghambat kaum perempuan mendedikasikan kapasitasnya di level pimpinan politik. Inilah faktor kultural yang masih sulit ditaklukkan oleh kaum perempuan yang memiliki kemampuan untuk memimpin.

Padahal berbicara tentang pemimpin bukan bersangkut paut dengan jenis kelamin tertentu, melainkan berbicara tentang kemampuan, skill, seni dan kecerdasan untuk mengelola segenap potensi dan menggerakkannya ke arah tujuan yang ditentukan. Kepemimpinan adalah karakter seseorang yang berkemampuan menggerakkan, memberdayakan, pemenuhan hak dan pelayanan prima. Karakter kepemimpinan tidak saja ada pada manusia yang berjenis kelamin laki-laki, melainkan juga ada pada perempuan.

Inspirasi Islam

Kisah-kisah nyata sebagaimana digambarkan dalam Alquran tentang Ratu Balqis di zaman Nabi Sulaiman As dan ketangkasan Siti Aisyah istri Nabi Muhammad saw di atas punggung kuda dalam Perang Jamal kiranya cukup membuktikan bahwa kemampuan untuk menjadi pemimpin itu ada pada laki-laki dan perempuan. Sifat dan karakter sebagai pemimpin itu dapat bertukar, seperti sifat dan kualitas dapat berubah pada waktu tempat dan situasi yang berbeda.

Sekali lagi bahwa karakteristik kepemimpinan ada pada laki-laki dan perempuan, keduanya adalah mitra baik di ruang domestik maupun publik. Sudah waktunya perempuan diberikan kepercayaan untuk menjadi pemimpin politik, mulai dari level daerah, nasional, regional dan internasional. Jika terbuka peluang dan kesempatan, banyak perempuan Aceh yang memiliki kemampuan dan kapasitas sebagai kepala daerah, baik sebagai gubernur, bupati/wali kota, camat dan keuchik.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved