Meuseuraya Akbar 2025

Tahukah Anda? Ada Makam Sultan Pidie di Keulibeut, Mapesa Adakan Meuseuraya di Sana, Catat Jadwalnya

seorang Sultan terkenal di Kerajaan Pidie yang dimakamkan di Dayah Tanoh Keulibeut, sebuah desa pedalaman di Kecamatan Pidie. 

Penulis: Zainal Arifin M Nur | Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia bekerja sama dengan beberapa pihak, termasuk Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa) akan melaksanakan kegiatan Meusuraya Akbar 2025, di Kabupaten Pidie, Aceh. 

Nisan-nisan lainnya, polos. Semuanya bertipe nisan Samudra Pasai. 

Dari seorang warga yang sedang melintas di lokasi diketahui, rupanya, ada mitos yang berkembang di kalangan masyarakat setempat: bukit itu, atau yang juga biasa disebut dengan Cot Kandang, berasal dari wilayah Geudong di Kabupaten Aceh Utara--tempat di mana kawasan inti tinggalan sejarah Samudra Pasai. 

Cot Kandang terbang kemari, katanya. 

Para peneliti menduga, mitos ini mungkin menyiratkan makna simbolis akan adanya suatu keterkaitan antara makam-makam di Dayah Tanoh Keulibeut dengan makam-makam tinggalan sejarah Samudra Pasai di Kabupaten Aceh Utara.

Dua nisan yang dipenuhi relief tulisan-tulisan berkaligrafi Arab persis sama dengan nisan-nisan makam dari periode ketiga zaman Samudra Pasai, seperti yang terdapat di kompleks makam Raja Khan, Gampong Kuta Krueng; komplek pemakaman kesultanan periode ke-3, Gampong Meunasah Meucat, Blang Me; dan lainnya.

Pada batu nisan sebelah kepala (utara) makam ini terdapat inkripsi berbunyi: Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah;

Lalu terdapat beberapa ayat Alquran.

Para peneliti meyakini, ayat-ayat Alquran yang terpahat pada batu nisan ini sarat dengan makna-makna ketauhidan dan jihad di jalan Allah. 

Ini, kiranya, merupakan sebuah cara pengungkapan yang menarik tentang prinsip-prinsip yang dipegang oleh pemilik makam. 

Dan dalam waktu yang sama juga mensinyalir situasi yang sedang dihadapi.

Bacaan zikir yang dipahatkan pada batu nisan ini, dengan begitu, juga menyiratkan bagaimana pemilik makam di masa hidupnya membentengi diri dari ancaman musuh yang datang menyerang.

Baca juga: Peneliti Tulisan Kuno Sebut Pidie sebagai Pusat Peradaban Islam Aceh, Ajak Meuseuraya di Cot Gunduek

Meninggal Pada Tahun 1511

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemilik salah satu makam tersebut adalah seorang sultan yang digelar dengan Ma’ruf Syah, namun tidak diketahui nama aslinya.

Ma’ruf berarti kebajikan, sementara gelarannya adalah Syah yang kira-kira bermakna: raja kebajikan. 

Ia wafat pada malam Ahad, 22 Jumadal Akhir 917 H, atau 14 September 1511 M, sebulan setelah Portugis menyerang Malaka pada 10 Agustus 1511.

William Marsden dalam Sejarah Sumatra menyebutkan, ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis, Aceh dan Daya adalah bagian dari Pidie

“Pernyataan yang sah-sah saja untuk diterima,” tulis tim misykah.com.

Dua daerah ini, tulis Marsden lagi, diperintah oleh dua orang budak atau bawahan Sultan Pidie yang dikawinkan dengan keponakan si Sultan. 

“Pernyataan ini perlu ditinjau,” demikian pendapat tim misykah.com.

Berdasarkan temuan mutakhir, seorang Sultan Lamuri (Aceh) telah dimakamkan di Kuta Leubok, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar.

Namanya, Sultan Muhammad Syah, wafat pada 908 H, sekitar 9 tahun sebelum kemangkatan Sultan Ma’ruf Syah. 

Puteranya, Sultan Munawwar Syah, ditemukan makamnya di Pante Raja, Pidie

Ia adalah bapak dari para sultan Aceh Darussalam, antara  lain Syamsu Syah, Adilullah, ‘Ali Ri’ayah Syah, dan kakek dari Sultan ‘Ali Mughayah Syah. 

Tidak mungkin, penguasa Aceh budak dari Sultan Ma’ruf Syah, tapi pernah menjadi malik atau raja di bawah Sultan Ma’ruf Syah adalah suatu hal yang, mungkin saja, dapat diterima --ini menunjukkan suatu kesatuan yang terbangun di antara wilayah-wilayah Islam di Aceh pada permulaan abad ke-16. 

Namun, akan sangat lebih tepat lagi, jika dikatakan bahwa antara Sultan Pidie, Ma’ruf Syah, dan Sultan Aceh, Munawwar Syah, telah terikat suatu kesepakatan untuk menghadapi ancaman Portugis. 

Setelah Ma’ruf Syah wafat pada Jumadal Akhir 917 H/September 1511 M, Munawwar Syah mengambil kendali atas Pidie.

Tahun 1511 adalah tahun paling menentukan bagi negeri-negeri Islam di Timur. 

Keterangan Marsden menyangkut hubungan Sultan Pidie, berikut Sultan Pasai, dengan Portugis sebelum kejatuhan Malaka dalam tahun ini benar- benar perlu diselidiki serta diluruskan.

Menurut Marsden, sikap Sultan Pidie yang menampung pelarian Portugis dari Malaka mendapat penghargaan dari Albequerque, gubernur Portugis di India. 

Maka, dalam perjalanannya menyerang Malaka, Albequerque sempat singgah dan memperbarui persekutuannya dengan Sultan Pidie, yang konon telah dirintis Sequeira. 

Perjalanan, lalu, diteruskan ke Pasai. Sultan Pasai, katanya, cuci tangan atas kejahatan yang dilakukan terhadap pelarian Portugis. 

Albequerque menunda pembalasan dendamnya. Ia segera menyeberang ke Malaka, dan tiba pada 1 Juli 1511.

Marsden menyusun cerita ini dari sumber-sumber Portugis yang dikumpulkannya. 

Maka, tampak sekali dalam ceritanya kesan ingin menjaga citra Albequerque sebagai penakluk besar bangsa Portugis, di samping ingin menunjukkan kedunguan Sultan Pidie yang lebih mementingkan diri sendiri, begitu pula kelemahan dan sikap pengecut Sultan Pasai. 

Kesan serupa, jika tidak ingin dikatakan lebih buruk dan konyol lagi, juga diberikan oleh empunya cerita dalam Hikayat Aceh ketika bertutur tentang Sultan Ma’arif Syah—pengucapan yang keliru—yang katanya penguasa Syahr Deli.

Informasi yang diberikan teks inskripsi pada nisan makam Sultan Ma’ruf Syah justru sangat bertentangan dengan cerita Marsden, atau yang dalam Hikayat Aceh. 

Selain ayat-ayat Al-Qur’an begitu pula bait-bait syair yang mensinyalir sikap perlawanan yang diambil Sultan Ma’ruf dalam menghadapi ancaman imperialisme Portugis, secara lebih terang dan tegas lagi Sultan Ma’ruf Syah disebut sebagai al-jah al-madhfur min al-a’da’, martabat yang dimenangkan dari musuh-musuhnya. 

Dalam konteks tahun 1511, siapa yang telah disebut sebagai musuh- musuhnya ini? Tentu tidak mungkin lain dari Portugis.

Teks ini secara terang menginformasikan fakta keberhasilan Sultan Ma’ruf Syah menghalau Portugis dari perairan Sumatera sehingga Albequerque terpaksa bergegas mundur dan mencoba menerobos benteng pertahanan Malaka. 

Sayang, Malaka yang merupakan salah satu bandar penting di Dunia Islam--dan dinasti pemerintahnya memiliki hubungan kekerabatan dengan Pasai, Aru, Pidie dan Aceh--tidak dapat diselamatkan.

Peristiwa kejatuhan Malaka ke dalam tangan Portugis menggemparkan. 

Dapat dibayangkan bagaimana Sultan Ma’ruf Syah terpukul dengan kejadian ini. 

Keberuntungan bangsa imperialis yang secara terang-terangan menyatakan kedatangannya untuk memperoleh rempah-rempah dan menyebarkan agama Nasrani, ini benar- benar tidak dapat diterimanya. 

Ia sadar akan implikasi yang timbul setelah Portugis memperoleh pinjakan yang mantap di kawasan strategis Dunia Islam ini. 

Namun, tak lama, hanya selang sebulan dari kejatuhan Malaka, ajal datang menjemput sang Sultan.

Kepulangan pahlawan Islam ini ke rahmatullah merupakan sebuah luka susulan di hati kaum Muslimin. 

Di puncak sebuah bukit buatan di Gampong Dayah Tanoh Keulibeut, Pidie, jasadnya dimakamkan agar kepahlawanan dan semangatnya senantiasa terpatri dalam ingatan bangsanya. 

Dan di atas puncak satu batu nisannya, terukir doa: Ya Allah, ampuni dan sayangilah pemilik kubur ini, sebaris doa yang juga ditemukan pada nisan makam  Raja Kanayan, pahlawan Islam yang lain di Samudra Pasai.

Namun pergulatan dengan kaum imperialisme belum berakhir. 

Dari Lamuri, seorang pahlawan lain yang selama ini menyertai Sultan Ma’ruf Syah, bangkit pula untuk memimpin jihad di jalan Allah: Sultan Munawwar Syah. 

Pada waktu kemudian, Sultan Munawwar Syah diikuti pula oleh anak-anak dan cucu-cucunya dalam jihad ini, di antaranya yang paling terkenal adalah Sultan ‘Ali Mughayat Syah dan Malik Ibrahim. 

 

Pusat Perdagangan dan Sangat Kaya

Sebuah artikel yang dipublish Kompas.com pada 23 November 2021 menulis, Kerajaan Pedir termasuk kerajaan tua di Aceh yang pernah menjadi pusat perdagangan dan sangat kaya. 

Pada masa jayanya, Kerajaan Pedir pernah menguasai kerajaan-kerajaan di sekitarnya, termasuk Kerajaan Aceh. 

Sayangnya, catatan sejarah mengenai Kerajaan Pedir sangat terbatas dan banyak didapatkan dari berita-berita asing. 

Berita-berita asing pun menyebut kerajaan ini dengan sejumlah nama berbeda, seperti Poli (China) dan Pidie (Portugis). 

Berita awal abad ke-16 M dari Tome Pires mengatakan bahwa di Sumatera, terutama di sepanjang pesisir Selat Malaka, telah banyak kerajaan Islam, salah satunya Kerajaan Pedir

Selain Pasai, Pedir juga merupakan sebuah kerajaan dengan hasil alam melimpah dan menjadi pusat perdagangan. 

Produksi andalannya saat itu adalah lada, sutra, kapur barus, dan emas. 

Tome Pires mengatakan bahwa Kerajaan Pedir menguasai kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya dan pernah berperang dengan Samudera Pasai. 

Peperangan itu mungkin disebabkan oleh persaingan dalam perdagangan, di mana para pedagang lebih sering berlayar ke Pedir dibanding ke Pasai. 

Sejarawan Portugis, Joao de Barros, juga memberikan beberapa catatan mengenai kehidupan Kerajaan Pedir

Dari semua kerajaan di pantai utara Sumatera, Pedir diakui sebagai yang terbesar dan lebih terkenal di kawasannya. 

Hal ini karena para pedagang dari Barat ataupun dari Timur bertemu di wilayahnya untuk mencari semua jenis barang pokok.

Beberapa catatan penting mengenai Pedir juga pernah diberikan oleh Ludivico di Varthema, seorang pengembara Italia. 

Saat singgah di Pedir pada awal abad ke-16, Varthema melihat 18 sampai 20 kapal bermuatan lada dengan tujuan China setiap tahunnya berangkat dari kerajaan ini. 

Bahkan karena bisnis dagangnya sangat ramai, pada salah satu jalannya terdapat 500 tempat penukaran uang yang dicetak dari emas, perak, dan timah. 

Selain takjub dengan administrasi peradilan di Pedir yang ketat, Varthema juga mengagumi kemampuan penduduknya dalam membuat kembang api. 

Runtuhnya Kerajaan Pedir 

Kerajaan Pedir mulai mengalami kemunduran saat Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. 

Pasalnya, para pedagang Islam yang semula singgah di Malaka pindah ke Aceh. 

Bahkan pedagang India tidak lagi singgah di Malaka karena Portugis memungut bea cukai yang tinggi dan menjalankan monopoli.

Dampaknya, pelayaran dan perdagangan di Pedir semakin sepi karena para pedagang beralih ke Aceh. 

Pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Aceh, Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim, berhasil membawa kerajaannya menjadi besar dan kuat. 

Di bawah Sultan Ali Mughayat Syah pula, Aceh mampu menghimpun kekuatan dan melepaskan diri dari Kerajaan Pedir pada 1520. 

Kemudian pada 1524, Kerajaan Pedir ditaklukkan dan sejak itu menjadi bawahan Kerajaan Aceh. Kedekatan hubungan Pedir dengan Portugis disinyalir menjadi penyebab utama tindakan militer Aceh.(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved