Opini

Tradisi Idulfitri dalam Masyarakat Aceh

Dalam kehidupan sosial masyarakat Aceh, Idulfitri bukan sekadar perayaan, melainkan juga momentum untuk mempererat silaturahmi dan memperkuat nilai-n

Editor: mufti
IST
Abdul Manan, Guru Besar Ilmu Antropologi UIN Ar-Raniry pada Fakultas Adab dan Humaniora serta Ketua Prodi Ilmu Agama Islam Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh 

Abdul Manan, Guru Besar Ilmu Antropologi UIN Ar-Raniry pada Fakultas Adab dan Humaniora serta Ketua Prodi Ilmu Agama Islam Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh

IDULFITRI, yang kerap disebut Hari Raya Puasa, adalah momen yang sangat dinanti nantikan oleh umat Islam. Selain sebagai penanda berakhirnya Ramadhan, Idulfitri juga melambangkan perjuangan dan kemenangan spiritual serta penuh dengan nilai-nilai sosial. Hari yang jatuh setiap 1 Syawal ini menjadi saat di mana umat Islam merayakan kebebasan dari belenggu hawa nafsu dan godaan setan, kembali kepada fitrah, seperti bayi yang baru lahir, bersih tanpa dosa, bagaikan tabula rasa. Dalam kehidupan sosial masyarakat Aceh, Idulfitri bukan sekadar perayaan, melainkan juga momentum untuk mempererat silaturahmi dan memperkuat nilai-nilai sosial. Salah satu tradisi yang tak terpisahkan adalah mudik Lebaran. Keluarga yang merantau akan pulang ke kampung halaman untuk bersilaturahmi dan saling bermaafan dengan keluarga, saudara, dan tetangga, guru dan handai tolan lainnya.

Selain itu, ada kepercayaan bahwa setelah menjalani puasa Ramadan, hati telah dibersihkan dari dosa, sehingga tampilan lahiriah pun harus mencerminkan kesucian tersebut. Maka, masyarakat Aceh kerap menyambut Idulfitri dengan segala sesuatu yang serba baru: pakaian, perabotan, hingga warna cat rumah. Bahkan, tak jarang ada yang membeli kendaraan baru sebagai simbol kemenangan dan kebahagiaan. Namun, budaya ini juga dapat memicu kecemburuan sosial atau jurang pemisah (gab sosial) jika dimaknai secara berlebihan. Para ulama menegaskan bahwa esensi Idulfitri bukanlah ajang bermegah-megahan dan pamer, melainkan kesempatan untuk memperbaharui keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia.

Persiapan menyambut hari raya Idulfitri sudah dimulai sejak awal Ramadhan. Semakin mendekati Idulfitri, suasana semakin semarak. Kaum wanita sibuk membahas model pakaian terbaru, merancang menu Lebaran, memasak berbagai kue kering dan mendekorasi rumah. Para pria, terutama kepala keluarga, memikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan hari raya itu, mulai dari mendapatkan uang untuk membeli daging meugang, pakaian baru, hingga persiapan hidangan khas Lebaran.

Bagi pasangan yang baru menikah, Idulfitri menjadi momen spesial untuk mengunjungi keluarga besar, saudara, para tetua, dan tetangga. Karena itu, ada tradisi khusus bagi orang tua yang telah menikahkan putra-putri sebelum Ramadhan untuk memasak kue tradisional yang nanti saat Lebaran Idulfitri dibawa anak mereka berkunjung ke rumah besan. Menjelang Idulfitri, pasar-pasar di Aceh baik pasar modern, seperti mall maupun pasar tradisional dipadati warga. Mereka berbelanja kebutuhan lebaran, mulai dari pakaian, beragam kue hingga pernak-pernik Lebaran sehingga suasana pasar penuh kegembiraan dan hiruk-pikuk.

Tidak itu saja, 2 atau 1 -H ldulfitri, pasar dan lapak-lapak penyembelihan hewan, ramai dikunjungi konsumen. Mereka membeli daging untuk disantap saat meugang akhir puasa atau hari Idulfitri. Bagi rumah tangga di Aceh, belum afdhal, kalau tidak menghidangkan menu (gulai dan rendang) daging saat lebaran.

Simbol kemenangan

Malam takbiran menjadi salah satu prosesi puncak Idulfitri. Setelah matahari terbenam di ufuk barat pada hari terakhir Ramadhan atau setelah pengumuman dari pemerintah, sehabis shalat Magrib hingga saat shalat idulfitri, masyarakat Aceh menggemakan takbir sebagai ungkapan syukur dan kegembiraan atas selesainya pelaksanaan ibadah, nikmat sehat dan keberkahan yang didapatkan pada saat Ramadan. Di Aceh, tradisi takbiran dilakukan dengan berbagai cara. Ada yang bertakbir di masjid atau meunasah, ada pula yang melakukan takbiran keliling mengitari pemukiman dengan berjalan kaki, menaiki truk, becak atau sepeda motor yang dilengkapi pengeras suara. Malam takbiran juga menjadi ajang kemeriahan bagi anak-anak muda. Ada yang menyalakan beudee trieng (meriam bambu), bermain kembang api, lilin, mercon dan lainnya.

Sementara itu, para ibu sibuk menyetrika pakaian, menyiapkan hidangan khas Lebaran seperti ketupat, tapee, leumang, timphan, bada, dan berbagai penganan tradisional lainnya. Pada pagi 1 Syawal, masyarakat berbondong-bondong menuju masjid atau lapangan terbuka untuk melaksanakan shalat sunat Idulfitri dua rakaat. Setelah itu, khutbah Idulfitri disampaikan sebagai pengingat akan makna kemenangan sejati: kebersihan hati dan ketakwaan kepada Allah.

Usai shalat, tradisi saling bermaafan dilakukan, baik ketika berada di masjid dan lapangan terbuka seusai shalat maupun di jalan dan berkunjung secara spesial ke rumah handai tolan dan kerabat. Dalam budaya Aceh, permohonan maaf dikenal dengan istilah meuah lahé batén, yang dijawab dengan lahé batén. Momen ini menjadi saat yang penuh haru. Anak bersimpuh di hadapan orang tua, istri meminta maaf kepada suami, adik kepada kakak, murid kepada guru, dan masyarakat satu sama lain. Ada juga tradisi yang lazim dilaksanakan di Aceh, yakni berziarah ke pusara nenek-kakek, orang tua, saudara yang telah berpulang ke Rahmatullah dan guru-guru termasuk ulama.

Tradisi teumuntuak

Salah satu tradisi khas Aceh yang masih bertahan, unik, dan menarik, terutama di pedesaan, adalah teumuntuak. Tradisi ini merupakan ajang perkenalan dan mempererat hubungan famili  antara pengantin baru dengan keluarga besar mereka. Tradisi ini, sering disebut mengulang jejak. Dalam tradisi ini, pihak istri, sebelum lebaran, membeli atau menyediakan bahan-bahan untuk membuat kue tradisional, seperti juadah, wajéb, keukarah, dodoi, meuseukat, dan leumang. Semua kue ini diletakkan dalam wadah khusus bernama jambalomang dan dibawa ke rumah mertua orang tua suami. Sementara pihak suami atau orang tua suami menyiapkan uang, termasuk juga pakaian.

Saat tiba di rumah suami, rombongan keluarga istri akan disambut dengan hidangan khas. Kemudian, setelah isi jambalomang diambil, lalu dikembalikan ke pihak istri setelah diisi dengan uang dan pakaian sebagai simbol penghormatan. Tradisi teumuntuak bertujuan mempererat hubungan antara keluarga besar suami dan istri, sekaligus menjaga keharmonisan sosial. Jika ritual ini tidak dilakukan, pasangan pengantin akan merasa pernikahan mereka belum sempurna.

Penutup

Idulfitri bagi masyarakat Aceh bukan sekadar perayaan, melainkan juga momen spiritual dan sosial yang kaya makna dan mengandung manfaat yang besar. Ia menjadi simbol kemenangan atas hawa nafsu, sekaligus kesempatan untuk mempererat silaturahmi, berbagi kebahagiaan, dan memperkuat nilai-nilai Islam. Melalui berbagai tradisi yang dijaga turun-temurun, Idulfitri bukan hanya peristiwa tahunan, tetapi juga warisan budaya yang memperkokoh ikatan kebersamaan dan kepedulian sosial.

Semoga Idulfitri selalu membawa berkah dan kedamaian bagi seluruh umat Islam, khususnya di Aceh, dan di seluruh dunia.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved