Mihrab

Wakil Ketua MPU Aceh Prof Muhibuththabry Jelaskan Faedah Khitan bagi Perempuan

Ada yang beranggapan bahwa khitan bagi perempuan adalah bagian dari tradisi yang memiliki nilai positif dan dianggap sebagai bentuk penghormatan. 

Penulis: Agus Ramadhan | Editor: Eddy Fitriadi
YOUTUBE SERAMBINEWS
Wakil Ketua MPU Aceh Prof. Dr. H. Muhibbuththabary, M.Ag. Wakil Ketua MPU Aceh Prof Muhibuththabry Jelaskan Faedah Khitan bagi Perempuan. 

“Keduanya saling melengkapi dan memperkuat, dengan khitan menjadi dasar dari fitrah fisik,” jelas Prof Muhibbuththabary.

Empat mazhab utama dalam Islam memiliki pandangan yang berbeda mengenai status hukum khitan perempuan

Mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa khitan bagi laki-laki adalah sunnah, sedangkan bagi perempuan dianggap makrumah (dihargai) tetapi tidak diwajibkan. 

Mazhab Malikiyah menganggap khitan bagi laki-laki sebagai kewajiban dan bagi perempuan sebagai sunnah. 

Mazhab Syafi’i memandang khitan sebagai kewajiban bagi kedua jenis kelamin. 

Sementara itu, Mazhab Hanabilah juga menganggap khitan wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi perempuan.

“Dari berbagai pandangan ini, tidak ada ulama yang mengharamkan atau menganggap khitan perempuan sebagai makruh,”

“Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada larangan yang jelas terhadap praktik khitan perempuan dalam fiqih klasik,” paparnya.

Kendati demikan, ada penekanan pada khitan sebagai bentuk kehormatan bagi perempuan, usaha untuk menetralkan istilah "makrumah" sebagai sekadar kebolehan tetap menunjukkan bahwa para ahli fiqih tidak menganggap praktik ini bertentangan dengan syariat.

Dalam penelitian mengenai hukum khitan perempuan, sangat penting untuk mempertimbangkan perspektif fiqih baik yang klasik maupun yang kontemporer. 

Fiqih klasik memberikan pengakuan terhadap khitan perempuan sebagai praktik yang dihormati, sementara fiqih kontemporer lebih menekankan pada aspek kesehatan dan kemaslahatan. 

“Kita perlu juga menyadari bahwa khitan perempuan bukan hanya sekadar tindakan fisik, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai dan norma yang ada dalam masyarakat,”

“Khitan, baik untuk laki-laki maupun perempuan, seharusnya dipandang sebagai bagian dari upaya menjaga kesehatan dan kesucian, bukan sebagai bentuk penindasan atau pelecehan,” pungkasnya.

(Serambinews.com/ar)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved