Kupi Beungoh
Dari Rakyat, untuk Siapa? Refleksi atas Praktik Anggaran Publik
Di sebuah desa yang jauh dari pusat kota, warga berinisiatif memperbaiki jembatan gantung dengan bahan seadanya.
Oleh : Intan Farhana, S.E., M.Com *)
Di sebuah desa yang jauh dari pusat kota, warga berinisiatif memperbaiki jembatan gantung dengan bahan seadanya.
Tak ada bantuan teknis, tak ada dana resmi, hanya tali tambang, bambu, dan rasa tanggung jawab kolektif yang diwariskan turun-temurun.
Sementara itu, di ruang sidang pemerintah, angka-angka dibahas dengan serius untuk merumuskan rencana belanja daerah.
Namun, tak jarang pembahasan anggaran justru lebih fokus pada kebutuhan rumah tangga birokrasi, fasilitas pejabat, di tengah belanja pegawai yang terus membengkak.
Fenomena kontradiktif ini dapat ditemukan di sejumlah pemerintah daerah, termasuk di Aceh.
Idealnya, anggaran publik berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dan penyelesaian permasalahan masyarakat serta pembangunan daerah.
Anggaran adalah janji kepala daerah kepada warganya. Ia bukan sekadar barisan angka, melainkan representasi nilai, prioritas, dan orientasi moral dalam kebijakan.
Ketika jembatan rusak tak kunjung diperbaiki, dan seorang ibu terpaksa menggadaikan cincin kawinnya demi biaya sekolah anaknya, muncul pertanyaan yang tak bisa dihindari: apakah proses penganggaran kita masih berpijak pada keadilan sosial, atau justru semakin menjauh dari kebutuhan warga?
Anggaran: Antara Teknis dan Politik
Dalam teori kebijakan publik, penganggaran sering dipahami sebagai gabungan antara proses teknokratis, yaitu pendekatan yang berbasis data, perhitungan rasional, dan efisiensi anggaran dan keputusan politik.
Di satu sisi, ia mencerminkan upaya untuk mengelola sumber daya secara efisien dan ekonomis; di sisi lain, ia juga merupakan pernyataan politik tentang siapa yang mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana.
Anggaran bukan hanya soal alokasi dana, melainkan juga ekspresi dari prioritas dan nilai yang dianut oleh pemerintah.
Namun dalam praktiknya, keseimbangan antara aspek teknokratis dan politik ini tidak selalu tercapai.
Proses penganggaran di banyak tempat lebih sering dipengaruhi oleh pertimbangan politis seperti kalkulasi elektoral, kompromi antar aktor birokrasi, atau logika distribusi kekuasaan.
Dalam situasi seperti ini, ruang partisipasi masyarakat kerap menjadi terbatas.
Forum-forum partisipatif seperti musrenbang memang rutin digelar setiap tahun, tetapi efektivitasnya dalam memengaruhi keputusan anggaran kerap terhambat.
Akibatnya, masukan dari masyarakat tidak selalu memiliki daya tawar yang memadai untuk mengubah arah kebijakan.
Ketika ruang pengambilan keputusan tertutup dari partisipasi yang bermakna, masyarakat tidak hanya kehilangan akses terhadap informasi, tetapi juga kehilangan kesempatan untuk memahami logika moral di balik alokasi anggaran.
Laporan realisasi anggaran mungkin tersusun rapi, angka dapat dipertanggungjawabkan secara administratif, namun kepentingan masyarakat tetap belum terpenuhi.
Permasalahan klasik seperti tingginya angka kemiskinan dan stunting masih terus bertahan dan berulang menjadi janji politik para calon pemimpin daerah.
Aceh, sebagai provinsi dengan kekhususan tata kelola dan nilai-nilai keislaman dalam struktur kelembagaan, menyimpan banyak pelajaran.
Semangat keadilan sosial, keberpihakan kepada kelompok rentan, serta amanah dalam pengelolaan harta publik adalah nilai-nilai dasar yang sejak awal tertanam dalam filosofi kebijakan daerah.
Namun, seperti halnya daerah lain, Aceh juga menghadapi tantangan besar dalam menjembatani antara nilai dan praktik.
Kompleksitas kelembagaan, tekanan politik lokal, dan ketergantungan pada rutinitas administratif sering kali menghambat penerjemahan nilai-nilai luhur tersebut ke dalam dokumen APBA yang hidup dan berpihak.
Permasalahan bukan semata terletak pada individu atau jabatan tertentu, tetapi pada sistem yang belum mendukung tumbuhnya praktik justifikasi publik yang bermakna.
Dalam sistem penganggaran yang sehat, setiap rupiah seharusnya dapat dijelaskan secara terbuka: mengapa program ini dipilih, mengapa yang lain ditunda, dan siapa yang akan terdampak langsung.
Sayangnya, pertimbangan atas pilihan anggaran masih banyak terjadi di balik meja birokrasi, tanpa melibatkan masyarakat secara luas. Rakyat hanya melihat hasil akhir tanpa pernah diajak memahami dasar moral dari keputusan tersebut.
Konsep akuntabilitas seharusnya tidak berhenti pada laporan kinerja dan audit Badan Pemeriksa Keuangan.
Dalam masyarakat demokratis yang sehat, akuntabilitas mencakup keberanian untuk tampil di hadapan publik dan menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis.
Akuntabilitas juga berarti menyediakan ruang debat, membuka transparansi argumen, dan bersedia mengoreksi arah kebijakan ketika ditemukan ketimpangan.
Jika semua itu tak tersedia, maka yang tersisa hanyalah pengulangan prosedur yang hampa makna, dana publik terbuang percuma.
Anggaran dalam Bingkai Syariah
Aceh yang istimewa agamanya, semestinya mampu menempatkan prinsip-prinsip nilai keislaman dan nilai-nilai universal tata kelola publik sebagai fondasi dalam membangun struktur anggaran yang adil.
Konsep maslahah(kemanfaatan umum), kifayah (kecukupan), dan adl (keadilan) dapat diterjemahkan ke dalam prioritas konkret: memperkuat layanan dasar, menutup kesenjangan antarwilayah, dan memastikan bahwa anggaran menjangkau kelompok yang paling rentan terlebih dahulu.
Namun, semua ini tentu membutuhkan kemauan politik untuk keluar dari zona nyaman birokrasi dan memulai percakapan yang lebih jujur tentang siapa yang sebenarnya dilayani oleh sistem fiskal daerah.
Sudah cukup alokasi anggaran yang hanya fokus pada pembangunan infrastruktur yang tidak terlalu berdampak luas bagi masyarakat.
Sudah waktunya arah anggaran digeser ke program-program yang langsung menyentuh kebutuhan dasar masyarakat: pendidikan, kesehatan, air bersih, dan bantuan sosial.
Ketimpangan selama ini mencerminkan ketidakmampuan merespons kebutuhan rakyat secara utuh.
Paradigma yang lebih Islami seharusnya menempatkan aspek kemanfaatan dan keberpihakan sebagai prioritas utama.
Di Aceh, pengelolaan anggaran yang berlandaskan nilai keislaman juga merupakan bagian dari amanah sejarah.
Nilai-nilai ini seharusnya tidak berhenti sebagai simbol administratif, tetapi dihidupkan dalam setiap proses pengambilan keputusan.
Dengan demikian, anggaran tidak lagi dipandang hanya sebagai dokumen teknis, melainkan sebagai instrumen perubahan sosial yang konkret dan bermakna.
Perlunya Keberanian Pemimpin Daerah
Tentu, perubahan tidak bisa dicapai dalam semalam.
Namun langkah awalnya bisa dimulai dengan keberanian untuk bertanya secara jujur: apakah anggaran kita hari ini sungguh mencerminkan kebutuhan masyarakat, ataukah sekadar mempertahankan kenyamanan struktur birokrasi?
Apakah proses perencanaan anggaran memberikan ruang untuk koreksi dan masukan dari warga, atau justru terus meneguhkan praktik lama yang terus berulang?
Sebab pada akhirnya, anggaran bukan semata soal uang. Ia adalah cerminan nilai. Soal kepercayaan.
Soal pertanggungjawaban sosial. Soal janji yang pernah diucapkan oleh negara kepada rakyatnya. Dan janji itu tidak boleh berhenti di meja rapat.
Anggaran daerah harus menjadi refleksi dari kemauan politik untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, bukan hanya mempertahankan status quo yang menguntungkan segelintir pihak.
Salah satu langkah konkret yang bisa ditempuh adalah memperkuat akuntabilitas publik di setiap tahap penganggaran.
Proses penyusunan dan perencanaan anggaran perlu lebih terbuka dan inklusif, dengan melibatkan masyarakat secara lebih aktif.
Forum-forum seperti musrenbang harus dioptimalkan, bukan hanya dijalankan sebagai kewajiban administratif.
Perubahan cara kita memandang dan menyusun anggaran menjadi semakin mendesak ketika kita menyadari bahwa skema Dana Otonomi Khusus (Otsus) untuk Aceh akan berakhir pada tahun 2027.
Ketergantungan yang selama ini dibangun terhadap dukungan fiskal pusat harus segera diimbangi dengan reformasi tata kelola dan perubahan orientasi belanja daerah.
Tanpa pergeseran paradigma menuju anggaran yang adil, partisipatif, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat, kita berisiko menghadapi tekanan fiskal yang besar tanpa kesiapan struktural maupun sosial yang memadai.
Dalam konteks ini, penguatan akuntabilitas, transparansi, dan keberpihakan dalam penganggaran publik bukan sekadar idealisme tata kelola melainkan prasyarat utama agar Aceh mampu bertahan dan tumbuh secara mandiri di fase pasca-Otsus.
Perubahan ini tentu memerlukan waktu, komitmen, dan tentu saja keberanian dari para pemimpin daerah untuk meninggalkan praktik lama yang nyaman namun tidak memberi keberkahan.
Jika tidak dimulai sekarang, kesempatan untuk berubah mungkin akan tertinggal, apalagi di tengah tantangan ekonomi yang semakin kompleks ke depan.
Tanpa perbaikan yang signifikan dalam penyusunan dan alokasi anggaran, Aceh terancam stagnan hanya tinggal dalam kenangan masa jayanya pada era Sultan Iskandar Muda. (*)
*) PENULIS merupakan dosen pada Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Syiah Kuala. Saat ini, ia sedang menempuh studi doktoral di bidang Akuntansi Sektor Publik di Universiti Sains Malaysia, Penang, Malaysia.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Artikel KUPI BEUNGOH lainnya.
Kemudahan Tanpa Tantangan, Jalan Sunyi Menuju Kemunduran Bangsa |
![]() |
---|
Memaknai Kurikulum Cinta dalam Proses Pembelajaran di MTs Harapan Bangsa Aceh Barat |
![]() |
---|
Haul Ke-1 Tu Sop Jeunieb - Warisan Keberanian, Keterbukaan, dan Cinta tak Henti pada Aceh |
![]() |
---|
Bank Syariah Lebih Mahal: Salah Akad atau Salah Praktik? |
![]() |
---|
Ketika Guru Besar Kedokteran Bersatu untuk Indonesia Sehat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.