Opini
Asesmen Guru Disdik Aceh, Evaluasi tanpa Arah?
Jika hasil asesmen negatif, maka guru terus menjadi objek yang dipersalahkan, sebaliknya jika hasil asesmen positif, maka Disdik Aceh mengklaim paling
Asesmen Guru Disdik Aceh, Evaluasi tanpa Arah?
Oleh: Dr Samsuardi
DINAS Pendidikan (Disdik) Aceh telah melaksanakan program asesmen guru di tingkat SMA dan SMK se-Aceh untuk memetakan kualitas yang dimiliki seorang pendidik pada satuan pendidikan sekolah.
Asesmen guru merupakan suatu evaluasi untuk mengukur tingkat kompetensi yang dimiliki sesuai ketentuan UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 dan UU Guru dan Dosen Nomor 14 tahun 2005 Pasal 8 yang menyebutkan guru harus memiliki 4 kompetensi, meliputi (1) Kompetensi Pedagogik, (2) Kompetensi Profesional. (3) Kompetensi Sosial dan (4) Kompetensi Kepribadian.
Hal yang lebih menarik, sebelum melakukan asesmen guru, Disdik Aceh di pertengahan tahun 2024 lalu juga telah melaksanakan asesmen kepala sekolah SMA/SMK untuk mengukur tingkat kualitas kompetensi dari kepemimpinan kepala sekolah.
Namun sayangnya, hasil asesmen belum ada tindak lanjut setelahnya What Next? sehingga terdapat puluhan kepala sekolah yang masih berstatus Plt belum definitif serta belum ada rotasi kepala sekolah yang berkinerja buruk.
Baca juga: Asesmen Guru, untuk Apa?
Di samping itu, Disdik Aceh belum berani mempublikasi hasil asesmen yang telah dilakukan. Padahal public sebagai pengguna jasa pendidikan Aceh berhak mengetahui tingkat kualitas guru dan kinerja kepala sekolah pada satuan pendidikan kerja masing-masing secara transparan?
Bahkan salah satu pilar pembangunan pendidikan di Renstra Disdik Aceh yaitu membangun transparansi public, lantas kenapa tidak berani men-ekspose hasil asesmen yang telah dilaksanakan?
Dari hasil pemantauan, terdapat beberapa argumentasi public yang mengkritisi pelaksanaan asesmen guru ala Disdik Aceh, di antaranya:
1. Aceh sudah pernah melakukan asesmen guru?
Asesmen bukanlah program baru untuk menguji tingkat kompetensi guru di Aceh. Asesmen sudah pernah dilakukan melalui intervensi kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) pada program Uji Kompetensi Guru (UKG) secara nasional, termasuk untuk provinsi Aceh sejak tahun 2015 hingga tahun 2019.
Bahkan jauh sebelum tahun 2015, Aceh juga pernah mengikuti Tes UKG Nasional dengan tingkat kemiripan asesmen yang dibuat Disdik Aceh. Bahkan harus diakui pelaksanaan tes UKG Kemdikbud justru lebih bersifat komprehensif dan massif dikarenakan mencakup semua tenaga pengajar yang telah memiliki NUPTK sehingga mudah melakukan komparasi.
Begitu juga tingkat kredibilitas soal tes assessment yang dibuatpun disusun oleh tim ahli yang khusus menangani pembuatan soal asesmen di UKG, artinya bukan hasil racikan guru kemudian diuji soalnya untuk mengukur kompetensi guru lain.
Sebagai bahan refleksi untuk hasil asesmen UKG yang pernah dilakukan, tahun 20015 Aceh berada pada peringkat 32 dengan skor 48.33 poin, tahun 2016 peringkat 29 dengan skor 59.39 poin, 2017 peringkat 15 dengan skor 63.75, tahun 2018 peringkat 32 dengan skor 48.33 poin, dan tahun 2019 justru kembali turun ke peringkat 30 dari total 34 total provinsi seluruh Indonesia. (Lihat Rilis Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Tahun 2015 hingga 2019).
Artinya, pengulangan asesmen guru ala Disdik Aceh patut dipertanyakan tingkat urgensitasnya karena jangan sampai terus menghabiskan anggaran padahal hasil akhir sudah terprediksi, namun setelahnya apa (What Next)?
Bahkan kebijakan Mendikbud dengan berbagai kritikan yang menghabiskan anggaran triliunan setiap tahun, akhirnya mulai meninggalkan tes UKG untuk bergeser fokus pada Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) yang mulai dilaksanakan pasca pandemi Covid-19 di tahun 2022, hingga 2024.
ANBK itu mencakup penilaian Literasi, Survey Karakter dan Survey Lingkungan. Harusnya Disdik Aceh bisa fokus membedah hasil temuan ANBK dengan melibatkan pakar pendidikan sebagai bentuk konsistensi untuk bersinergis dengan pemerintah pusat dalam pemecahan masalah pendidikan.
2. Asesmen belum menjamin perbaikan mutu pendidikan
Jika Disdik Aceh serius menganalisis hasil tes UKG sebelumnya, bakal terdapat banyak data faktual yang mengindikasi bahwa asesmen guru tidak serta merta bisa mengukur kompleksitas atas rendahnya kompetensi guru, dan belum tentu-pun menjamin peningkatan mutu pendidikan.
Sebagai contoh, Aceh telah mengikuti asesmen 2015 hingga 2019 melalui program tes UKG, faktanya tahun terakhir (2019) dari pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tingkat capaian skor kelulusan siswa SMA/SMK Aceh peringkat terbawah dengan capaian nilai rata-rata 40.0 point. (lihat Source: World Bank, based on Ministry Of Education and Culture data, 2019, https://hasilun,puspendik,kemdikbud.go.ig).
Begitu juga pasca asesmen UKG mulai tahun 2020 hingga 2024 dengan tingkat capaian nilai Uji Tes Berbasis Komputer (UTBK) siswa pada seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) terus anjlok terpuruk peringkat terbawah nasional.
Begitu juga untuk kategori Top 1000 sekolah lulusan terbaik nasional-pun, hanya tinggal SMAN Modal Bangsa dan SMAN 10 Fajar Harapan yang masih bertahan tahun 2024. Sedangkan SMAN Unggul Tapaktuan telah keluar dari predikat Top 1000 sekolah terbaik nasional.
Sedangkan sekolah swasta yang tersisa hanya SMA Fatih Bilingual School yang kembali masuk nominasi tahun 2024. Dan yang paling mengejutkan adalah SMA Labschool Unsyiah malah keluar dari Top 1000 sekolah terbaik nasional tahun 2024.
Artinya itulah potret kualitas pendidikan Aceh pasca mengikuti asesmen UKG, faktanya jika dikaitkan dengan mutu pendidikan, maka konklusinya asesmen kompetensi guru belum tentu menjamin terjadinya perbaikan mutu kelulusan siswa. (Lihat Hasil Uji Tes Berbasis Komputer (UTBK) di Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tahun 2020 hingga 2024).
3. Tidak solutif karena cenderung mengkambing hitamkan guru
Asesmen terbukti tidak solutif karena hasil akhirnya hanya memetakan kompetensi guru untuk melihat tingkat capaian skor pada uji menjawab soal kompetensi pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian.
Jika hasil asesmen negatif, maka guru terus menjadi objek yang dipersalahkan, sebaliknya jika hasil asesmen positif, maka Disdik Aceh mengklaim paling berjasa telah melakukan perbaikan kualitas kompetensi guru.
Jika menganalisis hasil asesmen selama ini, diakui bahwa kualitas kompetensi guru belum baik-baik saja.
Implikasinya, kualitas guru yang rendah telah menjadi kelaziman menjadikannya sebagai objek yang terus diperbincangkan dengan image negatif sehingga terpolarisasi persepsi public yang ikut “membully” atas lemahnya kompetensi guru sehingga berpengaruh terhadap mutu pendidikan.
Konteks ini jika dibiarkan secara terus menerus malah menjadi tidak sehat, bakal terus menjadikan guru sebagai objek yang selalu dikambing hitamkan, walau itu sesungguhnya hanyalah trik mengelabui atas ketidakmampuan Disdik Aceh dalam melakukan perbaikan.
Saran konstruktif
Oleh karenanya, asesmen seharusnya dilakukan bukan untuk menguji kompetensi, melainkan mengungkap faktor penyebab rendahnya kompetensi guru yang mengganggu profesionalitas dalam melaksanakan tugas?
Jika ini objek asesmen, justru lebih fungsional untuk bisa menguraikan faktor penyebab kompetensi guru lemah, mulai pelatihan guru kebut akhir tahun yang sekedar “pencitraan”, sertifikasi yang belum mencapai target 80 persen, tingkat kesejahteraan guru yang minim, masih bertumpuknya beban administrasi guru, pencairan tunjangan yang tidak tepat waktu, penempatan pejabat yang masih sarat “politik transaksional” jabatan, minimnya anggaran untuk pembinaan guru pada kegiatan MGMP, serta masih banyak problem lainnya yang harus diungkap oleh Disdik Aceh.
Setelah itu baru dipetakan ulang kebijakan yang lebih solutif agar setiap mata anggaran Disdik Aceh tidak sekedar menghabiskan dana menjalankan program rutinitas dinas, tapi harus dipaksakan berpusat pada pemecahan masalah. Wallahu’alam.
*) Penulis adalah Ketua Lembaga Pemantau Pendidikan Aceh (LP2A)
email: samsuardiatjeh87@gmail.com
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.