Kupi Beungoh
Pak Fadli Zon, Singkil Itu Bukan Sekadar Wilayah, Ia Ruh Indonesia – Bagian 4
Hamzah Fansuri, tokoh besar Singkil yang menulis syair dalam bahasa yang kelak akan menjadi fondasi bahasa Indonesia.
Oleh Ahmad Humam Hamid*)
DI tengah gaduh pencabutan empat pulau dari Aceh Singkil ke Sumatera Utara, narasi yang mengemuka masih sebatas persoalan administratif dan birokrasi batas wilayah.
Nyaris tak ada suara yang menggali kedalaman sejarah, kebudayaan, dan spiritualitas tanah kecil di barat daya Aceh itu.
Padahal Singkil bukan sembarang titik koordinat.
Ia adalah denyut awal bagi lahirnya kebesaran Aceh, bahasa Indonesia, dan jejaring budaya Nusantara.
Jika negeri ini sedang mencari akar, maka ia harus menoleh ke Singkil--bukan untuk romantisme semata, tetapi karena di sanalah ruh Indonesia pertama-tama dirintis.
Adalah Hamzah Fansuri, tokoh besar abad ke-16, penyair sufistik pertama dalam sejarah Melayu yang menulis syair dalam bahasa yang kelak akan menjadi fondasi bahasa Indonesia.
Ia tak sekadar penulis puisi, tapi juga pemikir lintas batas yang meramu tasawuf, filsafat, dan geografi spiritual.
Fansuri menuliskan Tuhan dalam bentuk yang dalam namun membumi, menyatu antara kata dan makna, antara Melayu dan semesta.
Dari Singkil, ia membangun bahasa sebagai jalan iman dan intelektual.
Tak lama setelahnya, dari lingkungan keilmuan yang sama, muncul turidnya yang sangat kondang, Syamsuddin As-Sumatrani dan Abdurrauf As-Singkili.
Keduanya menulis, mengajar, dan membentuk dasar intelektual Islam Nusantara.
Mereka mendiskusikan relasi antara syariat dan hakikat, antara akal dan ilham, bahkan antara lokalitas dan universalitas.
Abdurrauf, yang kemudian menjadi Mufti Kesultanan Aceh, juga penerjemah tafsir Qur’an pertama dalam bahasa Melayu.
Bahasa ini, kelak, adalah bahasa Sumpah Pemuda 1928, dan bahasa Proklamasi 1945--yang disusun dan dibacakan dalam ruh Melayu yang dirintis dari tanah Singkil.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.