Jurnalisme Warga
Mencegah Perkawinan Usia Anak di Aceh
Praktik demikian sekilas menandakan adanya kegagalan pemahaman atas teks agama dan rendahnya penerimaan atas kebijakan pemerintah terkait pendewasaan
AMRINA HABIBI, S.H., M.H., Kepala Bidang Pemenuhan Hak Anak pada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, melaporkan dari Banda Aceh
Praktik pernikahan usia anak yang dibungkus dengan dalih agama kembali terjadi di Kabupaten Simeulue. Praktik demikian sekilas menandakan adanya kegagalan pemahaman atas teks agama dan rendahnya penerimaan atas kebijakan pemerintah terkait pendewasaan usia perkawinan di Indonesia.
Padahal, tujuan merevisi Undang-Undang Perkawinan sangatlah mulia, yakni untuk mencegah terjadinya perkawinan anak, memastikan kematangan fisik dan psikis, serta menghapus diskriminasi perolehan hak dasar dan hak konstitusional antara laki-laki dan perempuan.
Terjadinya perkawinan usia anak dipicu oleh sejumah faktor dan dalam konteks Aceh juga ditemukan adanya penyebab yang sangat klise, yaitu terpengaruh oleh indahnya kehidupan rumah tangga dalam drama Korea.
Di lain sisi, tekanan ekonomi serta keinginan keluarga agar anak ada yang bertanggung jawab juga tidak selamanya benar. Penelitian LSM Flower Aceh 2024 menemukan fakta di mana seorang ibu mengatakan, "Ketika belum saya nikahkan, saya hanya memberi makan anak, tetapi setelah saya menikahkan anak, makan menantu pun saya yang tanggung."
Belum semua aparat penegak hukum juga memiliki perspektif yang komprehensif dalam memahami perlindungan anak menjadi tantangan dan akibatnya berdampak pada proses pengajuan dispensasi pernikahan yang acap kali bias dari upaya pentingnya mengutamakan perlindungan anak.
Ketika kasus pernikahan usia anak terjadi dan dilakukan oleh orang dengan status sebagai pemuka agama, jelas merupakan tindakan manipulatif yang mengamputasi masa depan anak. Relasi kuasa benar-benar menjadi alat untuk melakukan kejahatan dan label sebagai orang terhormat selaku tokoh agama menjadi senjata untuk merusak masa depan seorang anak. Berkedok tokoh agama, tetapi cabul dalam perilaku dan bahkan perilaku tersebut masuk pada kategori kejahatan seksual yang beririsan dengan pedofillia (orang dewasa yang menyukai anak-anak).
Dalam kasus ala Syech Pudji yang terjadi di Simeulue ini aksi cepat kepolisian yang menetapkan terduga pelaku sebagai tersangka merupakan tindakan yang tepat dan layak diapresiasi.
Penting kita garis bawahi bahwa pelaku pernikahan di usia anak bukan hanya tokoh agama.
Dalam banyak catatan, hal yang sama juga bisa dilakukan oleh siapa pun. Akan tetapi, dengan relasi kuasa yang lebih tinggi dari anak atau keluarga sang anak (dengan status sosial yang lebih rendah misalnya), maka hal demikian juga berpotensi menjadi pemicu yang melanggengkan praktik perkawinan anak. Artinya, banyak sekali alasan atau lebih tepatnya disebut argumentasi yang yang tidak berdasar sebagai pembenaran untuk melanggengkan anak-anak yang mestinya berada di bangku sekolah dan merintis masa depannya secara sehat, justru diarahkan menuju pelaminan!
Namun demikian, ketika ada seorang tokoh, apalagi tokoh agama yang terlibat dalam pernikahan usia anak, maka tindakannya itu bukan hanya sebuah kriminal, melainkan juga menjadi contoh yang tidak baik yang kembali diikuti dan menjadi pembenaran atas terjadinya kasus serupa yang dipraktikkan oleh masyarakat.
Tren pernikahan anak di Aceh bukanlah angka yang kecil dan bahkan sebagian angkanya juga tidak dapat terdokumentasi karena anak menikah secara siri atau bahkan memiliki anak dari perkawinan tanpa legalitas perkawinan.
Bila merujuk pada data perkawinan di bawah 19 tahun dari BPS, Mahkamah Syari'yah, dan Kemenag Aceh, memperlihatkan kecenderungan penurunan dalam pencatatan.
Akan tetapi, sebenarnya kejadian di tengah masyarakat terus meningkat.Hal itu terjadi karena masih ada angka yang tidak sama antarpihak yang melakukan pendataan dimaksud. Secara umum, pendataan dipengaruhi oleh beberapa hal dan kondisi tersebut berlaku juga di seluruh Indonesia. Empat hal yang memengaruhi pencatatan tersebut, yaitu kecenderungan anak-anak yang takut menikah, kemudian memilih hubungan seks bebas, menikah, tapi tidak dicatat karena masih di bawah umur, atau nikah siri, dan juga tidak berhubungan dengan mahkamah syar'iyah, perkawinan kedua atau ketiga yang disembunyikan, dan upaya menghindari tanggung jawab terhadap perkawinan.
Mencermati data dalam tiga tahun terakhir, proposi perempuan umur 20–24 tahun yang berstatus kawin sebelum umur 18 tahun pada tahun 2021 sekitar 4,60 persen, tahun 2022 sekitar 4,83 % , dan tahun 2023 sekitar 3,16 % . Perkawinan muslim di bawah usia 19 tahun pada tahun 2021 berjumlah 730, tahun 2022 berjumlah 651, dan pada tahun 2023 berjumlah 671. Dan, ternyata jumlah perkara nonmuslim di bawah 18 tahun menurut data dari Disdukcapil, Dewan Gereja atau gereja, atau kelembagaan lain tidak ada satu pun peristiwa pernikahan di usia anak.
Selanjutnya, untuk jumlah perkara dispensasi kawin (muslim) menurut data dari Mahkamah Syar'iyah Aceh, pada tahun 2021 berjumlah 846, tahun 2022 berjumlah 827, dan tahun 2023 berjumlah 656. Data tersebut perlu dilihat dari dua sisi. Pertama, bentuk keberhasilan dalam memberikan edukasi dan juga adanya perbaikan perspektif aparat penegak hukum dan kedua adanya fenomena gunung es, yang berangkat dari analisis sebelumnya bahwa banyak peristiwa perkawinan tersembunyi dan tidak tercatat.
Kalau kita mau jujur, maka ketika pernikahan usia anak masih terjadi maka sejatinya harus menjadi refleksi secara kolektif, mulai dari keluarga, masyarakat, pemuka agama, pemuka adat, hingga pemerintah. Jikapun perkawinan di usia anak terjadi dan upaya yang ditempuh melalui dispensasi dan menggunakan jalur perkawinan lewat mekanisme perangkat negara maka hal tersebut seharusnya merupakan kebijakan afirmasi yang dijalankan secara ketat dan pernikahan hanya bisa diakses melalui kantor urusan agama (KUA).
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.