Opini

Qadha dan Fidyah Pasca Ramadhan

Orang musafir pun dibolehkan berbuka karena tidak sanggup bertahan lagi disebabkan lelah, capek, letih dan lemah. Kalau kita hidup di zaman modern sep

Editor: Ansari Hasyim
IST
Prof Dr Tgk Hasanuddin Yusuf Adan MCL MA, Ketua Majelis Syura Dewan Dakwah Aceh dan Dosen Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry 

Oleh: Prof Dr Tgk Hasanuddin Yusuf Adan MCL MA, ketua Majelis Syura Dewan Dakwah Aceh dan Dosen Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh

PASCABERAKHIRNYA bulan suci Ramadhan umat Islam yang beriman dan beramal shalih ampunlah segala dosa-dosa masa lalunya selaras dengan janji Rasulullah saw via hadis riwayat Bukhari dan Muslim yang artinya: “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan harapan maka diampunkan dosa-dosa masa lalunya”, dan dia menjadi orang yang bertaqwa sebagaimana yang diharapkan Allah swt dalam surah Al-Baqarah ayat 183 (La'allakum tattaqun). Lalu bagaimana posisi orang Islam yang kadar imannya lemah, amal shalihnya kurang sehingga sering tertinggal puasa dalam bulan Ramadhan?

Minimal ada tiga penyebab yang menyebabkan seseorang tinggal puasa di bulan Ramadhan: pertama tinggal puasa Ramadhan karena berada dalam perjalanan jauh yang melelahkan sehingga tidak sanggup berpuasa; kedua karena sakit, sakit ini terbagi dua jenis: sakit temporer dan sakit permanen. Sakit temporer seperti ciret-biret/mencret yang melemahkan tubuh badan siang hari bulan Ramadhan, flu, pilek, demam, batuk yang tidak memungkinkan menyelesaikan berpuasa pada hari sakit tersebut. Sakitnya kaum hawa karena datang haid, melahirkan bayi, menyusui bayi dan hamil tua yang menurut nasihat dokter tidak baik untuk berpuasa karena berbahaya untuk tubuh badan. Sakit jenis ini mewajibkan si sakit untuk mengqadha puasa yang ditinggalkan selepas bulan Ramadhan.

Sakit permanen, seperti sakit menahun yang menurut tanda-tanda alam kecil kemungkinan untuk sembuh dan sakitnya orang tua yang sama sekali tidak sanggup berpuasa. Bagi orang sakit permanen semacam itu wajib bagi mereka untuk membayar fidyah sebagai ganti puasa yang ditinggalkannya. Adapun penyebab tinggal puasa jenis ketiga adalah; sengaja ditinggalkan oleh seorang muslim baik karena jahil maupun karena jahat.

Jahil artinya dia bodoh tidak punya ilmu sehingga tidak tahu kalau puasa bulan Ramadhan itu suatu kewajiban. Atau dia jahat sudah tahu puasa Ramadhan itu hukumnya wajib tapi dengan sengaja dia tidak berpuasa karena jahat perangainya. Bagi yang jahil tidak berpuasa masih ada dispensasi tidak berdosa sehingga dia tahu hukumnya wajib, tapi bagi yang jahat tidak ada ampun baginya melainkan mendapatkan neraka di hari nanti karena telah berdosa besar dalam kehidupan dunia.

Wajib mengqadha

Berpandu kepada surah Al-Baqarah ayat 184; “faman kana minkum mariydhan aw ‘ala safarin fa’iddatun min ayyamin ukhar” yang artinya; "barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam suasana musafir maka gantilah puasa yang tinggal di bulan Ramadhan pada hari hari lain di luar bulan Ramadhan". Ayat tersebut memberitahu kita bahwa puasa Ramadhan itu suatu kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan oleh orang Islam, walaupun terpaksa tinggal karena lelah dan letih dalam perjalanan bulan Ramadhan maka wajib pula untuk diqadha pada bulan lain di luar bulan Ramadhan dan tidak boleh berselang Ramadhan tahun depan karena akan terganjal oleh pembayaran fidyah untuk fakir miskin.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa orang sakit itu ada dua jenis; sakit temporer dan sakit permanen maka Islam mengatur cara penyelesaian puasa yang tinggal tersebut dengan cara yang berbeda. Untuk orang sakit temporer hanya diwajibkan untuk mengqadhanya saja manakala dia sudah sehat kembali selepas Ramadhan berlalu sejumlah hari yang ia gagal berpuasa di bulan Ramadhan. Ini merujuk kepada ayat; “wa antashuwmu khairullakum in kuntum taklamuwn.” Artinya: "berpuasa bagimu lebih baik jika kamu mengetahui." Dengan demikian orang sakit temporer itu tidak berhak membayar fidyah, karena itu terjadi sebelum surat Al-Baqarah ayat 184 ini turun dahulu kala.

Dengan demikian maka orang Islam yang membuka puasa dalam bulan Ramadhan karena tidak sanggup berpuasa disebabkan keadaan lelah dalam keadaan musafir atau karena sakit temporer maka kewajiban bagi mereka untuk mengqadha puasa tersebut sejumlah yang ditinggalkannya dalam Ramadhan pada bulan-bulan lain di luar Ramadhan sebelum tiba Ramadhan selanjutnya. Kalau melewati bulan Ramadhan tahun depan belum diqadha maka dia terbebani oleh fidyah karena lalai mengqadhanya.

Membayar fidyah

Mengikut bunyi ayat: “wa’alallaziyna yuthiyquwnahu fidyatun tha’amu miskin” yang artinya; "Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Ayat ini dikhususkan kepada badal puasa orang-orang sakit permanen yang sama sekali tidak mungkin untuk berpuasa lagi. Menurut pendapat Imam Malik dan Imam Syafi'i seseorang yang tidak sanggup berpuasa Ramadhan karena sakit permanen maka wajib membayar fidyah satu mud gandum (ukuran enam ons = 675 gram/0,75 kg) atau seukuran telapak tangan yang ditengadahkan waktu berdoa. Sementara ulama Hanafiah berpendapat fidyah yang harus dibayar adalah dua mud (1,5 kg) dan boleh dibayar dalam bentuk uang sejumlah nilai makanan tersebut.

Fidyah tersebut diberikan kepada fakir atau miskin baik dalam bentuk makanan boleh juga dalam bentuk uang yang diselaraskan dengan harga makanan tersebut. Perhitungannya adalah ukuran tiga kali makan orang tidak berpuasa tersebut kalau mengikut kebiasaan hidup orang kita. Makanya dalam kajian fikih modern fidyah dalam bentuk makanan yang diberikan tersebut harus sesuai dengan makanan yang dikonsumsikan oleh si pembayar fidyah itu sendiri. Kalau dia makan daging setiap hari maka ukuran daging itu yang dijadikan ukuran fidyahnya dan seterusnya.

Seorang sahabat Nabi bernama Anas bin Malik pernah sakit dua kali bulan Ramadhan dan beliau tidak sanggup berpuasa sama sekali karena sakit payah. Selama dua bulan Ramadhan tersebut Anas bin Malik memberi makan orang miskin dalam bentuk daging per hari karena beliau memberikan yang terbaik sebagai fidyah puasanya.

Dengan demikian mengikut ayat di atas dalam surah Al-Baqarah ayat 184 maka jelaslah yang boleh membayar fidyah adalah orang-orang yang tidak sanggup lagi berpuasa karena sakit parah dan karena sakit menua yang apabila berpuasa akan berbahaya terhadap diri mereka. Sementara seorang muslim yang sakit beberapa hari dalam bulan Ramadhan lalu meninggal dunia dalam keadaan tertinggal puasa beberapa hari, maka keluarganya berhak membayar fidyah kepada orang yang sudah meninggal tersebut.

Khatimah

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved