RAMADHAN MUBARAK
Ramadhan Bulan Menghilangkan Sikap Riya
Riya merupakan sikap merasa senang bahkan cenderung berlebihan saat mendapatkan pujian dan senang pamer atas apa yang diperolehnya.
Oleh Tgk Akmal Abzal, Pendakwah/Dewan Penasihat ISAD Aceh
“Riya teukabo di sinan leu ureung binasa” adalah bahasa orang tua Aceh zaman dahulu ketika mengingatkan satu sama lain tentang bahayanya sifat sombong, riya, dan takabur. Riya merupakan sikap merasa senang bahkan cenderung berlebihan saat mendapatkan pujian dan senang pamer atas apa yang diperolehnya.
Perbuatan riya berbahaya karena ia merupakan salah satu penyakit hati yang menjadikan seseorang masuk dalam golongan orang munafik. Riya termasuk perbuatan syirik kecil, karenanya riya dapat mendatangkan murka Allah SWT dan balasannya neraka. QS Albaqarah 264: Artinya: “Wahai orang-orang beriman, jangan membatalkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia, sedangkan dia tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir”.
Ayat ini memerintahkan agar kebiasaan memberi harus didasari semangat keikhlasan tanpa mengharap pujian manusia apalagi untuk ketenaran atau konten. Berbuat kebajikan dengan tujuan agar disanjung tidaklah memperoleh pahala dari Allah.
Rasulullah bersanda: Artinya "Takutlah kalian kepada syirik kecil." Sahabat bertanya: "Wahai utusan Allah, apa yang sejatinya dimaksud dengan syirik kecil itu?"
Rasulullah berujar, "Yaitu sifat riya (pamer diri). Kelak di hari pembalasan, Allah mengatakan kepada mereka yang memiliki sifat riya. Pergilah kalian kepada mereka, dimana kalian dulu pernah memperlihatkan amal kalian kepada mereka semasa hidup di dunia. Lihatlah apakah kalian memperoleh imbalan pahala dari mereka?" (HR Ahmad).
Imam Al-Gazali menjelaskan bahwa kata riya berasal dari kata ru'yah dengan pengertian luas sebagai usaha mencari kedudukan atau kesan yang baik kepada orang lain dengan menunjukkan perilaku yang baik. Dalam artian, riya adalah pamer dan menonjolkan diri atas kebajikannya.
Orang riya malas berbuat baik jika seorang diri, kelihatan baik jika berada di tengah-tengah orang banyak, semangat beramal jika mendapatkan pujian, sebaliknya akan berkurang intensitas positif jika kurang penghargaan apalagi mendapat celaan.
Hal ini dapat ditemui di lingkungan terdekat, seperti; Perilaku seseorang pada saat bersedekah hanya melakukannya ketika ada orang lihat, rajin mengerjakan shalat saat ada orang memperhatikan, berpakaian islami agar dipandang shaleh, membuat tubuh terlihat kurus seakan rajin berpuasa, gemar membaca Al Qur'an demi mendapat pujian, sering umrah untuk memamerkan kekayaan dan suka memberi makanan orang miskin dengan memfoto sembari menyebarkan ke sosial media dengan harapan ada komen, like, dan share.
Inilah amalan positif yang berorientasi akhirat, tanpa sadar justru dikudeta oleh sifat riya sehingga amalan menjadi sia-sia tanpa nilai di hadapan Allah SWT. Riya muncul karena perasaan bangga dan kagum atas amalan sebdiri, seperti rajin shalat, puasa, gemar bersedekah dan ingin menunjukkan kepada orang lain.
Riya bisa timbul karena merasa bangga dan kagum dengan pengetahuannya, merasa lebih pintar atau berilmu dari orang lain serta menyebabkan kesombongan dan meremehkan orang lain. Atau faktor keturunan yang acap mendorong pada perasaan tak sepadan berteman dan ngopi semeja dengan orang biasa.
Dalam pepatah minang “ambo lah ambo lain kapitieng, ambo nan urang, yang lain anjieng”. Inti narasi petuah minang ini adalah klaim diri yang perfect dan menganggap yang lain tidak bernilai.
Sifat riya bukanlah karakter terpuji, hendaknya segera dibersihkan agar tidak bersarang di sanubari. Riya itu penyakit hati, reaksinya tergambar pada gestur, ucapan bahkan tindakan. Banyak amalan terpuji berakhir tanpa nilai karena dinodai oleh sifat riya.
Ritualnya benar, amalannya sah namun tidak mengandung nilai di hadapan Allah disebabkan orientasi hati bertukar pada pujian dan sanjungan manusia. Puasa sebagai ibadah handalan di bulan Ramadhan mesti menjadi solusi dalam mengatasi sifat negatif tersebut.
Puasa menterapi jiwa menjadi bersih dan tenang, puasa menempa keinginan hati dalam batas yang patut dan rasional. Maka menghindari perilaku riya mesti dengan mengerjakan sesuatu berdasar nawaitu ikhlas karena Allah semata
Harus mendekatkan diri dan tidak mengharapkan sanjungan sesama manusia karena manusia tidak berdaya memenuhi hasrat manusia lainnya, tetapi justru manusia bergantung juga pada Allah SWT.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.