Pulau Sengketa Aceh Sumut

Tajam! Bunda Salma Kritik Ketua DPRD Sumut: Aceh Wilayah Sensitif, jangan Asal Bingkai Soal 4 Pulau

“Ini bukan zaman Hindia Belanda. Negara ini dibangun dengan kesepakatan, bukan dengan pemaksaan administratif,” kritik Bunda Salma.

Penulis: Indra Wijaya | Editor: Saifullah
For Serambinews.com
KRITIK BUNDA SALMA - Foto kolase Anggota DPRA, Hj Salmawati atau Bunda Salma (kiri), dan Ketua DPRD Sumut, Erni Ariyanti Sitorus (kanan). Bunda Salma mengkritik keras pernyataan Ketua DPRD Sumut terkait polemik 4 pulau Aceh yang dicaplok Sumut. 

Bunda Salma juga menilai bahwa  tawaran ‘Kelola Bersama’ Bobby dinilai problematis. 

Menurutnya, pendekatan tersebut menyesatkan karena menggunakan bahasa kompromi di atas pelanggaran.

“Apa artinya ‘kelola bersama’ kalau wilayahnya sendiri diambil tanpa diskusi? Itu seperti mencuri sawah orang lalu mengajak bertani bersama. Bukan kompromi, itu pelecehan terhadap logika keadilan,” tegasnya.

Bunda Salma mengakui bahwa jalur PTUN adalah mekanisme legal yang harus ditempuh.

Namun, ia menegaskan, bahwa proses hukum saja tidak cukup. 

Negara harus mengoreksi prosedur internalnya, mulai dari peta dasar, kajian ilmiah, hingga mekanisme pengambilan keputusan. 

Apalagi menyangkut Aceh sebagai bagian wilayah yang paling sensitif.

“Jangan berlindung di balik frasa ‘kajian ilmiah’. Jika memang ada dasar ilmiah, publikasikan," tandasnya.

"Undang tim ahli netral, buka diskusi publik, biarkan rakyat Aceh melihat apakah ini keputusan objektif atau keputusan politis yang dibungkus birokrasi,” usulnya.

Menariknya, Bunda Salma menyampaikan kritik dengan narasi yang sangat rasional, jauh dari romantisme separatis atau provokasi emosional. 

Ia menyebut bahwa sikap Aceh tetap dalam kerangka hukum Indonesia, tapi menuntut negara untuk mematuhi konstitusi dan etika keadilan.

“Aceh bukan provinsi manja, tapi juga bukan provinsi yang bisa dikebiri haknya,” papar dia. 

“Kalau pusat ingin damai ini langgeng, maka perlakukan Aceh sebagai partner dalam rekonsiliasi, bukan sebagai objek peta-peta yang digeser sesuka hati,” katanya.

Ia juga mengingatkan, bahwa konflik Aceh bermula dari ketidakadilan dan pemaksaan dari pusat. 

Jika luka lama itu dihidupkan kembali lewat keputusan teknokratik yang tak transparan, maka konsekuensi sosial-politiknya harus ditanggung bersama.

“Kami rakyat Aceh tidak sedang mencari musuh. Tapi jangan anggap kesabaran kami rakyat Aceh sebagai kelemahan,” tegas dia. 

“Negara harus segera memperbaiki proses ini. Jangan ulangi dosa historis terhadap Aceh dalam bentuk baru, bukan Aceh yang terlalu sensitif. Tapi negara yang terlalu cepat lupa," pungkas Bunda Salma.(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved