Kupi Beungoh
Menjalin Ukhuwah Islamiyah Pascapilkada Aceh 2024: Membingkai Persatuan di Tengah Perbedaan
Umat Islam di Aceh harus mampu mengedepankan prinsip persaudaraan dan saling menghormati, terlepas dari perbedaan pilihan politik.
Oleh : Derri Zaryadi dan Laila Luthfiah
Aceh, yang dikenal sebagai "Serambi Mekkah," memiliki sejarah panjang sebagai daerah dengan tradisi Islam yang kuat dan peran penting dalam perjalanan bangsa Indonesia.
Sistem pemerintahan Aceh yang unik, termasuk penerapan syariat Islam, menjadikan provinsi ini memiliki karakteristik tersendiri dalam setiap proses politiknya, termasuk pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Pilkada di Aceh bukan hanya ajang kontestasi politik, tetapi juga arena mengekspresikan nilai-nilai kultural, sosial, dan agama yang melekat dalam kehidupan masyarakat.
Namun, sebagaimana di banyak daerah lain, Pilkada sering kali memunculkan potensi perpecahan.
Perbedaan pilihan politik dapat menciptakan sekat-sekat sosial di antara masyarakat, terutama ketika isu-isu sensitif seperti agama atau identitas kelompok digunakan sebagai alat kampanye.
Setelah pelaksanaan Pilkada Aceh 2024, yang mengantarkan pasangan Muzakir Manaf (Mualem) dan Fadhullah Dek Fadh sebagai pemenang, penting bagi kita untuk merenungkan kembali nilai Ukhuwah Islamiyah (Hubungan Persaudaraan) di tengah masyarakat Aceh.
Pilkada, sebagai sebuah momen demokrasi, tidak hanya menjadi ajang kompetisi politik, tetapi juga menjadi titik tolak untuk memperkuat persatuan dan kesatuan di antara umat Islam.
Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa demokrasi dan ukhuwah bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan dapat berjalan beriringan jika dikelola dengan bijak.
Tantangan Pascapilkada
Hasil pemilihan yang menunjukkan perolehan suara Mualem-Dek Fadh sebesar 53,3 persen berbanding 46,7 % untuk pasangan Bustami Hamzah-Fadhil Rahmi, menandakan adanya perbedaan dukungan dalam masyarakat. Hal ini dapat berpotensi menimbulkan ketegangan di antara pendukung kedua belah pihak pascapenetapan hasil pilkada.
Keberatan yang diajukan oleh saksi pasangan nomor urut 01 terkait dugaan kecurangan, menunjukkan bahwa proses demokrasi ini masih menyisakan tantangan dalam hal kepercayaan publik terhadap integritas pemilihan.
Dalam konteks ini, ukhuwah Islamiyah menjadi sangat penting. Umat Islam di Aceh harus mampu mengedepankan prinsip persaudaraan dan saling menghormati, terlepas dari perbedaan pilihan politik.
Islam mengajarkan bahwa perbedaan adalah sunnatullah, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hujurat:13 yang menyebutkan bahwa Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal, bukan saling bermusuhan.
Ulama dan tokoh masyarakat perlu berperan aktif dalam menyejukkan suasana dan mengingatkan bahwa tujuan bersama kita adalah kesejahteraan dan kedamaian bagi seluruh rakyat Aceh.
Memperkuat Persatuan
Setelah pilkada, langkah pertama yang perlu diambil adalah membangun dialog antar kelompok yang berbeda. Ini bisa dilakukan melalui forum-forum diskusi yang melibatkan semua elemen masyarakat, termasuk pemimpin agama, tokoh masyarakat, dan perwakilan dari kedua kubu pemenang dan kalah. Dengan cara ini, kita dapat menciptakan ruang untuk saling mendengarkan dan memahami perspektif masing-masing.
Kemudahan Tanpa Tantangan, Jalan Sunyi Menuju Kemunduran Bangsa |
![]() |
---|
Memaknai Kurikulum Cinta dalam Proses Pembelajaran di MTs Harapan Bangsa Aceh Barat |
![]() |
---|
Haul Ke-1 Tu Sop Jeunieb - Warisan Keberanian, Keterbukaan, dan Cinta tak Henti pada Aceh |
![]() |
---|
Bank Syariah Lebih Mahal: Salah Akad atau Salah Praktik? |
![]() |
---|
Ketika Guru Besar Kedokteran Bersatu untuk Indonesia Sehat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.