Opini
Tradisi Ramadan dalam Kehidupan Masyarakat Aceh
Begitu awal Ramadan ditetapkan dan dimulai, lazim ritme kehidupan masyarakat Aceh berubah. Aktivitas mereka dimulai lebih awal, di sepertiga malam
Oleh: Prof Dr Phil Abdul Manan MSc MA
RAMADHAN, bulan kesembilan dalam kalender hijriah, selalu didambakan kedatangannya oleh umat Islam. Sebab masuknya Ramadan akan membawa cahaya keberkahan dan magfirah dari Allah Subhanahu wa Taala pada hamba-hamba beriman dan takwa. Penetapan awal Ramadan ini bagi masyarakat Aceh, cenderung mengikuti pengumuman pemerintah dan ulama dayah.
Begitu awal Ramadan ditetapkan dan dimulai, lazim ritme kehidupan masyarakat Aceh berubah. Aktivitas mereka dimulai lebih awal, di sepertiga malam terakhir, saat keluarga bersiap menyantap sahur. Setelah imsak, ibadah puasa pun dimulai, yakni menahan lapar, dahaga, serta mengekang hawa nafsu hingga azan magrib berkumandang.
Selain itu, bulan ini bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga momentum untuk memperbanyak ibadah. Mendirikan shalat tarawih, mengaji Al-Quran, menunaikan shalat sunat, bersedekah dan meningkatkan amal kebajikan menjadi tradisi yang mengakar kuat dan kerap dilaksanakan di Aceh. Selain itu, mereka menahan diri dan meninggalkan perbuatan keji, maksiat dan mungkar, seperti mengumpat, mencela, bersifat ria, apalagi menyakiti hati tetangga dan orang lain.
Masyarakat percaya, Ramadan adalah kesempatan menghapus dosa dan meraih pahala dan rahmat Allah Swt yang tak terbatas. Kemudian ada nilai spiritualitas yang sangat tinggi di bulan Ramadan, yakni malam Lailatul Qadar yang terjadi pada setiap malam-malam ganjil 21, 23, 25 dan 27 malam Ramadan.
Meskipun malam Lailatul Qadar ini sebagian orang dianggap masih menyimpan misteri, namun diyakini memiliki keutamaan besar bagi mereka yang mengisinya dengan ibadah. Apabila diisi dengan ibadah baik ibadah mahdhah maupun ghairul mahdhah nilainya lebih baik dari seribu bulan.
Menjelang akhir Ramadan, kewajiban lain yang menanti, yakni membayar zakat fitrah. Tujuannya bukan sekadar menyucikan diri, tetapi juga berbagi kebahagiaan dengan mereka yang kurang mampu. Zakat ini dibayarkan dalam bentuk beras (1, 5 bambu) atau uang senilai harga beras yang dikonsumsi.
Tradisi Ramadhan di Aceh
Ramadhan di Aceh lebih dari sekadar ibadah, tetapi juga sarat dengan tradisi yang memperkuat ikatan sosial dan spiritual. Ini sudah berlaku secara turun temurun.
Asmara Subuh
Setelah shalat Subuh, anak-anak muda beramai-ramai keluar rumah, berjalan-jalan menikmati udara pagi sembari menggerak-gerakan tubuh. Tradisi ini dikenal sebagai Asmara Subuh, ajang silaturahmi yang mempererat kebersamaan.
Ngabuburit dan Takjil Khas Aceh
Menjelang magrib, masyarakat berbondong-bondong mencari takjil untuk berbuka. Pasar Ramadan menjadi pusat keramaian, menyajikan berbagai kuliner khas seperti kanji rumbi, boh rom-rom, leupek, leumang, tape dll. Aneka minuman khas seperti ie cindoi, ie tube, es buah, dan ie u juga menjadi primadona.
Buka Puasa Bersama
Beberapa menit sebelum berbuka, seluruh anggota keluarga berkumpul di atas tikar, menanti sirine atau beduk dari masjid atau meunasah. Tradisi ini menggambarkan kehangatan keluarga dan kebersamaan yang semakin erat dalam bulan suci Ramadan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.