Jurnalisme Warga
Kekerasan terhadap Perempuan Berujung Femisida
Perempuan yang usianya bahkan belum genap seperempat abad itu tak bisa lagi merasakan sibuknya menjadi jurnalis. Juwita tak perlu lagi pontang-panting
Tiga kasus ini sudah cukup untuk menjadi “bukti” tingginya femisida di Aceh. Sekaligus membenarkan tesis bahwa femisida dilakukan oleh orang-orang terdekat akibat relasi kuasa yang timpang.
Sayangnya, kasus-kasus pembunuhan terhadap perempuan masih dianggap sebagai kasus kriminal biasa. Belum ada payung hukum yang jelas mengenai femisida di Indonesia. Istilah femisida pun memang belum familier di telinga publik.
Mantan ketua Pengadilan Negeri Banda Aceh, Ainal Mardhiah, yang kini Hakim Agung, dalam sebuah tulisannya bertajuk “Femisida dalam Kerangka Hukum Indonesia” menerangkan, belum adanya tempat dalam tatanan hukum Indonesia menjadikan perkara-perkara femisida tumpang tindih dengan perkara kejahatan kriminal umum lainnya.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara ini belum menerakan definisi yang jelas mengenai kekerasan dan pembunuhan berbasis gender tersebut.
Deklarasi Wina tentang Femisida (2012) merumuskan sebelas poin yang menjadi penyebab terjadinya femisida, yaitu: 1) akibat dari kekerasan dalam rumah tangga; 2) penyiksaan dan pembunuhan misoginis terhadap perempuan; 3) pembunuhan perempuan dan anak perempuan atas dasar menjaga kehormatan; 4) pembunuhan terhadap perempuan dan anak perempuan dalam konteks konflik sosial bersenjata dan perang; 5) pembunuhan terkait mahar; 6) akibat dari orientasi seksual dan identitas gender; 7) pembunuhan terhadap perempuan masyarakat adat; 8) pembunuhan bayi perempuan dan janin berdasarkan seleksi jenis kelamin; 9) pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan; 10) tuduhan sihir; dan 11) femisida yang terkait dengan kejahatan terorganisasi dan sejenisnya.
Komnas Perempuan mengelompokkan femisida menjadi sembilan kategori, yaitu: 1) femisida pasangan intim; 2) femisida budaya; 3) femisida dalam konteks konflik sosial bersenjata dan perang; 4) femisida dalam konteks industri seks komersial; 5) femisida terhadap perempuan dengan disabilitas; 6) femisida terhadap orientasi seksual dan identitas gender; 7) femisida di penjara; 8) femisida nonintim; dan 9) femisida terhadap perempuan pembela HAM.
Benahi cara berpikir
Terjadinya femisida yang berangkat dari pemikiran bahwa perempuan lebih rendah derajatnya dibandingkan laki-laki dapat dicegah dengan membenahi cara berpikir seseorang sejak dini. Tidak hanya sebagai individu, tetapi juga secara kolektif.
Tak bisa dimungkiri bahwa cara berpikir seseorang sangat dipengaruhi oleh cara berpikir komunal. Pentingnya menanamkan pemahaman dan kesadaran sejak dini bahwa pada hakikatnya perempuan dan laki-laki sederajat.
Dalam konteks agama Islam, perbedaan keduanya hanya diukur dari derajat ketakwaan. Bukan berdasarkan jenis kelamin atau status sosial. Nilai-nilai mengenai kesetaraan dan menghormati individu lain perlu terus disuarakan, terutama dari lingkungan-lingkungan terkecil seperti keluarga dan komunitas.
Berbagai kampanye, diskusi, dan literasi media perlu terus digalakkan agar publik semakin “ngeh” dan paham bahwa femisida bukanlah kejahatan biasa. Ia merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.
Media pun perlu lebih selektif dalam menarasikan kasus-kasus femisida agar tidak menyudutkan korban atau menormalisasi kekerasan terhadap perempuan. Masyarakat, terutama keluarga, harus menjadi ‘support system’ yang baik terhadap perempuan (korban), bukan lantas turut menghakimi korban.
Dalam banyak kasus, perempuan sebagai korban justru lebih sering menjadi pihak yang ditimpakan kesalahan. Seolah-olah kekerasan yang terjadi justru dipicu oleh perempuan itu sendiri. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Korban yang justru dituntut untuk introspeksi diri. Kekerasan yang dialami perempuan kerap diikuti dengan berbagai stigma buruk, tak peduli ia masih hidup atau sudah meninggal.
Seorang pengacara pernah menyampaikan kegundahannya kepada saya. Menurut dia, lemahnya pemahaman aparat penegak hukum (APH) tentang pembelaan hak terhadap perempuan dan anak sangat memengaruhi perspektif mereka selama proses hukum. Penguatan kapasitas APH perlu terus dilakukan agar dorongan kesadaran tak hanya ditujukan pada masyarakat.
APH, menurutnya, tidak boleh kaku dalam menggunakan hukum-hukum formal. Keberpihakan APH jelas sangat dibutuhkan agar korban mendapat keadilan. Sistem hukum harus memberikan efek jera bagi pelaku atau yang lainnya agar jangan bermain-main dengan nyawa manusia.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.