Opini
Refleksi Dua Dekade Tsunami Aceh dan Momentum Muhasabah
Banyak bangunan runtuh seketika, jalanan retak, dan orang-orang berlarian panik mencari tempat aman. Namun, gempa itu bukanlah puncak dari bencana. Be
Oleh: Tgk. H Faisal Ali*)
TSUNAMI Aceh yang terjadi tanggal 26 Desember 2004 merupakan salah satu tragedi terbesar dalam sejarah modern. Diawali oleh gempa bumi dahsyat berkekuatan 9,3 Skala Richter, bencana ini mengguncang dasar Samudra Hindia di pantai barat Aceh. Gelombang raksasa yang menyusul menghancurkan pesisir Aceh, menewaskan lebih dari 200.000 orang, dan meninggalkan luka yang mendalam bagi masyarakat lokal dan dunia.
Di balik tragedi ini, terselip kisah kearifan lokal berupa mitos Smong yang menyelamatkan banyak nyawa di Pulau Simeulue. Gempa yang terjadi pada pukul 07.59 WIB pagi itu berlangsung selama sekitar 8-10 menit, membuat tanah Aceh berguncang hebat.
Banyak bangunan runtuh seketika, jalanan retak, dan orang-orang berlarian panik mencari tempat aman. Namun, gempa itu bukanlah puncak dari bencana. Beberapa menit setelah gempa, air laut di beberapa daerah pesisir tiba-tiba surut jauh, membuka dasar laut yang biasanya tak terlihat.
Masyarakat yang tidak memahami fenomena ini mendekat untuk melihat apa yang terjadi. Tidak lama kemudian, gelombang besar setinggi lebih dari 30 meter datang dengan kecepatan hingga 800 kilometer per jam, menghancurkan segala sesuatu di jalurnya. Bagi masyarakat Pulau Simeulue, fenomena ini bukan hal baru.
Mereka mengenalnya sebagai Smong, sebuah istilah dalam bahasa lokal yang berarti tsunami. Kisah tentang Smong telah diwariskan secara turun-temurun melalui lisan, lagu, dan cerita rakyat. Mitos ini mengajarkan bahwa jika air laut surut secara tiba-tiba setelah gempa besar, itu merupakan pertanda bahwa gelombang besar akan datang. Dalam kisah mereka, orang-orang diajarkan untuk segera melarikan diri ke tempat yang lebih tinggi tanpa menunggu.
Tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 telah menjadi tonggak sejarah yang tidak hanya mengguncang dunia fisik, tetapi juga menggugah kesadaran spiritual umat manusia. Dua dekade setelah gelombang raksasa itu meluluhlantakkan Aceh, refleksi atas tragedi ini membawa kita pada renungan mendalam tentang makna hidup, kebesaran Allah SWT, serta tanggung jawab manusia sebagai khalifah di muka bumi.
Peristiwa ini menyisakan hikmah luar biasa bagi masyarakat Aceh, khususnya dalam hal muhasabah diri, peningkatan ilmu, regenerasi ulama, dan momentum perdamaian yang melahirkan MoU Helsinki. Tsunami Aceh merupakan pengingat akan kekuasaan mutlak Allah SWT atas alam semesta. Muhasabah merupakan pintu utama menuju perbaikan diri. Khalifah Umar bin Khattab RA pernah berpesan, "Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab, dan timbanglah amalmu sebelum amalmu ditimbang."
Refleksi atas tsunami mengajarkan pentingnya meninggalkan segala bentuk kemaksiatan dan berlomba-lomba dalam kebaikan. Tragedi ini menjadi pengingat bahwa dunia hanya sementara, dan amal saleh merupakan bekal utama menuju akhirat. Amar makruf nahi mungkar menjadi tugas kolektif masyarakat. Kehancuran fisik akibat tsunami dapat dibangun kembali, tetapi kehancuran moral membutuhkan perhatian serius.
Pembangunan fisik pasca tsunami lebih mudah dari rekonstruksi peradaban yang meliputi membangun manusia, baik secara spiritual, intelektual, maupun moral, merupakan tugas yang jauh lebih kompleks. Ini bukan sekadar soal menyediakan pendidikan, melainkan menanamkan nilai-nilai, mengembangkan potensi, dan mempersiapkan generasi penerus untuk menghadapi tantangan dunia modern tanpa kehilangan identitas lokal dan nilai-nilai keislaman. Peradaban dibangun atas fondasi ilmu pengetahuan, akhlak, dan keadilan. Pasca-tsunami, Aceh dihadapkan pada tugas berat untuk menyeimbangkan pembangunan fisik dengan pembangunan manusia dan peradaban.
Meningkatkan Semangat Belajar dan Mempersiapkan Generasi Penerus
Tsunami tidak hanya menghapus banyak nyawa, tetapi juga membawa dampak besar pada kehidupan intelektual Aceh. Banyak ulama dan cendekiawan yang wafat dalam tragedi ini, bahkan dalam tahun 2024 juga ulama kharismatik dan senior telah wafat dan ini meninggalkan kekosongan besar dalam pembinaan keilmuan. Rasulullah SAW bersabda: "Perginya ilmu merupakan dengan wafatnya para ulama." (HR. Al-Darimi). Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan ilmu dan belajar menjadi sangat penting untuk mengisi kekosongan tersebut.
Dua dekade setelah tsunami, Aceh telah menunjukkan kebangkitan dalam dunia pendidikan. Namun, tantangan regenerasi ulama dan intelektual tetap menjadi fokus utama. Lembaga-lembaga pendidikan Islam, baik dayah maupun sekolah formal, harus terus memperkuat kurikulum yang mendukung pengembangan ilmu agama dan ilmu duniawi. Generasi muda Aceh harus dipersiapkan untuk menjadi pewaris ilmu para ulama yang telah meninggalkan kita, dengan tetap memegang teguh prinsip-prinsip Ahlussunnah wal Jama'ah.
Pentingnya belajar juga tercermin dalam hadis Rasulullah SAW: "Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap Muslim." (HR. Ibnu Majah). Tragedi tsunami harus menjadi pengingat bahwa membangun kembali masyarakat Aceh yang berilmu merupakan bagian dari ibadah dan pengabdian kepada Allah SWT.Salah satu dampak terbesar tsunami merupakan hilangnya banyak ulama Aceh yang menjadi penjaga tradisi keilmuan Islam.
Wafatnya ulama merupakan kehilangan yang tidak tergantikan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Meninggalnya seorang ulama merupakan musibah yang tak tergantikan, dan sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal." (HR. Al-Thabrani). Dalam konteks ini, regenerasi ulama menjadi tugas penting bagi masyarakat Aceh.
Regenerasi ulama tidak hanya sekadar menggantikan posisi mereka, tetapi juga melanjutkan perjuangan mereka dalam mendidik umat dan menjaga akidah. Generasi muda harus dibekali dengan pendidikan agama yang kuat, akhlak yang mulia, dan semangat dakwah yang tulus. Dayah-dayah di Aceh harus terus didukung untuk melahirkan para ulama yang mampu menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan nilai-nilai keislaman.
Kehilangan ulama juga mengingatkan pentingnya penghormatan kepada para pewaris ilmu. Umat Islam di Aceh harus terus menjaga hubungan erat dengan ulama yang masih ada, mendengarkan petuah mereka, dan mengikuti bimbingan mereka. Kehadiran ulama di tengah masyarakat merupakan nikmat yang harus selalu disyukuri.
Tsunami, MoU Helsinki dan MoU Kehidupan
Perdamaian yang terwujud dari MoU Helsinki memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya dialog, kesabaran, dan semangat untuk memperjuangkan kepentingan bersama. Aceh tidak hanya menjadi contoh keberhasilan dalam menyelesaikan konflik bersenjata, tetapi juga simbol bagaimana bencana besar dapat menjadi katalisator untuk perdamaian.
Ke depan, keberlanjutan perdamaian Aceh memerlukan komitmen kuat dari semua pihak, termasuk masyarakat lokal, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat. Tantangan seperti ketimpangan ekonomi, korupsi, dan pemenuhan hak-hak masyarakat Aceh harus terus menjadi prioritas. Selain itu, pendidikan dan pembinaan generasi muda Aceh harus diarahkan untuk memperkuat nilai-nilai perdamaian, keadilan, dan keberlanjutan.
MoU Helsinki merupakan tonggak sejarah yang menandai akhir dari konflik panjang yang melanda Aceh. Perdamaian ini merupakan amanah yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Tragedi tsunami juga memiliki dimensi lain yang tak kalah penting, yaitu dampaknya pada proses perdamaian di Aceh. Bencana ini menjadi titik balik yang mempertemukan para pihak yang bertikai untuk menandatangani MoU Helsinki pada tahun 2005.
Perdamaian ini merupakan hikmah besar dari tsunami, yang menunjukkan bahwa dalam musibah sekalipun, Allah SWT menyisipkan berkah bagi mereka yang mau bersabar dan berusaha.MoU Helsinki membuka jalan bagi Aceh untuk membangun kembali kehidupan sosial dan ekonominya tanpa dihantui konflik berkepanjangan. Perdamaian ini harus terus dijaga dan diperkuat dengan semangat kebersamaan dan saling pengertian.
Beranjak dari kupasan di atas, refleksi atas dua dekade tsunami Aceh membawa kita pada kesadaran mendalam bahwa musibah merupakan ujian sekaligus peluang untuk memperbaiki diri. Hedaknya dengan bermuhasabah, peningkatan ilmu, dan regenerasi ulama, Aceh dapat terus melangkah maju dengan identitas Islam yang kuat. Perdamaian yang lahir dari MoU Helsinki merupakan amanah yang harus terus dijaga demi keberlanjutan pembangunan Aceh yang adil dan sejahtera.
Mari kita jadikan momen ini sebagai titik balik untuk memperbaiki hubungan dengan Allah SWT, memperkuat ukhuwah Islamiyah, dan membangun Aceh yang lebih baik. Dua puluh tahun pasca-tsunami, Aceh harus melangkah lebih jauh dari sekadar rekonstruksi fisik. Fokus harus diarahkan pada pembangunan karakter, penguatan nilai-nilai keislaman, dan pembentukan generasi muda yang berwawasan luas.
Dengan semangat ini, Aceh tidak hanya dapat bangkit kembali, tetapi juga menjadi inspirasi bagi dunia tentang bagaimana sebuah komunitas dapat menghadapi musibah besar dan membangun peradaban baru yang lebih kuat dan bermakna. Lantas sudahkah kita mengimplementasikannya? Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq
*) Penulis Ketua PWNU Aceh dan Pimpinan Dayah Mahyal Ulum Al-Aziziyah Sibreh
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.