Subulussalam

Soal Ikan Mati Massal, Kini Anggota Dewan Desak Wali Kota Evaluasi Kepala DLHK Subulussalam

Ardhi Yanto yang akrab disapa Toto menilai, DLHK gagal menjalankan tugasnya secara profesional dalam menangani insiden lingkungan...

Penulis: Khalidin | Editor: Eddy Fitriadi
For Serambinews.com
Anggota DPRK Subulussalam, Ardhi Yanto. Soal Ikan Mati Massal, Kini Anggota Dewan Desak Wali Kota Evaluasi Kepala DLHK Subulussalam. 

Desakan tersebut seirama dengan warga yang mempertanyakan keabsahan proses pengujian sampel air dan bangkai ikan mati yang terjadi di Sungai Lae Batu-batu pada 7 Mei lalu.

Insiden matinya ikan secara massal di sungai yang menjadi nadi kehidupan nelayan itu menyulut keresahan mendalam di tengah masyarakat. 

Namun, alih-alih memberikan kejelasan, langkah DLHK dalam menangani krisis ini justru memantik lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban.

Kepala DLHK Subulussalam, Abdul Rahman Ali, sebelumnya menyatakan bahwa sampel air telah dikirim ke Badan Standardisasi Pengujian Jasa Indonesia (BSPJI) Banda Aceh, sedangkan bangkai ikan diuji di laboratorium Kimia Universitas Syiah Kuala (USK). Hasilnya dijanjikan keluar dalam 14 hari kerja.

Namun fakta di lapangan justru mencengangkan. Salah satu anggota DPRK Subulussalam yang melakukan pengecekan langsung ke laboratorium di Banda Aceh tidak menemukan adanya jejak sampel yang dimaksud. 

"Hasil penelusuran kami, tidak ada catatan, tidak ada registrasi. Seolah-olah sampel itu tak pernah sampai," ungkap Nukman yang akrab disapa Arung.

Kecurigaan warga pun kian menguat ketika mengetahui bahwa pengiriman sampel dilakukan tanpa prosedur yang semestinya. 

"Bagaimana bisa sampel yang menentukan nasib kesehatan dan mata pencaharian ribuan orang hanya dikirim lewat travel tanpa petugas pendamping dan tanpa surat pengantar? Ini bukan main-main!" tegas Arung.

Lebih lanjut, kegeraman warga menurut Arung memuncak setelah muncul surat dari pihak laboratorium USK yang menyatakan bahwa pengujian bangkai ikan tidak dapat dilakukan karena kekurangan perlengkapan. 

Ironisnya, pemberitahuan ini baru disampaikan 20 hari setelah sampel diterima.

"Ini bukan hanya soal kelalaian administratif. Ini persoalan nyawa, kesehatan publik, dan keberlangsungan hidup nelayan. Kalau air dinyatakan tidak tercemar, lalu kenapa ikan bisa mati berhari-hari? Ini tidak masuk akal!," ujar Arung dengan nada kesal.

Ketidakprofesionalan dalam penanganan sampel dan informasi yang simpang siur ini mendorong warga untuk mendesak Wali Kota Subulussalam segera mengevaluasi, bahkan bila perlu menonaktifkan Kepala dan Kabid DLHK Subulussalam.

"Secara hukum kami tidak bisa menuduh DLHK bermain-mata. Tapi kejadian ini sangat janggal. Ini bukan lagi sekadar kelalaian. Patut diduga, ada udang di balik batu," pungkas Arung yang juga pegiat Inisiatif Sawir Berkelanjutan (ISB),Kota Subulusdalam dengan nada penuh kecurigaan.

Sebelumnya Masyarakat dan nelayan Kota Subulussalam mendesak Wali Kota Haji Rasyid Bancin atau HRB agar segera menonaktifkan Kepala dan Kabid Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) setempat.

Desakan itu disanpaikan Hasbi Bancin warga Kecamatan Rundeng kepada Serambinews.com Kamis (29/5/2025) menanggapi hasil uji laboratorium air Sungai Lae Batu-Batu yang diduga tercemar oleh limbah dari Pabrik Minyak Kelapa Sawit (PMKS).

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved