Opini
Menggagas Lahirnya Badan Riset Daerah Aceh
Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2021 kemudian dicabut dan digantikan oleh Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nas
Dr Ir Basri A Bakar MSi, Peneliti Ahli Madya BRIN, mantan Kepala BPTP Aceh, saat ini tinggal di Cibinong
DULU negara kita punya berbagai lembaga riset ternama, sebut saja seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan Badan Litbang lainnya yang ada di berbagai Kementerian. Kini lembaga tersebut telah melebur menjadi satu dalam satu wadah baru yang bernama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Lembaga riset ini pertama kali dibentuk oleh Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2019 sebagai lembaga yang melekat kepada Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) sehingga Menteri Riset dan Teknologi juga bertindak sebagai Kepala BRIN.
Selanjutnya berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2021, akhirnya BRIN menjadi lembaga yang berdiri sendiri dengan mengintegrasikan Kementerian Riset dan Teknologi dengan empat Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) pada 28 April 2021.
Dalam tahun yang sama, Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2021 kemudian dicabut dan digantikan oleh Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional.
Sejak itulah, semua lembaga penelitian ini melebur menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Artinya semua jabatan peneliti harus berada dalam wadah BRIN melalui proses integrasi.
Lembaga baru ini konon dibentuk dengan tujuan utama untuk meningkatkan koordinasi, efisiensi dan efektivitas riset serta inovasi di Indonesia, serta memastikan riset dan inovasi dapat mendukung pembangunan nasional secara lebih terintegrasi dan terfokus.
Hingga saat ini BRIN hampir berusia empat tahun dengan segala suka dukanya. Para peneliti yang sebelumnya berada di berbagai daerah, sejak 2 Januari 2025 wajib berada di homebase BRIN minimal 2 hari dalam seminggu.
Kantor homebase BRIN utama berada di beberapa lokasi yang telah ditetapkan sebagai pusat kegiatan riset dan inovasi berdasarkan SK Kepala BRIN Nomor 55 tanggal 2 Januari 2025. Lokasi-lokasi homebase BRIN, yang menjadi pusat utama operasional riset, antara lain Cibinong – Bogor (Jawa Barat).
Kantor ini menjadi salah satu homebase utama BRIN, merupakan lokasi dari beberapa fasilitas riset yang sebelumnya dikelola oleh LIPI yang luas arealnya mencapai 198 ha. Lokasi kedua berada di Serpong (Tangerang Selatan, Banten), di sini terdapat fasilitas riset yang berfokus pada teknologi dan aplikasi riset, khususnya terkait dengan BPPT. Sedangkan lokasi ketiga berada di Jalan Gatot Subroto Jakarta, yang berfungsi sebagai pusat koordinasi administratif dan pengambilan kebijakan.
Menggagas BRIDA Aceh
Di Aceh sebelumnya para peneliti (periset) berada di bawah berbagai Kementerian dan pemerintah daerah terutama Bappeda. Peneliti di bawah Badan Litbangtan Kementerian Pertanian misalnya yang sebelumnya berada di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh yang bergabung ke BRIN sejak 17 Juni 2022 hanya lima orang dari sekitar 20 peneliti yang ada.
Sejak Juni 2022 hingga Desember 2024 peneliti BRIN boleh bekerja secara online menerapkan Work from Anywhere (WFA) dengan target-target dan output yang ketat. Belakangan diketahui selain peneliti asal BPTP juga ada peneliti BRIN dari Kemenkes Aceh sebanyak 3 orang. Yang lain mungkin tidak berani bergabung ke BRIN dengan berbagai alasan terutama beratnya pemenuhan publish jurnal scopus.
Kebijakan kepala BRIN terhadap penempatan lebih dari 8.000 peneliti secara sentralisasi di homebase bukan tidak menuai protes dan penolakan dari peneliti berbagai provinsi, namun toh tetap belum mendapat pertimbangan dari petinggi BRIN dengan alasan ingin menjadikan BRIN sebagai Central of Exellence. Kebijakan itu menyediakan 3 opsi bagi peneliti yang tidak mau pindah ke homebase. Yakni kembali ke kementerian asal dengan jabatan bukan peneliti, atau pindah ke Pemerintah Daerah melalui BRIDA atau rela mengajukan pensiun dini.
Tentu saja keempat opsi tersebut tidak ada yang membuat nyaman para peneliti yang sebelumnya sudah eksis di daerah masing-masing. Lebih-lebih saat ini belum semua daerah terbentuk Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) terutama Aceh. Akhirnya hampir semua peneliti dengan berat hati harus hijrah ke kantor pusat BRIN baik Cibinong, Serpong atau Jakarta, hanya sebagian kecil peneliti terutama yang berusia sepuh yang memilih pensiun dini.
Seperti diketahui bahwa peluang pensiun bagi Peneliti Ahli Utama BRIN, bisa mencapai 70 tahun setara dengan Guru Besar di Perguruan Tinggi, sedangkan Peneliti Ahli Madya sampai 65 tahun. Pembentukan lembaga riset semacam BRIDA di setiap daerah menjadi keniscayaan saat ini. Ada beberapa alasan mengapa lembaga semacam ini krusial untuk keberlanjutan dan kemajuan pembangunan daerah.
Pertama, untuk meningkatkan daya saing daerah. BRIDA dapat menjadi pusat pengembangan riset yang sesuai dengan potensi dan kebutuhan spesifik daerah. Dengan riset yang berbasis pada kondisi lokal, daerah dapat mengidentifikasi dan mengoptimalkan sektor-sektor unggulan untuk meningkatkan daya saingnya. Hal ini membantu daerah untuk lebih kompetitif di tingkat nasional maupun global. Sebut saja Aceh punya komoditi unggulan seperti kopi Gayo, kelapa sawit, nilam, pala, kakao, padi, kedelai, hortikultura, peternakan (sapi Aceh), perikanan, pariwisata dan lain-lain.
Kedua, setiap daerah memiliki tantangan dan masalah unik yang tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan umum atau nasional. BRIDA memiliki kemampuan untuk melakukan riset yang mendalam mengenai isu-isu lokal. Seperti kemiskinan, bencana alam, pengelolaan sumber daya alam, atau pengembangan infrastruktur, sehingga solusi yang dihasilkan lebih tepat guna.
Ketiga, Inovasi untuk pembangunan berkelanjutan. Inovasi yang dihasilkan oleh BRIDA diharapkan dapat memajukan teknologi dan produk yang lebih ramah lingkungan serta berkelanjutan. Misalnya, dalam pengelolaan sumber daya alam atau pertanian, BRIDA bisa menciptakan teknologi yang mendukung praktik yang lebih efisien dan ramah lingkungan, yang pada gilirannya mendukung keberlanjutan pembangunan daerah.
Selain itu BRIDA berperan dalam pengembangan ekonomi daerah. Tentu saja riset yang dilakukan oleh BRIDA dapat membuka peluang baru bagi ekonomi daerah, baik itu melalui penemuan produk baru, teknologi, maupun pola bisnis yang inovatif. Hal ini berpotensi menciptakan lapangan kerja baru dan menarik investasi yang mendukung pembangunan ekonomi daerah. Tidak hanya itu, Lembaga riset daerah selain berfokus pada penelitian tetapi juga pada pengembangan kapasitas SDM di tingkat lokal.
Selain berpotensi untuk membentuk BRIDA Aceh, pasti akan ada kendala dan rintangan. Salah satunya mungkin karena keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia yang berkualitas untuk menjalankan lembaga riset seperti BRIDA. Tanpa dukungan yang cukup, baik dari segi dana maupun tenaga ahli, lembaga ini mungkin kesulitan untuk beroperasi secara efektif dan menghasilkan riset yang berkualitas.
Selain itu infrastruktur yang diperlukan untuk mendukung kegiatan riset, seperti laboratorium, fasilitas penelitian dan teknologi informasi, mungkin saja belum memadai.
Di sisi lain, ada beberapa provinsi yang saat ini sudah memiliki lembaga riset daerah seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Bali, Sumut, Sulsel dan Kalbar. Kabarnya Aceh akan segera menyusul membentuk BRIDA atau Badan Perencanaan Riset dan Inovasi Daerah (Baperida).
Bappeda Aceh telah membuat proposal kepada Pemerintah Aceh pada Juni 2023 untuk mengkaji lebih lanjut terhadap pembentukan Lembaga Riset Daerah. Lampu hijau dari BRIN untuk memberi rekomendasi lahirnya BRIDA Aceh juga sudah keluar. Bola pijar itu sekarang sedang berproses di Biro Organisasi Setda Aceh. Boleh jadi mungkin harus menunggu dulu pelantikan Kepala Daerah definitif yang baru, karena membentuk SKPA baru harus melalui qanun dan juga harus mendapat rekomendasi Mendagri.
Di sisi lain kita harus akui bahwa pembentukan lembaga riset daerah menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk mempercepat pembangunan yang berbasis pada riset, memperkuat kapasitas lokal, serta meningkatkan kolaborasi antara pemerintah daerah, akademisi, dan sektor swasta dalam menciptakan inovasi yang bermanfaat untuk masyarakat. Jika tekad untuk membangun daerah sudah menyatu dan sama persepsi dalam tubuh eksekutif, legislatif dan yudikatif, maka pembentukan BRIDA Aceh segera akan terwujud. Semoga.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.