Opini
Menuju Fiqh Inklusif untuk Difabel
Rumah-rumah ibadah belum semuanya ramah akses bagi mereka, khutbah dan kajian jarang menyentuh isu-isu disabilitas, dan komunitas keagamaan kerap kali
Dan ke empat, lemahnya representasi kaum difabel dalam institusi keagamaan. Hal ini juga menjadi faktor struktural yang terabaikan. Sangat jarang ada penyandang disabilitas yang terlibat aktif dalam pengambilan kebijakan publik dan keagamaan, baik di level ormas, masjid, maupun lembaga negara. Ketidakadilan mereka membuat kebutuhan difabel tidak pernah benar-benar dibicarakan dari sudut pandang orang pertama. Ini memperkuat eksklusif dan memperpanjang siklus ketidakadilan struktural.
Fiqh inklusif
Untuk itu, sudah saatnya umat Islam termasuk di Aceh untuk mengembangkan konsep Fiqh Inklusif—sebuah pendekatan hukum Islam yang berangkat dari kenyataan bahwa manusia diciptakan dalam keragaman kondisi fisik. Bukankah Allah telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk (Q.S At-Tin:4), telah memuliakan Bani Adam tanpa terkecuali (Q.S Al-Isra: 70), tidak ada kecacatan dalam ciptaanNya (Q,S Al-Mulk:3-4), dan bahwa orang yang paling mulia di antara kita adalah yang paling taqwa bukan karena fisiknya (Q.S Al-Hujarat:13). Maka ketika akses ibadah yang notabene merupakan hak paling dasar tidak diberikan secara setara dalam aksesibilitasnya, maka di sinilah kita melihat wajah nyata dari marginalisasi yang sistemik.
Oleh karena itu merekonstruksi pemahaman fiqh melalui pendekatan illat dan prinsip-prinsip maqashid al-syari’ah seperti keadilan, kemaslahatan, dan penghormatan terhadap martabat manusia harus menjadi landasan utama dalam membangun perspektif hukum yang lebih ramah terhadap difabel. Masjid harus dibangun atau direnovasi dengan desain universal, ramah untuk semua.
Kajian-kajian majelis ilmu perlu merekonstruksi konsep-konsep taharah yang ramah difabel, apabila satu pandangan fiqh terkesan menyulitkan kaum disabilitas, memberi alternatif pemikiran fiqh lain khas untuk mereka agar mudah dipraktikkan oleh mereka sebagai sebuah azimah bukan rukhshah.
Untuk itu para ulama dan akademisi perlu melakukan ijtihad kontemporer untuk menjawab kebutuhan zaman, dengan menempatkan kaum difabel sebagai bagian utuh dari umat ini, bukan pinggiran. Dengan demikian, Islam tidak hanya tampak agung di atas mimbar, tapi juga benar-benar hidup dan membebaskan dalam realitas sosial kita.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.