Opini

Menuju Fiqh Inklusif untuk Difabel

Rumah-rumah ibadah belum semuanya ramah akses bagi mereka, khutbah dan kajian jarang menyentuh isu-isu disabilitas, dan komunitas keagamaan kerap kali

Editor: mufti
IST
Dr Yuni Roslaili MA, Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Penerima Program Pendanaan Riset Indonesia Bangkit (Ministry of Religious Affairs The Awakened Indonesia Research Funds Program: MoRA The AIR Funds). 

Dr Yuni Roslaili MA, Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Penerima Program Pendanaan Riset Indonesia Bangkit (Ministry of Religious Affairs The Awakened Indonesia Research Funds Program: MoRA The AIR Funds).

DI tengah semangat keagamaan di ruang-ruang publik, masih ada kelompok yang terlupakan, yaitu kaum difabel. Eksistensi mereka terabaikan dan hak-hak dasarnya sebagai bagian dari manusia dan anggota masyarakat sering tidak diakomodasi, bahkan dalam urusan yang paling mendasar sekalipun—seperti menjalankan ibadah. Rumah-rumah ibadah belum semuanya ramah akses bagi mereka, khutbah dan kajian jarang menyentuh isu-isu disabilitas, dan komunitas keagamaan kerap kali tidak menyediakan ruang partisipasi yang adil. Mereka hadir, tapi seperti tak ada.

Padahal, Islam sebagai agama rahmatan lil alamin menempatkan keadilan, kasih sayang, dan penghormatan terhadap eksistensi dan martabat manusia sebagai pilar utama dari ajarannya.

Larangan pengguna kursi roda bagi kaum difabel yang ingin shalat berjamaah di beberapa masjid, misalnya, merupakan potret miris dari rendahnya kesadaran keagamaan yang inklusif.

Alih-alih menjadi tempat yang memuliakan umatnya, masjid terkadang justru menjadi ruang yang eksklusif dan membatasi akses bagi kaum difabel. Penolakan ini sering kali berdalih pada alasan menjaga kesucian masjid, ketertiban ruang ibadah, tapi lupa bahwa Islam mengajarkan kemudahan (taysir), penghormatan terhadap sesama, dan kasih sayang terhadap yang lemah.

Kursi roda dianggap najis, mencemari area suci, dan merusak kelurusan shaf, padahal tidak ada nash yang jelas yang melarang benda tersebut memasuki masjid, sebagaimana lazim terlihat di Mekkah dan Madinah kaum difabel shalat menggunakan kursi roda. Bagi kaum difabel tuna daksa, kursi roda bukanlah alat bantu namun bagian dari diri mereka.

Adapun jika rodanya dipandang kotor atau ternoda dengan najis, hanya perlu membersihkan najisnya sebelum masuk masjid.

Realitas ini memperlihatkan bahwa marginalisasi kaum difabel tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga ideologis. Artinya, cara kita memahami agama, menafsirkan teks-teks keislaman, serta merumuskan hukum-hukum fikih sering kali dibentuk oleh asumsi-asumsi lama yang tidak mempertimbangkan keberagaman kondisi manusia.

Ideologi normatif yang dominan dalam tradisi fikih klasik cenderung menjadikan tubuh yang sempurna secara fisik dan psikis sebagai standar ideal umat dalam beribadah. Akibatnya, mereka yang berada di luar standar ini—termasuk difabel—dianggap sebagai pihak yang "kurang" atau bahkan "beban", bukan sebagai subjek otonom yang memiliki kapasitas dan hak yang sama dalam menjalani kehidupan beragama. Dominasi tafsir yang eksklusif seperti ini telah memengaruhi cara kerja lembaga keagamaan, sistem pendidikan Islam, bahkan narasi dakwah. Fikih yang seharusnya menjadi jalan kemaslahatan berubah menjadi alat pelanggeng diskriminasi secara tidak disadari.

Akar persoalan

Setidaknya ada empat akar persoalan dalam hal ini. Pertama, cara kita memahami fikih. Selama ini fikih lebih banyak berkembang dalam kerangka klasik yang berangkat dari asumsi kesempurnaan fisik dan psikis, dan dikarang oleh para ulama yang, meskipun penuh integritas, hidup dalam kondisi tubuh yang utuh dan tidak pernah mengalami keterbatasan yang dialami kaum disabilitas.

Akibatnya, kesimpulan hukum atau fatwa-fatwa yang dialamatkan untuk kaum disabilitas  kerap bersifat reduktif—memperlakukan mereka semata sebagai “ahli uzur” yang  layak diberi dispensasi atau keringanan, bukan sebagai subjek aktif yang tetap memiliki kapasitas beragama, berkontribusi, bahkan memimpin. Misalnya dalam mendefinisikan dan mengklasifikasikan pengertian azimah dan rukhshah dengan kualifikasi yang merata. Akibatnya kita dapati banyak masjid yang tidak menyediakan akses untuk kaum difabel untuk melaksanakan shalat berjamaah karena memandang mereka telah  diberikan rukhshah oleh agama.

Padahal menurut Prof. Arif Maftuhin dalam bukunya Fiqh Difabel Sebagai Implementasi Fiqh Sosial (2023), sejauh apa yang mampu dilakukan oleh seorang difabel di situlah ukuran azimah baginya, bukan sebagai rukhshah. Definisi azimah dan rukhshah tidak dipahami dengan kualifikasi secara umum namun kualifikasi personal. Cara pandang ini menjadi urgen, agar penyandang difabel tidak distigma sebagai kaum “ahli uzur” yang dikasihani dengan mendapat rukhshah.

Kedua, belum adanya pembaruan metodologis dalam membaca teks-teks keagamaan klasik. Banyak ulama dan pendidik agama masih terikat pada pendekatan tekstualistik yang menekankan pengulangan pendapat lama tanpa mempertimbangkan konteks sosial modern saat ini, termasuk untuk realitas disabilitas. Akibatnya, corak fikih yang diajarkan belum mendorong cara berpikir kritis yang mampu merespons keragaman manusia sebagai fitrah, bukan sebagai sebuah perbedaan.

Ketiga, terdapat kesenjangan pengetahuan antara  keilmuan Islam dan kajian modern termasuk dalam memandang dan memperlakukan disabilitas. Banyak ulama maupun akademisi belum memahami secara utuh konsep-konsep baru seperti social model of disability, hak-hak difabel, serta pendekatan interseksionalitas dalam memahami kerentanan. Akibatnya, ketika membahas difabel, fokusnya hanya pada aspek biologis dan fisik, bukan pada sistem sosial yang telah menciptakan hambatan dan ketidakadilan.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved