Breaking News

Kupi Beungoh

Rindu Gubernur Rasa Sultan Aceh 

Dari paket cagub – cawagub Aceh yang ada, sesuai nomor urut; Bustami Hamzah – Fadhil Rahmi dan Muzakir Manaf – Fadhlullah, kedua pasangan ini dirinduk

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS.COM/FOR SERAMBINEWS
Tarmizi A. Hamid adalah owner Museum  Rumoh Manuskrip Aceh, dan Hasan Basri M Nur adalah dosen UIN Ar-Raniry. 

Oleh: Tarmizi A Hamid dan Hasan Basri M Nur*)

RABU tanggal 27 November 2024 adalah momen penting dan merupakan hari penentuan masa depan lima tahun mendatang nasib Aceh. Pagi hingga Rabu siang, rakyat ban sigom Aceh memilih pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Aceh untuk masa kepemimpinan 2025-2030.

Rakyat di seluruh Aceh dipersilakan menggunakan hak pilihnya sesuai hati nurani, tanpa paksaan, tanpa godaan suap (politik amplop) dan tentu saja harus berdasarkan latar belakang atau track record calon gubernur.

Dari paket cagub – cawagub Aceh yang ada, sesuai nomor urut; Bustami Hamzah – Fadhil Rahmi dan Muzakir Manaf – Fadhlullah, kedua pasangan ini dirindukan agar mampu mewujudkan kepemimpinan rasa sultan Aceh.

Terdapat tiga alasan kami menyebut bahwa rakyat Aceh saat ini merindukan kelahiran gubernur rasa sultan.

3 Alasan Rasa Sultan

Alasan pertama, Aceh merupakan bekas Kerajaan Aceh Darussalam (1496 – 1945) yang dipimpin oleh sosok para sultan atau sultanah yang sangat berwibawa, dihormati oleh rakyat dan disegani oleh pemimpin dunia.

Beberapa penulis sejarah menyebut Kesultanan Aceh Darussalam pernah masuk dalam 5 negara Islam paling berpengaruh di dunia, bersama Turki Utsmani di Istanbul, Safawi di Persia, Mughal di India dan Maroko.

Dengan demikian, kelahiran kembali pemimpin (Gubernur Aceh) yang kuat dan disegani oleh rakyat sendiri, alim ulama, pemerintah pusat dan bahkan dunia menjadi kerinduan rakyat ban sigom Aceh.

Alasan kedua, di Republik Indonesia terdapat sebuah provinsi yang dipimpin oleh gubernur berkedudukan sebagai Sultan, yaitu Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Ini adalah wujud keistimewaan Yogyakarta yang diakui oleh Undang-undang RI. 

Tidak hanya itu, untuk merawat kelestarian keistimewaan Yogyakarta ini, Pemerintah Pusat menganggarkan dana rutin. Seluruh rakyat Indonesia menerima dan tak mempersoalkan status keistimewaan DIY ini. Begitulah pengejawantahan nilai Bhinneka Tunggal Ika.

Alasan ketiga, Aceh – sebagaimana DIY – Aceh memiliki legalitas sebagai daerah istimewa dan daerah khusus. Legalitas Aceh sebagai daerah istimewa tertuang dalam UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. 

Sementara legalitas Aceh sebagai daerah khusus memiliki landasan dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). UUPA ini merupakan jabaran operasional dari Memorandum of Understanding (MoU) yang diteken oleh pimpinan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah RI di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005.

Merujuk pada UU Nomor 44/1999, Aceh memiliki keistimewaan dalam 4 bidang, yaitu penyelenggaraan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.

Meski Aceh menyandang status sebagai Daerah Istimewa dalam 4 bidang, namun faktanya belum terlihat tanda-tanda keistimewaan itu dalam implementasinya, terutama bidang pendidikan, adat dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.

Kompleks Keistimewaan Aceh yang dibangun di samping Kantor Gubernur seakan menjadi bangunan-bangunan mati yang tak memberi kontribusi nyata, terutama bagi pengembangan dan pemajuan pendidikan Aceh, adat dan peran ulama.

Walau menyandang daerah istimewa di bidang pendidikan, namun kondisi pendidikan Aceh masih sangat rendah, bahkan pernah di bawah Papua Barat yang merupakan provinsi baru (Lihat: Mutu Pendidikan Aceh Rendah, di Bawah Papua, Siapa yang Harus Mengundurkan Diri?, Serambinews.com, 21/09/2021).

Sementara keistimewaan bidang penyelenggaraan kehidupan beragama agak sedikit berdenyut dengan adanya Dinas Syariat Islam (DSI). 

Namun, DSI tampak belum mampu melahirkan regulasi terkait kepentingan publik seperti tertuang dalam 5 tujuan Maqashid Syariah.

Sebagai contoh, aspek Hifzul Mal dalam Maqashid Syariah, belum ada regulasi terkait memelihara harta bersama yang ada dalam APBK, APBA, dan APBN.

“Pencuri” dan pemboros uang harta rakyat dalam APBK/APBA/APBN belum diatur bentuk hukuman sesuai syariat Islam, sehingga para pejabat tampak seperti berfoya-foya dengan harta rakyat melalui pengadaan mobil-mobil mewah, rehab rumah dinas, rehab kantor, SPPD luar negeri, dugaan main fee dalam proyek-proyek tertentu, bahkan proyek fiktif dan lain-lain.

Kepemimpinan Kembar

Selanjutnya, merujuk pada UUPA Nomor 11/2006, Aceh memiliki beberapa kekhususan, termasuk memiliki Lembaga Wali Nanggroe (LWN). 

Akan tetapi, lembaga yang merupakan bagian dari amanah MoU Helsinki tampak mati suri.

Seharusnya LWN diberi kewenangan mengatur semua lembaga keistimewaan dan khusus yang diakui Undang-undang. Artinya, Aceh berhak memiliki kepemimpinan kembar seperti era Kesultanan Aceh Darussalam, yaitu Sultan dan Qadhi Malikul Adil (Baca: Kepemimpinan Kembar, dalam Ensiklopedia Kebudayaan Aceh, Disbudpar Aceh, 2018).

Merujuk pada kajian historis ditambah beberapa regulasi di Indonesia, Aceh berhak menampilkan diri dalam bentuk yang berbeda dari provinsi lain di Indonesia.

Harus dipahami bahwa Aceh adalah daerah istimewa dan khusus, melebihi DIY. Jika DIY memiliki anggaran untuk merawat keistimewaan, maka kepada Aceh juga mesti diberi anggaran yang sama dari APBN.

“Payung hukum status keistimewaan Aceh telah ada sejak 25 tahun lalu. Akan tetapi alokasi anggaran sektor keistimewaan hingga saat ini tidak disediakan dari APBN. Berbeda dengan Yogyakarta yang rutin mendapatkan dana ini,” ujar Safaruddin SH MH, mahasiswa S3 Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala dalam sebuah pertemuan dengan penulis di Banda Aceh 26 November 2024.

“Kami akan berjuang agar kepada Aceh juga diberikan dana keistimewaan seperti yang diberikan kepada DIY,” lanjut Safar yang mengambil kajian disertasi tentang daerah otonomi dan istimewa di Indonesia.

Untuk itu, Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh periode 2025-2030 wajib memiliki wawasan ke-Aceh-an, baik historis maupun regulatif. Lembaga-lembaga keistimewaan dan kekhususan Aceh sejatinya berada di bawah asistensi dan pengawasan Lembaga Wali Nanggroe Aceh.

Gubernur terpilih untuk periode 2025-2030 wajib memiliki komitmen untuk menghidupkan status daerah istimewa dan khusus yang dimiliki Aceh secara nyata, bukan omong kosong alias angin surga seperti selama 25 tahun terakhir. Semoga!

Banda Aceh, 26 November 2024

*) Penulis Tarmizi A. Hamid adalah owner Museum  Rumoh Manuskrip Aceh, dan Hasan Basri M Nur adalah dosen UIN Ar-Raniry, email: asanbasrimnur@gmail.com

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved