Breaking News

Kupi Beungoh

Napak Tilas Jejak Hitam AS di Timur Tengah: Kartu Yom Kipur – Bagian II

Seandainya Israel makin terdesak, apakah Amerika akan kembali turun tangan seperti dulu di Perang Yom Kipur tahun 1973? 

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Handover
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

PERANG yang sedang terjadi di Timur Tengah bukan lagi soal Gaza semata. 

Kini, yang terlibat bukan cuma Israel dan Palestina. 

Ada Iran, ada Amerika Serikat, dan ada ketegangan yang makin terasa seperti api yang siap menyambar ke mana-mana. 

Orang mulai bertanya-tanya. 

Seandainya Israel makin terdesak, apakah Amerika akan kembali turun tangan seperti dulu di Perang Yom Kipur tahun 1973? 

Dan hari ini, pemboman yang dilancarkan AS terhadap tiga pusat nuklir Iran membuat pertanyaan itu semakin nyata. 

Iran pun membalas lewat serangan roket dan drone canggihnya hingga berhasil menembus Iron Dome Israel. 

Semua peristiwa ini membuat banyak pihak berpikir bahwa AS sedang mengulang jejak lama--menggunakan strategi “escalate to de-escalate” seperti saat perang Yom Kipur dulu, agar lawan merasa terancam dan mau berunding demi kepentingan Amerika dan sekutunya.

Baca juga: Hampir 900 Tentara Israel Tewas dalam Perang di Gaza, Lampaui Korban Perang Yom Kippur 1973 

Sejarah Perang Yom Kippur

Mari kita mundur sejenak ke sejarah. 

Dulu, saat itu Mesir dan Suriah menyerang Israel secara tiba-tiba. 

Mereka ingin merebut kembali tanah mereka yang diambil Israel enam tahun sebelumnya. 

Serangan mereka begitu mengejutkan. 

Israel sangat kewalahan. 

Untuk pertama kalinya, mereka benar-benar hampir kalah. 

Tapi di saat kritis, Amerika datang menyelamatkan. 

Dengan nama operasi  “Nickle Grass”, AS mengirim pesawat-pesawat besar berisi senjata dan logistik.

Operasi ini tercatat sebagai operasi logistik perang raksasa terbesar AS usai Perang Dunia II. 

Tidak kurang dari 22.000 ton amunisi dan berbagai perlengkapan dikirim. 

Tidak cukup dengan itu, AS juga mengirim berbagai informasi intelijen.   

Dukungan itu membuat Israel bisa bangkit kembali dan bahkan merobah total keadaan. Tujuan utama AS untuk membalikkan keadaan berhasil.

Permainan kotor AS untuk memastikan Israel tak kalah juga nyaris membuat dunia diambang perang nuklir. 

Melihat gelagat Uni Soviet yang akan masuk kedalam gelanggang perang itu- sebelumnya hanya bermain di belakang layar, AS mengancam. 

AS menaikkan status siaga militer- DEFCON3. 

Ini adalah status tingkat kesiapan tertinggi militer AS sejak krisis hulu ledak nuklir Kuba 1962. 

Pesan singkat melalui siaga DEFCON3 ke Uni Soviet sangat pendek, namun sangat kuat “jangan ikut campur lebih jauh.” 

Penguasa Soviet saat itu, Brezhnev terhenyak. 

Soviet perlahan berhenti.

Apa yang terjadi? Situasi berubah. 

Dengan bantuan alat-alat canggih militer AS dan informasi inteleijen, keadan berbalik drastis. 

Mesir yang awalnya mengepung, kini menjadi terkepung. 

Di gurun Sinai ribuan pasukan tentara ke tiga Mesir, tinggal menunggu waktu dieksekusi oleh Israel. 

AS mengambil langkah cerdik, namun culas. 

AS tidak mau “mempermalukan” presiden Mesir,  Anwar Sadat. 

AS memberikan “jasa” kepada Sadat dengan satu tujuan utama, mengajak Sadat berdamai dengan Israel pada waktunya. 

Bagaimana caranya? AS kali ini “mengancam” Israel untuk tidak memusnahkan tentara Mesir yang sudah terkepung total di Sinai itu. 

Ancaman itu dipatuhi. 

Mesir tak kehilangan muka. 

Sadat dan Mesir selamat dan tidak dipermalukan.

Baca juga: Korea Utara Kutuk Amerika Serikat Serang Iran, Sebut Pelanggaran Berat Piagam PBB

Menguntungkan AS dan Israel

“Penyelamatan” muka Sadat dan Mesir itu kemudian memberikan implikasi jangka panjang yang sangat menguntungkan bagi AS dan Israel. 

Hal itu terbukti dengan berdamainya AS dengan Israel di Camp David beberapa tahun kemudian. 

Perdamaian itu dibayar murah oleh Israel-mengembalikan gurun Sinai Mesir yang dicaplok pada perang enam hari 1967.

Pda saat itu AS sekali lagi ingin memastikan tak ada kekuatan manapun yang bisa mendikte perang Timur Tengah. 

AS lah yang menentukan kapan dan bagaimana damai terjadi, dan siapa yang “boleh” dan “tak boleh” kuat di kawasan itu. 

Ia mengunci perannya sebagai aktor dominan di Timur Tengah.

Deretan peristiwa itulah yang dikenal sebagai “kartu Yom Kipur.” 

Kartu andalan yang dimainkan Amerika saat sahabat dekatnya berada di ujung tanduk.

Semua yang dikerjakan adalah bentuk doktrin “escalate to de-escalate,” prinsip di mana Amerika sengaja membuat konflik makin panas supaya pihak lawan merasa gentar dan mau berunding untuk mengamankan kepentingan Amerika dan sekutunya.

Pada saat itu, strategi ini berhasil membuat Mesir dan Suriah menahan diri. 

Dengan begitu, Israel tetap aman dan Amerika bisa menentukan siapa menang dan siapa kalah. 

Hampir lima puluh tahun berlalu, dan pola itu kini seakan berulang. 

Serangan terhadap fasilitas nuklir Iran bukan cuma soal melumpuhkan kemampuan mereka membuat senjata. 

Lebih dari itu, Amerika ingin memberi sinyal bahwa mereka siap menggunakan kekerasan lebih besar agar Iran berpikir ulang dan mau bernegosiasi.

Baca juga: VIDEO Pesawat Misterius China Terbang ke Iran, Diduga Bawa Senjata Rahasia untuk Balas AS

Bukan Lagi Hanya Amerika dan Soviet

Namun dunia sekarang jauh lebih rumit. 

Dulu hanya dua kekuatan besar -Amerika dan Uni Soviet. 

Sekarang ada Rusia dan Cina, dua negara yang juga punya kepentingan di kawasan. 

Rusia, meski terlibat di Ukraina, tetap menjaga pengaruhnya di Suriah dan punya hubungan erat dengan Iran.

Cina malah baru-baru ini membantu mendamaikan Iran dan Arab Saudi, dan mereka lebih memilih stabilitas demi melindungi jalur dagang dan energi. 

Jika Amerika membuat konflik makin memanas, Cina dan Rusia pasti punya kepentingan untuk mencegahnya meledak menjadi perang terbuka.

Selain itu, negara-negara di Teluk seperti Arab Saudi, UEA, dan Qatar dalam posisi dilematis. 

Di satu sisi mereka bergantung pada Amerika soal keamanan, di sisi lain mereka tak mau kawasan mereka hancur lagi. 

Masyarakat mereka pun mulai gerah melihat banyak korban sipil di Gaza dan aksi keras Israel. 

Ketika perang makin panas, mereka harus menyeimbangkan kepentingan pragmatis dan desakan publik untuk bersolidaritas terhadap Palestina.

Di tingkat global, banyak negara berkembang di kawasan  selatan dunia yang dikenal dengan “global south” --seperti Indonesia, Turki, dan Afrika Selatan, Brazil,-- semakin berani bersuara. 

Mereka lelah melihat perang berulang dan menilai bahwa Amerika terlalu sering bermain kekuasaan dan kepentingan, bukan soal keadilan atau perdamaian. 

Tekanan ini membuat Amerika harus berpikir dua kali agar langkah mereka tidak memperburuk citra dan pengaruhnya di dunia.

Sementara itu, di Amerika sendiri, suara publik sudah banyak berubah. 

Jika dulu dukungan untuk Israel nyaris tanpa syarat, sekarang banyak anak muda dan mahasiswa di jalanan menentang pembantaian di Gaza dan menuntut kebijakan luar negeri lebih adil. 

Bahkan di Kongres, banyak politikus dari dua partai besar tetap pro-Israel, tetapi mereka tahu mereka harus berhati-hati agar tidak kehilangan dukungan pemilih di dalam negeri.

Keadaan saat ini lagi lagi membuat banyak orang ingat sejarah Yom Kipur dan doktrin “escalate to de-escalate” itu sendiri.

Dulu, saat perang Yom Kipur, pengiriman senjata dan kapal perang membuat Mesir dan Suriah berpikir ulang dan akhirnya mau meredakan ketegangan. 

Dan hari ini, pemboman pusat nuklir Iran dan pembalasan mereka ke Iron Dome seakan menjadi versi modernnya. 

Amerika menaikkan tensi agar Iran berpikir dua kali, lalu mau diajak bicara demi keuntungan strategis AS dan kelangsungan pengaruhnya di Timur Tengah.

Tetapi apakah dunia mau kembali masuk dalam skenario seperti itu? 

Banyak yang khawatir bahwa kali ini risikonya lebih besar. 

Jika Iran terdesak dan melibatkan sekutu-sekutunya di Lebanon, Yaman, dan Irak, Timur Tengah bisa benar-benar terbakar. 

Dampaknya pasti terasa hingga ke harga minyak, jalur logistik dunia, dan stabilitas kawasan. 

Dan bila negara besar seperti Rusia dan Cina ikut campur untuk melindungi kepentingan mereka, konflik bisa meluas hingga menjadi perang proksi global.

Pada akhirnya, pemboman pusat nuklir Iran dan pembalasan lewat roket ke Iron Dome adalah peringatan bahwa kita seperti hidup dalam putaran sejarah yang berulang. 

Apa yang terjadi lima puluh tahun lalu di Yom Kipur kini seperti terulang, tetapi dalam dunia yang lebih terhubung dan rapuh. 

Jika dulu Amerika bisa membuat konflik memanas untuk meredakan ketegangan, kini mereka harus berpikir bahwa strategi lama itu bisa berbalik arah dan membuat semua pihak makin keras kepala. 

Dunia tidak kekurangan senjata, tetapi yang dibutuhkan adalah keberanian untuk menahan diri dan mau berunding sebagai sesama manusia.

Jangan sampai prinsip lama dan ambisi lama membawa dunia menuju perang baru. 

Jangan biarkan sejarah kelam berulang hanya demi kepentingan segelintir pihak. 

Dunia ini terlalu berharga untuk dikorbankan hanya untuk kepentingan AS dan Israel, sementara di Gaza, anak-anak, orang tua, dan mereka yang lemah terus dibunuh setiap hari oleh Israel.(Habis)

 

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

BACA ARTIKEL KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved