Opini
Dilema Persalinan Normal atau Caesar
Persalinan normal alami bukan sekadar proses medis, melainkan sunnah Rasulullah yang telah diwariskan turun-temurun.
Prof Dr dr Rajuddin Sp OG(K) Subsp FER, Guru Besar Fakultas Kedokteran USK dan Sekretaris ICMI Orwil Aceh
ACEH, tanah rencong yang teguh memegang syariat Islam dan adat istiadat, sejak dahulu menjunjung tinggi nilai-nilai kelahiran alami. Persalinan normal alami bukan sekadar proses medis, melainkan sunnah Rasulullah yang telah diwariskan turun-temurun.
Bidan-bidan kampung dengan tangan terampil dan doa-doa dari kitab Barzanji menjadi penjaga tradisi ini, mendampingi para ibu dengan kearifan lokal yang sarat makna.Namun, zaman bergerak maju. Kini, budaya mulia itu pelan-pelan tergerus oleh modernisasi. Persalinan yang dahulu menjadi ritual sakral di bawah bimbingan bidan kampung, kini banyak beralih ke tangan dokter dan bidan yang profesional di Puskesmas atau rumah sakit. Ilmu kedokteran modern memang menawarkan kemajuan dan keamanan, tetapi dibalik itu, ada nilai-nilai tradisi yang mulai memudar.
Perubahan ini bagai dua sisi mata pedang rencong. Di satu sisi, profesionalisme tenaga medis menekan angka kematian ibu dan bayi. Namun di sisi lain, kearifan lokal dan pendekatan spiritual yang selama ini menjadi ruh persalinan Aceh perlahan tergantikan oleh rutinitas klinis yang kering akan nilai-nilai budaya. Lantas, dimanakah titik temu antara kemajuan medis dan pelestarian tradisi?
Aceh yang religius ini tentu mampu merajut keduanya, mengambil yang terbaik dari dunia modern tanpa harus meninggalkan warisan leluhur yang sarat berkah. Sebab, melahirkan di Aceh bukan sekadar urusan medis, tapi juga pelestarian adab dan adat yang telah diwariskan sejak kerajaan Samudera Pasai berdiri.
Paradoks pelayanan
Di balik kilau modernitas rumah sakit berperalatan canggih, Aceh menyimpan paradoks kesehatan yang memilukan. RSUD dr. Zainoel Abidin (RSUDZA), kebanggaan masyarakat Banda Aceh, kini menghadapi phenomena medis yang menggerus tradisi. Di ruang bersalin RSUDZA yang steril, pisau bedah seolah menjadi solusi instan, menggantikan proses alamiah yang telah diajarkan Rasulullah dan dijaga turun-temurun oleh bidan kampung.
Padahal, setiap sayatan SC yang tidak perlu bukan hanya meninggalkan luka di perut ibu, tetapi juga membekas pada martabat kemanusiaan kita. Lonjakan operasi caesar terungkap adanya tren meningkat dalam praktik persalinan di RSUDZA Banda Aceh. Angka operasi caesar (SC) melonjak secara eksponensial dari 30 persen pada tahun 2013 menjadi 54 % di tahun 2017, dan mencapai puncaknya di angka 65,3 % pada tahun 2019 menurut Jurnal Kedokteran Unsyiah. Angka ini sungguh mencengangkan ketika kita bandingkan dengan negara tetangga Malaysia yang hanya 18 % atau Belanda yang konsisten di angka 15 % .
Gambaran persalinan RSUDZA menunjukkan pola unik dalam praktik SC ini. Sebanyak 70 % operasi caesar dilakukan pada jam kerja antara pukul 08.00-16.00, menunjukkan indikasi kuat bahwa banyak dari prosedur ini bersifat elektif atau terencana. Fakta lain yang tak kalah mengejutkan, 45 % pasien SC ternyata adalah ibu-ibu berpendidikan SMA. Dampak finansial dari fenomena ini luar biasa, operasi caesar menghabiskan anggaran BPJS Aceh sebesar Rp 45 miliar setiap tahunnya. Yang lebih memprihatinkan, biaya per kasus SC ternyata tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan persalinan normal.
Fakta-fakta ini bukan sekadar angka statistik, melainkan cerminan dari sistem kesehatan maternal yang sedang tidak sehat, di mana pertimbangan medis murni sering kali dikalahkan oleh faktor non-medis. Pemerintah menargetkan penurunan angka SC nasional karena Indonesia termasuk negara dengan angka SC tertinggi di dunia (melebihi rekomendasi WHO 10-15 % ).
Wilayah tertentu, termasuk Aceh, menjadi fokus intervensi secara menyeluruh terutama di rumah sakit-rumah sakit pemerintah seperti RSUDZA Banda Aceh. Kebijakan ini bukan tanpa alasan. Tingginya angka SC, tidak hanya membebani sistem kesehatan nasional, tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi kesederhanaan dan menghindari intervensi medis yang tidak perlu.
Intervensi pemerintah ini diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan antara kemajuan teknologi kedokteran dengan kearifan lokal dalam proses persalinan. Namun, jalan menuju penurunan angka SC tidaklah mudah. Diperlukan perubahan paradigma baik dari tenaga medis maupun masyarakat, penyesuaian sistem insentif, serta penguatan fasilitas kesehatan dasar. Aceh, dengan karakteristik uniknya, menjadi ujian nyata bagi komitmen pemerintah dalam mewujudkan persalinan yang lebih alamiah dan bermartabat di seluruh Indonesia.
Apa yang salah?
Di balik tingginya angka operasi caesar, tersembunyi benang kusut sistem BPJS yang belum terurai. Persoalannya tidak sesederhana pilihan medis semata, melainkan cermin dari kegagalan struktural yang mengakar. Pertama, ketimpangan tarif BPJS menjadi biang keladi. BPJS membayar hingga Rp 10 juta untuk satu kasus SC, sementara persalinan normal hanya bayar Rp 2–3 juta. Selisih yang signifikan ini ibarat umpan yang "menggoda" rumah sakit dan dokter untuk lebih memilih pisau bedah daripada membiarkan proses alamiah berjalan.
Di RSUDZA, misalnya, insentif finansial ini secara tidak langsung mendorong oknum medis mencari alasan untuk melakukan SC, bahkan ketika indikasi medisnya belum mendesak. Kedua, ketidakmampuan faskes primer memperparah keadaan. Puskesmas di berbagai daerah di Aceh masih kekurangan alat USG dan tenaga dokter atau bidan terampil. Akibatnya, pasien yang seharusnya bisa ditangani di tingkat dasar justru langsung dirujuk ke RSUDZA tanpa skrining memadai.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.