Revisi UUPA

Revisi UUPA Dinilai Elitis, Akademisi Desak Gubernur dan DPRA Libatkan Rakyat Aceh

Kritik utama mengarah pada minimnya pelibatan publik, padahal UUPA merupakan hasil perjuangan panjang rakyat Aceh yang tidak...

Penulis: Jafaruddin | Editor: Eddy Fitriadi
For serambinews.com
Advokat sekaligus akademisi IAIN Lhokseumawe, Dr Bukhari MH CM. Revisi UUPA Dinilai Elitis, Akademisi Desak Gubernur dan DPRA Libatkan Rakyat Aceh. 

Laporan Jafaruddin I Lhokseumawe

SERAMBINEWS.COM, LHOKSEUMAWE - Proses revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) mendapat sorotan tajam dari kalangan akademisi dan masyarakat sipil.

Kritik utama mengarah pada minimnya pelibatan publik, padahal UUPA merupakan hasil perjuangan panjang rakyat Aceh yang tidak boleh direvisi secara tertutup dan terburu-buru.

Gubernur Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) saat ini tengah menyusun draft revisi UUPA, namun isi rancangan tersebut belum pernah dipublikasikan secara luas.

Padahal, partisipasi publik merupakan prinsip fundamental dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.

“UUPA bukan sekadar dokumen hukum, melainkan simbol perjuangan dan identitas Aceh. Tidak etis jika revisinya hanya dibahas di balik pintu tertutup,” tegas Dr Bukhari MH CM, akademisi IAIN Lhokseumawe dan Konsultan Hukum LBH Qadhi Malikul Adil, kepada Serambinews.com, Minggu (25/5/2025).

Dr. Bukhari menekankan pentingnya membuka draf revisi ke publik melalui berbagai saluran seperti laman resmi pemerintah, media massa, serta diskusi terbuka di kampus dan gampong.

Menurutnya, keterlibatan aktif masyarakat justru akan meningkatkan kualitas revisi dan mencegah terjadinya penyusunan aturan yang jauh dari kebutuhan riil rakyat Aceh.

“Partisipasi bukan sekadar formalitas. Ini amanah konstitusi. Jangan sampai revisi UUPA berubah menjadi dokumen elitis yang hanya dipahami segelintir elite politik Aceh,” tegasnya.

Revisi UUPA kali ini memuat isu-isu strategis seperti penguatan kewenangan Pemerintah Aceh, pengelolaan sumber daya alam, posisi lembaga adat, hingga penguatan Qanun syariah.

Oleh karena itu, keterlibatan tokoh adat, akademisi, ulama, pemuda, dan perempuan sangat diperlukan untuk menghasilkan kebijakan yang inklusif dan representatif.

Pengamat menyebut, revisi UUPA tidak bisa hanya menjadi agenda formal pemerintah dan DPRA, tetapi harus menjadi ruang dialog kolektif antara negara dan rakyat Aceh.

Masyarakat kini menanti sikap Pemerintah Aceh dan DPRA: apakah mereka akan membuka ruang partisipasi luas atau tetap menjalankan proses revisi secara eksklusif?

“UUPA ini diperjuangkan dengan darah dan air mata. Jangan dikerdilkan dengan proses yang tertutup. Kalau drafnya saja tidak bisa dibaca publik, lalu untuk siapa undang-undang ini direvisi?” pungkas Dr Bukhari.(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved