Jurnalisme Warga
Mencegah Perkawinan Usia Anak di Aceh
Praktik demikian sekilas menandakan adanya kegagalan pemahaman atas teks agama dan rendahnya penerimaan atas kebijakan pemerintah terkait pendewasaan
Pernyataan salah seorang ulama melalui sebuah video di media sosial bahwa, ”Pernikahan yang tidak tercatat, diragukan keabsahannya” wajib mendapatkan dukungan semua pihak. Artinya, urusan perkawinan seharusnya murni ranah KUA.
Saat pernikahan usia anak terus terjadi, di mana posisi kepentingan terbaik bagi anak?Berkaca dari kasus Simeulue, apakah sikap yang benar ketika membiarkan seorang anak berusia 11 tahun menanggung beban rumah tangga, kehamilan, dan segala tekanan sosial demi memenuhi persepsi sesat tentang kehormatan, misalnya?
Di sisi lain, bagaimana mungkin kita memuliakan pelaku yang membungkus tindakannya dengan dalil keliru teks agama? Jawaban sederhana atas semua kasus perkawinan usia anak adalah pelaminan itu bukanlah tempat bermain anak. Anak ya anak, bukan melahirkan anak.
Dalam usia anak, seharusnya anak ada di bangku sekolah. “Wate manyak tajak sikula, wate rayek baroe tameurumoh tangga.
Mari kita bangun kesadaran bersama dan mendukung kampanye pendewasaan usia perkawinan karena negara memandang penting perlunya sikap kehati-hatian dan persiapan yang matang untuk benar-benar siap menikah dan Aceh dengan syariat Islam harus menjadi garda terdepan dalam memberikan ketedalanan untuk menjawab persoalan ini.
Oleh sebab itu, Pemerintah Aceh dengan dukungan MPU harus mendukung kebijakan pemerintah pusat terkait pendewasaan usia perkawinan. Sebab, tujuan akhir dari upaya ini adalah bagian dari membangun peradaban yang lebih berkualitas, merintis lahirnya generasi baru yang kuat, bukan generasi yang lemah.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.