Kupi Beungoh

Dua Dekade Tsunami Aceh: Tumbuh Dari Luka, Menuju Pemulihan

Tsunami 2004 tidak hanya merenggut ratusan ribu nyawa, tetapi juga menghancurkan tatanan sosial yang menjadi penopang kehidupan masyarakat Aceh. 

Editor: Amirullah
For Serambinews.com
Siti Hajar Sri Hidayati, M.A., Dosen Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry 

Oleh: Siti Hajar Sri Hidayati, M.A.

Minggu pagi, 26 Desember 2004, dimulai dengan kehangatan biasa. Matahari perlahan terbit, memancarkan cahaya yang merekah keemasan.

Kehidupan bergulir dalam harmoni; ibu-ibu sibuk di dapur, anak-anak bermain riang, sementara para bapak berolahraga. Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama.

Pukul 08.00 WIB, bumi Aceh terguncang hebat. Gempa dahsyat selama hampir dua menit membuat semua orang tersentak.

Takbir dan tahlil menggema, memohon perlindungan Ilahi. Kepanikan melanda, sebab kekuatan gempa ini tak pernah dirasakan sebelumnya.

Hanya sepuluh menit berlalu, teriakan "gelombang air mendekat!" memecah suasana. Tsunami setinggi 30 meter melaju tanpa ampun, menyapu pantai barat dan utara Aceh.

Kota Banda Aceh, Meulaboh, dan desa-desa pesisir di Aceh Besar sekitarnya hancur lebur. Rumah-rumah rata dengan tanah, dan ratusan ribu nyawa lenyap seketika. 

Alam yang awalnya indah berubah menjadi saksi bisu tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah negeri ini.

Ketika mengulas kilas balik peristiwa dua puluh tahun lalu itu, emosi sedih dan duka kita terlanjur dipanggil kembali, ikut merasakan suasana kelam yang tidak terlupakan oleh sejarah dunia itu.

Bagi banyak penyintas, kenangan hari itu masih sangat terasa jelas—tangisan, kerumunan yang mencari anggota keluarga, dan rasa tidak percaya bahwa gelombang sebesar itu dapat terjadi. 

Namun, dari reruntuhan itu pula, kita semua berharap, momen dua dekade kejadian bencana gempa dan tsunami, akan lahir sebuah perjalanan panjang menuju pemulihan.

Baca juga: Peringati 20 Tahun Tsunami, Ribuan Peserta Meriahkan ‘Run For Life’

Duka Kolektif

Tsunami 2004 tidak hanya merenggut ratusan ribu nyawa, tetapi juga menghancurkan tatanan sosial yang menjadi penopang kehidupan masyarakat Aceh. 

Kehilangan ini begitu masif sehingga tidak ada satu keluarga pun yang luput dari duka. Namun, justru dalam kesedihan yang dirasakan bersama ini, muncul kekuatan yang luar biasa dari masyarakat Aceh untuk saling menopang. 

Duka kolektif menjadi titik awal bagi mereka untuk menemukan kembali makna kebersamaan.

Tradisi lokal seperti meuripee (ritual berkabung bersama) menjadi ruang bagi masyarakat untuk menyuarakan perasaan kehilangan yang begitu mendalam. Dalam ritual ini, kesedihan tidak dianggap sebagai kelemahan, tetapi sebagai bagian alami dari proses penyembuhan. 

Kebersamaan dalam berbagi air mata, doa, dan kisah kehilangan menciptakan kehangatan di tengah kehancuran, memberikan rasa bahwa mereka tidak sendiri. Lebih dari sekadar upacara, meuripee adalah bentuk solidaritas yang memupuk harapan dan mempererat ikatan sosial yang sempat tercerai-berai.

Aceh telah lama dikenal sebagai masyarakat yang tangguh, ditempa oleh sejarah panjang konflik bersenjata dan penjajahan. 

Tsunami mungkin menjadi pukulan terberat, tetapi masyarakat Aceh memiliki warisan daya tahan yang telah teruji oleh waktu.

Kekuatan ini terlihat jelas dalam kemampuan mereka untuk bangkit, dengan memadukan tradisi lokal dan nilai religius sebagai obat pelipur lara. 

Dukungan komunitas, seperti kehadiran tetangga, saudara, dan teman, menjadi obat yang lebih ampuh dibandingkan hal matrealistik. Ketika duka dihadapi bersama, proses penyembuhan tidak lagi menjadi beban individu semata, melainkan perjalanan kolektif.

Meski pemulihan emosional memerlukan waktu yang panjang, masyarakat Aceh menemukan cara untuk tetap bertahan. Mereka mengandalkan tradisi, doa, dan solidaritas sebagai jangkar yang menjaga mereka dari keputusasaan. 

Dalam setiap langkah pemulihan, ada kesadaran bahwa kehilangan besar ini tidak dapat dihapus, tetapi bisa dijadikan fondasi untuk membangun kehidupan baru yang lebih kuat. 

Melalui duka kolektif, mereka tidak hanya menyembuhkan luka pribadi tetapi juga membangun solidaritas yang menjadi harapan bagi generasi mendatang.

Baca juga: 20 Tahun Tsunami Aceh, Komunitas Kejar Mimpi Beri Literasi Bencana untuk Anak Muda

Baca juga: Menjelang Peringatan Tsunami Aceh: PLTD Kapal Apung Sebagai Wadah Sejarah dan Edukasi Bencana

Perjalanan Menuju Pemulihan

Setiap tragedi besar selalu menyimpan hikmah yang bisa dipetik. Dalam kasus tsunami Aceh, solidaritas yang terbentuk di antara para penyintas dan komunitas menjadi fondasi untuk bangkit dari kehancuran. 

Perjalanan menuju pemulihan telah menciptakan perubahan yang perlahan mengarah pada kehidupan yang lebih baik.

Psikologi mengenal istilah posttraumatic growth (PTG), yang pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Richard G. Tedeschi. PTG menggambarkan kemampuan individu untuk tumbuh dan menemukan makna hidup baru setelah melalui pengalaman traumatik.

Proses ini tidak terjadi secara instan, tetapi memberikan dampak mendalam, termasuk cara pandang yang lebih positif terhadap kehidupan, hubungan yang lebih hangat, kekuatan pribadi yang semakin besar, serta perubahan spiritual yang signifikan. 

Kini, banyak orang yang lebih menghargai waktu, lebih terbuka untuk menerima perubahan, dan memiliki keberanian untuk menghadapi tantangan di masa depan.

Dua puluh tahun setelah bencana, pemulihan di Aceh tidak hanya dilihat dari segi fisik, seperti perbaikan infrastruktur, tetapi juga melalui kebangkitan semangat kolektif. 

Para penyintas yang dulu kehilangan segalanya kini menjadi aktor perubahan di komunitas mereka. Mereka mendirikan organisasi sosial, membimbing generasi muda, dan menciptakan peluang ekonomi baru untuk mendukung keberlanjutan masyarakat.

Nilai-nilai lokal dan keimanan berperan besar dalam membantu masyarakat Aceh menghadapi trauma. Tradisi seperti meuripee tidak hanya membantu mereka berbagi duka, tetapi juga mempererat solidaritas yang menjadi kekuatan bersama. 

Inisiatif seperti pelatihan kesiapsiagaan bencana atau dukungan emosional kepada anak-anak yatim menunjukkan bahwa masyarakat Aceh terus beradaptasi dan menemukan jalan untuk bangkit.

Perjalanan ini membuktikan bahwa pemulihan sejati bukan hanya tentang membangun kembali yang hilang, tetapi juga tentang memperkuat hubungan antarmanusia, menumbuhkan ketahanan, dan memupuk harapan baru untuk menghadapi masa depan dengan penuh keyakinan.

Peran Pemerintah

Dua dekade pasca-tsunami, ke depan mitigasi kebencanaan perlu berperspektif inklusif. Penanganan bencana tak cukup hanya fokus pada kendali darurat, evakuasi korban, dan infrastruktur fisik, tetapi juga persiapan pemulihan kesehatan mental korban jangka panjang.

Pemerintah Aceh harus lebih proaktif terkait problem kesehatan mental, bukan menyerahkan sepenuhnya pemulihan trauma pada komunitas. Pembentukan departemen kesehatan mental dengan dukungan psikolog dan psikiater menjadi langkah strategis untuk memberikan terapi berkala dan mencegah alienasi korban bencana. 

Pemerintah juga harus memperkuat kolaborasi dengan lembaga internasional dan organisasi lokal untuk menciptakan program yang berkelanjutan.

Selain itu, mitigasi yang berbasis masyarakat perlu diperluas, seperti pelatihan kesiapsiagaan bencana yang melibatkan generasi muda dan perempuan sebagai agen perubahan. 

Langkah ini tidak hanya meningkatkan kapasitas masyarakat, tetapi juga membangun kesadaran kolektif akan pentingnya kesiapan menghadapi risiko bencana di masa depan.

Pelajaran dari bencana ini harus terpatri dalam ingatan kolektif, mendorong kesiapsiagaan, harmoni dengan alam, dan hubungan yang lebih erat kepada Allah Swt dan sesama manusia. 

Pemulihan sejati bukan hanya membangun kembali yang runtuh, tetapi juga merawat capaian dan memastikan keberlanjutan masa depan. Dengan refleksi atas perjalanan ini, masyarakat Aceh dapat menjadi contoh bagi dunia tentang bagaimana bangkit dari kehancuran dan menumbuhkan harapan baru.

 

Penulis: Siti Hajar Sri Hidayati, M.A. (Dosen Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry)

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Artikel KUPI BEUNGOH lainnya baca DI SINI

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved