Citizen Reporter
Membangun Kembali Setelah Bencana Gempa Kobe
Pusat gempanya di sebelah utara Pulau Awaji yang berjarak 20 km dari pusat Kota Kobe. Gempa ini menewaskan 6.434 orang.
Dr. TAQWADDIN HUSIN, S.H., S.E., M.S., Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Tinggi Banda Aceh dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (USK), melaporkan dari Kobe, Jepang
Pertama-tama kami ucapkan terima kasih kepada Profesor Yuka Kaneko, Deputy Executif Director Social System Innovation Center, Kobe University, yang telah mengundang dan memfasilitasi saya bersama Dr Teuku Alvisyahrin (Dosen Fakultas Pertanian USK) untuk ketiga kalinya menghadiri peringatan gempa Hanshin Kobe di Jepang.
Gempa Kobe terjadi 16 Januari 1995 pukul 05.46 waktu Kobe. Dua jam lebih cepat dari waktu Aceh.
Jadi, kami hadir kali ini pada 17 Januari 2025 untuk memperingati tahun ke-30 peristiwa gempa dahsyat Kobe
Gempa tersebut berkekuataan 6,9 skala Moment Magnitudo dengan getaran berlangsung sekitar 20 detik. Pusat gempanya di sebelah utara Pulau Awaji yang berjarak 20 km dari pusat Kota Kobe. Gempa ini menewaskan 6.434 orang.
Kobe sendiri termasuk salah satu bagian wilayah dari Prefektur (Provinsi) Hyogo.
Kami menginap di Hotel Tokyu Rei, Sanomiya, Kobe, sejak 15–19 Januari 2025 untuk menghadiri serangkaian kegiatan terkait kebencanaan di Kobe.
Kamis, 16 Januari 2025, tepat pukul 8.30 WK (Waktu Kobe) merupakan hari pertama aktivitas kami yang tergabung dalam kolaborasi riset kebencanaan internasional. Kami dijemput oleh Kaneko sensei. ‘Sensei’ adalah panggilan hormat dan kagum yang lazim ditabalkan untuk para guru besar yang cerdas dan berwibawa.
Tahun ini tidak banyak anggota kolaborasi kami yang hadir. Saya tak tahu mengapa; apa memang tidak diundang atau berhalangan hadir.
Tim kami hanya berjumlah 12 orang, yang berasal dari Brasil, Cina, Jepang, dan kami dari Aceh, Indonesia. Sedangkan dari Turkiye, New Zealand, Thailand, Filipina, dan Laos tidak terlihat hadir pada pertemuan 16 Januari 2025 itu.
Agenda pertama kami adalah mengunjungi NGO Machi Communication, yang didirikan tahun 1996 oleh Dr Ir Akira Mayasada. Beliau akademisi bidang teknik yang juga aktivis LSM. LSM ini berada di Mikuradori Nagata, salah satu area yang terdampak parah gempa Kobe. Karena dahsyatnya gempa tersebut, desa ini rata dengan tanah. Bukan hanya luluh lantak karena gempa, tetapi juga disebabkan kebakaran hebat pascagempa akibat percikan arus listrik ataupun paparan gas.
Akibat hancur berantakan dan hangus terbakar, praktis semua penduduk Mikuradori tak lagi punya tempat tinggal. Hidup mereka sangat prihatin dan menyedihkan.
Kemudian, dengan dukungan penuh dari Pemerintah Kobe dan NGO lokal, serta dukungan anggaran dari Pemerintah Prefektur Hyogo mereka mulai bangkit dengan musyawarah warga tempatan (community base) untuk menentukan langkah apa dan bagaimana melakukan rekonstruksi sesegera mungkin dengan kualitas konstruksi yang lebih baik.
Mereka sepakat mengawali rekonstruksi perumahan dengan rezoning, yaitu penataan akses dan konsolidasi lahan. Jalan yang sempit harus dilebarkan sehingga akses menjadi lurus, lapang, dan mudah. Lahan-lahan untuk rumah juga diatur dan ditertibkan sehingga jadi rapi.
Awalnya memang tidak mudah. Ada saja yang keberatan. Namun, dengan pendekatan persuasif akhirnya semua setuju. Sekarang, desa itu menjadi bagus, rapi, dan indah. “Penduduknya bertambah lebih dari 100 persen, bahkan harga tanah semakin mahal,” kata Dr Akira Miyasada.
Dr Taqwaddin Husin
Citizen Reporter
Penulis Citizen Reporter
Penulis CR
Membangun Kembali Setelah Bencana Gempa Kobe
gempa jepang
Gempa Kobe
Jepang
Aplikasi 'Too Good To Go' Upaya Belgia Kurangi Limbah Makanan |
![]() |
---|
Kisah Sungai yang Jadi Nadi Kehidupan di Kuala Lumpur |
![]() |
---|
Mengelola Kehidupan Melalui Kematian: Studi Lapangan Manajemen Budaya di Londa, Toraja |
![]() |
---|
Saat Penulis Sastra Wanita 5 Negara Berhimpun di Melaka |
![]() |
---|
Saat Mahasiswi UIN Ar-Raniry Jadi Sukarelawan Literasi untuk Anak Singapura |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.