Feature

Cerita Dibalik Pengukuhan Prof Murti, Wamen Nezar Patria Bagikan Kisah tentang Tekad Kuat Sang Bapak

Salah satunya terkait proses kehadiran ayah Nezar Patria, H Sjamsul Kahar yang juga pemimpin Umum Serambi Indonesia, untuk menyaksikan langsung proses

Editor: mufti
IST
Wamen Nezar Patria Bersama sang Ayah H Sjamsul Kahar yang juga pemimpin Umum Serambi Indonesia 

Dekan Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Rr Siti Murtiningsih MHum dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Filsafat Pendidikan pada Fakultas Filsafat UGM, Kamis (20/2/2025). Istri Wakil Menteri Komunikasi dan Digital RI Nezar Patria itu memaparkan pidato berjudul “Mendidik Manusia Bersama Mesin: Filsafat Pendidikan di Era Kecerdasan Buatan” saat pengukuhannya. 

Ada banyak cerita dibalik layar. Salah satunya terkait proses kehadiran ayah Nezar Patria, H Sjamsul Kahar yang juga pemimpin Umum Serambi Indonesia, untuk menyaksikan langsung proses pengukuhan guru besar menantunya itu, di Balai Senat kampus tersebut, Yogyakarta, Kamis (20/2/2025). Berikut cerita lengkap Nezar Patria, sebagaimana diunggah di facebook-nya, akhir pekan lalu.     

“Sudah lama bapak tidak pergi ke Yogya, dan sejak bulan lalu dia berkeras akan berangkat ke kota itu. Alasan terkuat adalah ingin melihat istri saya, menantunya, yang akan dikukuhkan jadi guru besar di UGM. “Saya ingin mendengar langsung pidatonya,” ujarnya. Usia bapak menjelang 80 tahun, dan dia menjalani separuh hidupnya bersama penyakit diabetes. 

Sepekan sebelum ke Yogya, tiba-tiba dia terpaksa digotong ke rumah sakit. Kadar gulanya melejit dan itu membuat dia separuh sadar. Selama sepuluh tahun terakhir ini, dia memang bolak-balik ke rumah sakit untuk urusan gula darahnya yang naik turunnya begitu liar. 

Kasus kali ini agak serius: dokter menemukan infeksi di jari kelingking kaki kiri dan harus segera diamputasi. Akhirnya, setelah disetujui sendiri oleh bapak, jari kelingking itu pun berpisah dari kakinya. “Tidak apa-apa, kita ikhlaskan, anggap saja kehilangan kurang satu ons daging,” katanya berseloroh. Tubuhnya lemah dan tentu dia harus rawat inap di RSUDZA Banda Aceh. 

Padahal saya sudah mengatur perjalanannya ke Yogya, empat hari sebelumnya. Tiket pesawat ke Yogya pun sudah ada. Tapi saya tak yakin dia bisa pulih segera dan terbang ke Yogya. Dari Jakarta saya terus memantau keadaannya. Dua adik saya bergantian menemani bapak di rumah sakit. “Berat, Bang. Sebaiknya kita tunda bapak berangkat,” kata seorang adik. 

Tapi tak satu pun dari mereka berani mengatakan kepada bapak bahwa dia sebaiknya istirahat dan tidak terbang ke Yogya. Adik-adik saya meminta saya menyampaikannya. Menurut mereka, bapak bahkan sudah merapikan pakaiannya ke dalam koper, dan koper itu sudah siap di kamar rumah sakit. 

“Hari ini tanggal berapa? Ayo kita berangkat,” begitu cerita adik kepada saya, mengutip perkataan bapak. Saya tak bisa bicara. Dengan semangat yang menyala demikian, percuma melarangnya. Saya tak tega. Saya tak ingin membuatnya kecewa dan sedih. 

Kami sepakat memutuskan bapak tetap berangkat, jika dia dapat berdiri dan duduk. Sehari sebelum keberangkatan, dia tiba-tiba bisa duduk, namun kakinya masih sangat lemah. Kami tahu dia berjuang agar bisa berangkat meskipun perhitungan medis sebaiknya dia istirahat di rumah sakit untuk beberapa hari lagi. Meskipun agak mustahil, namun melihat semangat dan permintaannya, saya memutuskan bapak berangkat besoknya, mengingat acara di UGM tinggal dua hari lagi. 

Pada hari keberangkatan, dia keluar dari kamar rumah sakit dan langsung ke bandara Sultan Iskandar Muda. Adik menyiapkan ambulans agar pergerakannya lebih mudah. Dia menolak berbaring di ambulans itu, dan bahkan dengan kesulitan yang tinggi memilih duduk di samping bangku supirnya. “Keu peu ambulans, tanyoe manteng udeep,” kata dia kepada adik saya dalam bahasa Aceh. Artinya, dia masih hidup dan tak perlu ambulans.

Bapak pun terbang ke Yogya via Jakarta ditemani adik-adik saya. Saya menjemputnya di Jakarta dan menyiapkan kursi roda. Kata adik, di pesawat bapak menahan nyeri luar biasa, tapi mencoba menyembunyikannya. 

Bapak tersenyum melihat saya menyambutnya di pintu kedatangan di bandara Soetta, seolah mengatakan dia telah memenangkan sebuah pertarungan. Bapak lalu istirahat satu malam di Jakarta, lalu besoknya terbang bersama saya ke Yogya. Saya berusaha mengatur yang terbaik dan ternyaman buatnya. Kami terbang dan duduk di kelas ekonomi, kata dia, itu adalah kelas paling nyaman baginya. Saya menurutinya, saya tahu dia tak ingin merepotkan saya.

Saat hadir di Balai Senat di Gedung Pusat UGM, tempat upacara pengukuhan guru besar itu berlangsung, dia bahkan datang lebih awal.  Dia menyimak pidato bertajuk “Mendidik Manusia Bersama Mesin: Filsafat Pendidikan di Era Kecerdasan Buatan” itu dengan takzim. Dia telah bekerja sebagai wartawan lebih dari lima puluh tahun, dan terbiasa mendengar dan menyimak pendapat banyak orang. Dia mencermati kalimat per kalimat, dan mengangguk-angguk. “Saya suka mendengar pidato si profesor,” ujarnya. Istri saya mungkin hidungnya kembang kempis dipuji mertua.

Hari ini bapak kembali ke Jakarta. Dia ingin naik kereta api, dan dia bilang sudah lama sekali dia tak naik kereta api. Saya katakan kepadanya kereta api saat ini sangat nyaman, dan tepat waktu. “Saya mau naik kereta paling nyaman yang kau bilang itu,” kata bapak. Satu tantangan baru muncul lagi mengingat enam jam tujuh belas menit perjalanan kereta api ke Jakarta dari Yogya, dan rasa nyeri yang akan dia rasakan duduk lama berjam-jam menghantui saya. “Kita coba saja,” kata bapak seakan tahu keraguan saya. Saya mengalah lagi, dan memesan tiket KA Semeru untuk rute Yogya ke Jakarta, duduk di gerbong kompartemen, mengingat dia punya kebutuhan khusus terkait perawatan kakinya itu. 

Kereta meninggalkan stasiun Tugu, Yogyakarta. Dari jendela bapak menyaksikan panorama sawah, perbukitan, perumahan dan hal-hal yang mungkin sudah lama sekali tak pernah lagi dia lihat sejak bergulat dengan penyakitnya. Dia tampak puas meskipun perjalanan yang dinikmatinya bersama rasa nyeri. Bahkan dia meminta satu pantangan lain untuk dipenuhi: minum segelas kopi. Saya tak bisa menolaknya. “Pesan kopi panas, dan betul-betul panas,” katanya. 

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved