Berita Pidie
Kerupuk Mulieng, Komoditi Utama Masyarakat Pidie Mampu Hidupi Warga hingga Tembus Pasar Ekspor
Kerupuk mulieng atau emping melinjo menjadi camilan kerupuk favorit tidak hanya di bagi masyarakat Indonesia tapi juga merambah pasar Internasional.
Penulis: Firdha Ustin | Editor: Muhammad Hadi
SERAMBINEWS.COM - Rasanya yang lezat, menjadikan kerupuk mulieng atau emping melinjo menjadi camilan kerupuk favorit tidak hanya bagi masyarakat Indonesia tapi juga merambah ke pasar Internasional.
Selah satu daerah penghasil kerupuk mulieng terbesar terletak di Keude Beureunun, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh.
Suburnya tanah dengan hadirnya komoditi unggulan melinjo, menjadikan sumber penghasilan utama bagi warga sekitar.
Siti Hajar (49), pengrajin melinjo mengatakan, dirinya sudah sejak lama menjadi pengrajin kerupuk mulieng tradisional.
Perempuan yang akrab disapa Meulu itu mampu memipihkan biji melinjo sebayak 2-3 kilogram setiap harinya, aktivitas tersebut dilakukan di teras rumahnya.
Adapun proses pembuatan emping secara tradisional yang diolah Meulu ada beberapa tahapan.

Baca juga: Pj Gubernur Minta Kepala Karantina Segera Cari Solusi Soal Emping Mulieng Pidie Ditolak Singapura
Mulanya biji melinjo di kupas dari kulitnya terlebih dahulu kemudian dimasukkan dalam wajan tanah/besi yang sudah terisi pasir halus, lalu di nyalakan api, tunggu kurang lebih lima menit (sesuai ukuran/suhu api).
Lalu pisahkan biji dalam dengan kulit keras melinjo, kemudian dipipihkan menggunakan alat pemipih dari kayu yang datar dan licin supaya mudah dipindahkan, setelah proses pemindahannya dilakukan, kemudian dijemur agar cepat mengering.
Biji melinjo tersebut dia dapatkan dari kebun sendiri atau membelinya di pasar, tak jarang Meulu juga menerima biji melinjo dari orang lain, nantinya dia diberi upah.
"Alhadulillah dari sini bisa membantu kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anak, kadang saya terima dari orang lain juga per kilonya dikasih upah berapa, kalau saya biasanya 2-3 kilo sanggupnya per hari, begitu juga kalau punya orang lain," ujarnya saat ditemui Serambinews.com, Jumat (8/11/2024), Kecamatan Mutiara, Pidie.
Biasanya, kerupuk mulieng yang dihasilkan Meulu dijual langsung ke Kota Sigli.
Baca juga: Tugu Aneuk Mulieng Dikerjakan Lagi dengan Dana Mencapai Rp 1,9 Miliar, Tahap Awal Telan Rp 6,8 M
Komoditi Utama Masyarakat Pidie
Melinjo telah sejak lama menjadi komoditi unggulan Kabupaten Pidie, tak heran kerupuk mulieng pun dijadikan sebagai trademark Keude Beureunuen.
Dukungan pemerintah turut hadir dengan membuat sebuah tugu bernama tugu Aneuk Mulieng (Biji Melinjo) di Kota Sigli yang dibangun senilai Rp 4,8 miliar.
Keude Beureunuen yang menjadi pusat kota Kecamatan Mutiara, menjadi tempat utama perdagangan kerupuk mulieng.
Di kota ini, kerupuk mulieng dijual di toko-toko yang meniagakan oleh-oleh khas.
Di tepi jalan Banda Aceh-Medan, setiap paginya menjual buah aneuk mulieng (biji melinjo) mentah berjejer, sementara di seberang jalan dari terminal, satu deret panjang ruko menjajakan kerupuk mulieng sebagai barang niaga utama.

Rani Usman (55), pedangang biji sekaligus pengepul atau Muge dalam bahasa Acehnya, ia telah menjual biji melinjo mentah sejak 12 tahun lalu di pasar pagi Beureunun.
Setiap hari dia menjual puluhan kilogram biji melinjo yang ia dapatkan dari warga di Kecamatan Tiro, Pidie dengan harga Rp 15.000 per bambu, nantinya dia akan menjual lagi kepada pengrajin melinjo dengan harga Rp 18.000-22.000 per bambu tergantung kualitas.
"Biji ini saya dapat dari Tiro, per bambu dihargain 15 ribu, nanti saya jual lagi 18 ribu per bambu, harganya juga tergangung kualitas, kalau kualitas bagus bisa dilihat kulitnya hitam pekat, dalamnya putih bersih. Kalau yang ini kualitasnya kurang bagus makanya saya jual 18 ribu per bambu," ujarnya.

Dari hasil penjualan tersebut, ia bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga.
Meski demikian, ia menambahkan, penjualan biji melinjo itu tidak dilakukan setiap hari, artinya, apabila biji melinjo tidak musim, dia beralih bekerja sebagai petani.
"Kadang kadang setahun tiga bulan aja jualannya, ini (melinjo) tergantung musim, kalau gak musim, saya nggak jualan, saya menanam padi di sawah," timpalnya.
Emping Melinjo Tembus Pasar Ekspor
Usaha kerajinan kerupuk mulieng di Kecamatan Mutiara terus hidup di tengah perubahan zaman, termasuk upaya melibatkan generasi muda.
Muhammad Ikhsan, ST, putra asal Mutiara, Pidie ini sukses menekuni dunia eksportir kerupuk mulieng ke Australia dengan merek dagang emping melinjo "Mutiara Farmer" dengan tagline "Aceh society commodities to the world".
Ikhsan memulai usahanya sejak tahun 2018 dimana saat itu hanya berfokus untuk memenuhi market lokal saja, dan pada tahun 2020 ia memulai eksportir ke Australia khususnya ke New South Wales.
Di kediamannya yang berada di Jln Lameu-Busu, Kecamatan Mutiara, Pidie, Ikhsan berperan sebagai pengepul kerupuk mulieng untuk diekspor.

Ia membeli kerupuk mulieng dari pengrajin lokal yang tersebar di Kecamatan Mutiara dengan harga Rp 60.000 - 100.000 per kilonya tergantung harga pasar.
Nantinya, kerupuk tersebut akan dikemas sesuai standar yang ditetapkan oleh permintaan pasar Australia, dengan ukuran 250 gram, setengah kilogram dan satu kilogram.
Dibantu istri dan beberapa pekerjanya, Ikhsan berusaha memenuhi permintaan pasar Australia setiap dua hingga tiga bulan sekali.
Dalam menjaga kualitas kerupuk mulieng, Ikhsan menekankan kepada pengrajin kerupuk mulieng agar menggunakan bahan baku yang berkualitas hingga proses penjemuran yang tidak langsung terkena sinar matahari, ini bertujuan agar warna kerupuk mulieng tidak terlalu kening.
"Paling kita mengimbau agar mereka menjaga kualitasnya, seperti proses penjemuran hingga bahan baku, lalu dalam proses pembuatan kerupuknya saat pemipihan juga harus dijaga kebersihannya," ujarnya.

Sementara permintaan khusus dari Australia, Ikhsan harus memastikan kerupuk mulieng yang ditampungnya telah memenuhi standar yang ditetapkan negara setempat, seperti kualitas, kehigienisan hingga pencantuman nutrisi pada label kemasannya.
"Karena mereka (Australia) negara yang sangat ketat dengan produk yang masuk, seperti makanan ini (kerupuk mulieng), meskipun ini adalah produk organik tapi kita juga harus menjaga kebersihan dan kualitasnya, juga mencantumkan nutrisi label sesuai permintaan mereka," tambahnya.
Ikhsan menuturkan, meskipun produk kerupuk mulieng ini dijual di luar negeri, namun mayoritas pelanggan setia adalah tetap warga Asia dibandingkan warga lokal - bule.
Tantangan Usaha Ekspor
Melakukan ekspor ke luar negeri bukan serta merta semudah membalikkan telapak tangan.
Ada banyak tantangan serta naik turunnya usaha yang harus dihadapi Ikhsan selaku eksportir kerupuk mulieng.
Ikhsan menuturkan, pihaknya pernah mendapat komplain soal kualitas dan kebersihan kerupuk meulieng yang diekspor, dimana di dalam kemasan terdapat rambut.
"Pernah di awal-awal ekspor pihak sana komplain karena menemukan rambut di dalam kemasan, tentu ini bikin kami sempat panik mana lagi banyak yang sudah diekspor ke sana," ungkapnya.
Meski demikian, hal itu tidak menjadi hambatan, Ikhsan terus berupaya meningkatkan kualitas dan kebersihan pada produknya.
Selain itu, dalam memenuhi kebutuhan pasar Australia, ada kalanya Ikhsan kesulitan mendapatkan pasokan kerupuk mulieng dari pengrajin untuk diekspor hingga kenaikan harga pasar yang tidak bisa diprediksi.

Untuk menyiasatinya, terkadang Ikhsan melakukan stok kerupuk mulieng dari pasaran ketika harga sedang turun, nantinya stok tersebut akan diekspor lagi ke Australia pada periode selanjutnya.
"Kalau harga turun, kami beli banyak untuk jaga-jaga kalau stok tidak mencukupi. Tapi alhamdulillah sejauh ini InsyaAllah kerupuk muliengnya selalu cukup kami kumpulkan dari Muge untuk kemudian diekspor. Kalau misalnya lebih, kita akan simpan untuk ekspor selanjutnya," pungkasnya.
Usaha ekspor yang dibangun Ikhsan telah cukup membantu perekonomian para perajin kerupuk mulieng di sekitarnya.
Sebagai putera asli daerah lumbung produksi kerupuk mulieng, ia juga memahami pentingnya mempertahankan eksistensi kerupuk mulieng dan mewarisi tradisi masyarakat Pidie tersebut kepada generasi mudanya.
Untuk itulah, dalam usahanya, ia turut melibatkan generasi muda khususnya dari kalangan keluarga dan masyarakat sekitar.
Pembinaan untuk Pengrajin dan Pelaku Usaha Kerupuk Mulieng
Keberadaan melinjo dan usaha perajin serta pelaku UMKM yang terus menjaga kualitas dan mempromosikan kerupuk mulieng telah menjadikan makanan lagenda ini dikenal luas hingga ke mancanegara serta bernilai tinggi.
Di pasar lokal, panganan bergizi tersebut dijual dengan harga bervariasi, sesuai harga pasar dan kualitasnya.
Melihat banyaknya pelaku UMKM yang saat ini mulai merambah pasar ekspor, pihaknya terus melakukan pembinaan dan pendampingan kepada pengrajin maupun pelaku UMKM dalam meningkatkan kualitas produk seperti pelatihan pengemasan hingga digitalisasi penjualan.
Kepala Dinas Perdaganga Koperasi Usaha Kecil dan Menengah (Disperdagkop UKM) Kabupaten Pidie, Cut Afrianidar, SH, MSi mengatakan, Pidie sebagai sentra penghasil biji melinjo mampu menghasilkan empat ribu ton per harinya, adapun Kecamatan Mutiara menjadi desa yang paling banyak menghasilkan melinjo diantara desa-desa lainnya.
"Kalau di Pidie ini paling banyak dari kecamatan Mutiara bisa meghasilkan empat ribu ton," katanya.

Namun lanjutnya, tantangan yang dihadapi oleh para perajin saat ini ialah ketersediaan bahan baku utamanya, yaitu biji belinjo.
Masyarakat selama ini hanya mengandalkan pohon-pohon melinjo peninggalan zaman dahulu yang usianya sudah puluhan hingga ratusan tahun, tanpa melakukan reboisasi.
Hal ini tentu sangat berdampak terhadap kegiatan produksi yang kian hari semakin meningkat.
"Sayangnya kita masih bergantung dengan pohon yang lama di masa Belanda, harapannya dengan program ketahanan pangan saat ini semakin banyaklah penaman kembali pohon melinjo," timpalnya.
Selain itu, sebagai dukungan pihak terkait, Disperdagkop UKM Kota Sigli juga sudah mendaftarkan bentuk Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dari motif mulieng seperti batik dan produk kerajinan khas.
"Sebagai dukungan, selain ada tugu, kita juga ada HAKI mengenai motif mulieng, kita sudah jadikan batik khas dan juga kerajinan-kerajinan lainnya yang ada motif mulieng," timpalnya.
Sejarah Mulieng di Pidie
Pada kesempatan berbeda, sejarawan sekaligus kolektor manuskrip kuno Aceh, Tarmidzi Abdul Hamid mengatkan, sebagai sentra daerah penghasil kerupuk mulieng, ternyata tumbuhan melinjo mulai dibudidayakan di Pidie sejak Belanda menjajah Aceh pada tahun 1939.
"Karena posisi Pidie saat itu sebagai sentra perlawanan penjajah, maka masyarakat di daerah itu lebih membudidayakan pohon melinjo," katanya.
Menurut beberapa sumber sejarah, lanjutnya, bibit melinjo tersebut dibawa dari Thailand dan Malaysia.
"Saat Belanda menjajah Aceh di Sigli, orang Belanda itu terutama ibu-ibu dan perempuan lebih membudidayakan melinjo itu sendiri. Penanaman pohon melinjo itu dari arahan Belanda juga,"
Meski di awal Sigli dijadikan tempat uji coba penanaman, namun hasil biji melinjo yang ditanam di Pidie rasanya jauh lebih enak ketika dijadikan kerupuk dibandingkan dari daerah lain, sehingga budidaya melinjo pada saat itu terus digalakkan dan tetap eksis hingga kini.
"Belanda sudah tahu camilan dari kerupuk mulieng ini sangat enak, melinjo di Pidie punya getahnya kalau dijadikan kerupuk dia enak, maka dijadikan lah lahan uji coba (di Sigli). Ternyata terus menjadi komoditi masyarakat secara tradisional diolah di Pidie sehingga menjadi populer," sambungnya.
Saat modern ini, pohon melinjo berhasil menjadi komoditi yang tidak terpisahkan dalam peradaban masyarakat Pidie dan menandakan Kota Sigli menjadi salah satu daerah penting sejak masa lalu.
Terlepas dari itu semua, kerupuk mulieng telah menjadi satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dalam peradaban masyarakat Pidie.
Sejumlah orang sukses dari daerah ini pernah memiliki kisah khusus bersama melinjo.
Setidaknya, sekolah mereka ikut dibiayai dari hasil panen dan kerajinan buah melinjo.
"Kita harapkan dengan warisan Belanda ini, pemerintah sekarang mohon dibuat program ke depan. Misalkan warisan tak benda dan kemudian reboisasi besar-besaran jangan menggunakan warisan masa lalu semua, karena ini (pohon melinjo) bisa punah," pungkasnya.
(Serambinews.com/Firdha Ustin)
Tekan Angka Stunting dan Kematian Bumil, Dinkes Pidie Fasilitasi Pemeriksaan Ibu Hamil di Tangse |
![]() |
---|
Dua Putra Pidie Lulus Akmil 2025, Lulusan SMA Mosa dan SMA Unggul Sigli, Orang Tua Ucap Syukur |
![]() |
---|
Polres Pidie Terima Penghargaan dari Ketua PWI Aceh, Diserahkan Saat Konferkab VII |
![]() |
---|
Firman Kembali Terpilih Menjadi Ketua PWI Pidie Periode 2025-2028 |
![]() |
---|
Harga Coklat Rp 60 Ribu/Kg, Pinang Rp 16.000/Kg, Petani Pidie Lega Bisa Tutupi Biaya Pendidikan Anak |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.