Jurnalisme Warga

Menghayati Makna Kapal Apung sebagai Media Edukasi Tsunami

Kapal yang bernama KM Sinar Bangun ini bukan kapal biasa, melainkan kapal generator listrik tenaga diesel milik PLN.  Kapal ini berbobot 2.600 ton, pa

Editor: mufti
IST
MUHYIDDIN, Wakil Kepala Bidang Sarana dan Prasarana SMAN 1 Banda Aceh, melaporkan dari Kota Banda Aceh 

MUHYIDDIN, Wakil Kepala Bidang Sarana dan Prasarana SMAN 1 Banda Aceh, melaporkan dari Kota Banda Aceh

Ahad, 19 Januari 2025, saya bawa anak-anak saya berkunjung ke “Kapal Apung”, tepatnya Kapal Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Apung. Ini salah satu situs penting sejarah tsunami di Aceh.

Kapal yang bernama KM Sinar Bangun ini bukan kapal biasa, melainkan kapal generator listrik tenaga diesel milik PLN.  Kapal ini berbobot 2.600 ton, panjangnya 63 meter, dan luas 1.600 meter persegi.

Kapal ini awalnya berada di Mahakam, sungai terbesar di Kalimantan Timur. Kemudian dibawa ke Ulee Lheue, Banda Aceh, sekitar tahun 2002 atas permintaan Ir Abdullah Puteh MSi, Gubernur Aceh saat itu, kepada pihak PLN.

Fungsi kapal ini setiba di Banda Aceh adalah sebagai pembangkit untuk mengatasi kelangkaan daya (energi) listrik akibat banyaknya tiang atau tower yang dirubuhkan oleh orang tidak dikenal (OTK) sebagai ekses konflik bersenjata di Aceh.

PLTD Apung ini memiliki kapasitas sebesar 10,5 megawatt dan memasok listrik untuk Kota Aceh dan sekitarnya dari dermaga Ulee Lheue.

Namun, pada saat tsunami melanda Aceh 26 Desember 2004, kapal besar tersebut terseret sejauh hampir 4 km dari Pantai Ulee Lheue ke daratan dan akhirnya terdampar di permukiman warga di Gampong Punge Blang Cut, Kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh.

Pihak PLN bermaksud ingin menguasai kembali kapal generator tersebut dengan cara hendak dihela ke laut Ulee Lheue. Namun, Kepala BRR NAD-Nias, Dr Kuntoro Mangkusubroto pada tahun 2005 bersikukuh agar kapal apung itu dibiarkan tetap di situ sebagai situs tsunami terbesar di Aceh, bahkan di Indonesia. BRR NAD-Nias akhirnya mengganti rugi fisik kapal tersebut supaya tetap berada di titik lokasinya terdampar, lalu PLN hanya mencabuti mesin-mesinnya.

Sejak saat itu Kapal PLTD Apung menajdi monumen sejarah dan saksi bisu akan dahsyatnya tsunami Aceh tahun 2004. Kapal di daratan itu juga sekaligus menjadi salah satu daya tarik wisata di Banda Aceh.

Banyak wisatawan domestik dan mancanegara yang terheran-heran saat mengunjungi Kapal PLTD Apung di Punge Blang Cut ini, mengingat kapal tersebut demikian besarnya dan berada di daratan.

Terdampar jauh ke daratan oleh gelombang tsunami, menjadikan Kapal PLTD Apung itu sebagai ikon  kota dan daya tarik utama sekaligus simbol ketegaran masyarakat Aceh.

Punya kesempatan berkunjung dan menyaksikan keindahan Banda Aceh dengan sejarah tsunami yang dahsyat, mungkin menjadi sesuatu yang sangat diinginkan oleh banyak orang.

Mumpung sudah sampai ke situs PLTD Apung, saya pun tergerak untuk berbagi kesan dan pengalaman dari tempat ini, yang saya anggap sebagai salah satu “museum edukasi” tsunami.

Situs ini dibangun untuk mengenang sekaligus sebagai monumen  penghormatan kepada ratusan ribu korban tsunami, baik yang diketahui meninggal maupun yang hilang.

Situs ini bukan sekadar tempat wisata, melainkan juga sebagai simbol ketegaran, ketahanan, dan harapan masyarakat Aceh setelah tragedi tsunami 2004.

Situs langka ini juga menjadi salah satu sumber belajar bagi masyarakat tentang kebencanaan dan kesiapsiagaan menghadapi potensi bencana di masa depan.

Kapal PLTD Apung ini selayaknya menjadi tempat interaktif di mana pengunjung mendapatkan banyak informasi tentang peristiwa tsunami, sekaligus menjadi tempat belajar tentang dampak bencana alam dengan cara menarik dan mudah dipahami.

Kondisinya kini

Saat memasuki area luar, pemandangan yang pertama kali terlihat adalah adanya titik-titik di mana rumput liar tumbuh subur tanpa ada usaha pembersihan yang memadai.

Beberapa fasilitas pendukung tampak tidak terawat, rusak, dan tidak berfungsi. Sebagian malah dapat membahayakan pengunjung yang melaluinya, seperti jembatan dan pintu-pintu masuk maupun keluar yang tampak ditutup seadanya tanpa tanda atau rambu peringatan.

Dengan suasana seperti ini, sangat sulit untuk merasakan keajaiban sejarah serta makna mendalam dari lokasi tersebut.

Berada di kapal apung itu sendiri—seharusnya menjadi jantung edukasi—saya menemukan banyak aksesori kapal dan interiornya yang tampak tidak terawat. Beberapa peralatan dan perlengkapan kapal juga rusak, seperti pintu-pintu akses masuk dan keluar, dan lain-lain.

Suasana di dalam kapal terasa panas karena kurangnya fasilitas pendingin ruangan (AC). Sebagian fasilitas edukasi juga terlihat rusak dan tidak berfungsi. Informasi mengenai kejadian tsunami serta strategi mitigasi bencana disajikan secara kurang terorganisasi.

Panel informasi tampak using, bahkan sebagian hilang. Suasana interaktif yang seharusnya ada justru tergantikan oleh kesan suram akibat kurangnya perhatian terhadap detail-detail kecil, tetapi sangat signifikan ini.

Di sisi lain kurangnya petugas pemandu yang menyampaikan pesan-pesan edukasi kepada pengunjung menjadi masalah tersendiri.

Perawatan berkelanjutan

Dari kesan dan pengalaman tersebut muncul pertanyaan mendasar, siapa yang bertanggung jawab untuk menjaga situs penting ini agar tetap ‘hidup’ dan menjadi destinasi wisata edukasi yang menarik?

Tentu saja pemerintah daerah mempunyai peran penting dalam memastikan keberlangsungan fungsi edukatif dari museum tersebut sebagai ruang belajar bagi publik, baik warga lokal maupun luar daerah, bahkan wisatawan asing.

Sebagai langkah awal, investasi dalam infrastruktur sangatlah penting agar pengunjung merasa betah dan bermakna saat berada di tempat ini.

Selain infrastruktur fisik, membangun fasilitas tambahan seperti pusat informasi modern dengan teknologi pembelajaran digital juga esensial. Pilihan ini membuat pemahaman pengunjung akan lebih nyata. Mereka bisa merasakan langsung bagaimana sensasi saat berada dalam situasi bencana tanpa harus secara nyata.

Perawatan rutin harus dilakukan demi menjaga kebermaknaan situs ini. Dalam konteks ini, keberadaan media edukasi yang tepat dan menarik adalah penting. Termasuk di dalamnya menjaga keindahan lingkungan yang bersih dan rapi, sekaligus memberikan penghormatan kepada para korban tragedi tsunami 2004.

Edukasi inovatif

Selanjutnya, diperlukan program-program pendidikan inovatif terkait kebencanaan. Namun, bukan sekadar ceramah satu arah, melainkan dapat juga melibatkan elemen-elemen penyuluhan praktis seperti simulasi evakuasi saat terjadi gempa bumi atau tsunami.

Dengan pendekatan berbasis partisipatif, misalnya, masyarakat jadi lebih mudah memahami tindakan apa saja yang perlu dilakukan demi keselamatan diri maupun sesama jika sewaktu-waktu bencana serupa terjadi lagi.

Program semacam itu bisa meliputi workshop berkala yang dapat digelar bersama komunitas sekolah maupun lembaga-lembaga nonpemerintah (NGO).

Melalui sesi-sesi diskusi terbuka ataupun talkshow bersama para ahli, bisa dibahas berbagai isu terkini tentang mitigasi risiko serta tantangan-tantangan baru dalam menghadapi perubahan iklim global terkini. Berbagai elemen komunitas dapat pula diajak ambil bagian sehingga pembelajaran tentang pengurangan risiko bencana terasa lebih nyata dan efektif.

Kolaborasi serius

Seiring upaya memperbaiki kondisi fisik situs ini, tentunya diperlukan kolaborasi erat antara pemerintah, dunia usaha serta NGO guna mendapatkan sumber daya finansial agar kegiatan operasional situs bersejarah tetap berjalan.

Pengenalan metode penggalangan dana juga dapat jadi alternatif cerdas demi menarik perhatian publik terhadap nasib keberlangsungan situs bersejarah terpenting ini.

Marilah kita jadikan Kapal Apung ini sebagai museum edukasi tsunami; sebagai simbol kekuatan perjalanan bangsa, dan terus membangun harapan untuk ketahanan yang lebih baik di masa depan. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved