Berita Sigli
Kisah Sukses UMKM Kue Arafik Sigli: Resep Warisan Mertua Tionghoa, Dibawa ke Kanada hingga Australia
Meski belum diekspor secara resmi, tak jarang wisatawan atau bahkan masyarakat Aceh Diaspora membawanya sebagai oleh-oleh ke Kanada hingga Australia.
Penulis: Firdha Ustin | Editor: Muhammad Hadi
SERAMBINEWS.COM - Tak banyak yang tahu bahwa kue Arafik yang kini menjadi oleh-oleh khas dari Sigli berawal dari dapur rumahan Kak Rosni atau biasa disapa K'Ni (53), berlokasi di Pulo Pisang, Sigli, Provinsi Aceh.
Kue manis berbentuk bulat pipih dengan isian kacang merah ini telah mengantarkan namanya dikenal hingga luar negeri dengan merek dagang K'Ni Arafik.
Meski belum diekspor secara resmi, tak jarang wisatawan atau bahkan masyarakat Aceh Diaspora membawanya sebagai oleh-oleh ke Kanada hingga Australia.
Kisah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) ini bermula pada tahun 2003.
Saat itu, Kak Rosni memulai semuanya dari nol, tanpa bantuan siapa pun.
“Pertama buka usaha ya pelan-pelan saja, modal sendiri. Sekitar satu juta lebih waktu itu untuk beli oven dan tabung gas,” kenangnya kepada Serambinews.com, Selasa (24/6/2025).
Inspirasi kue Arafik ini berasal dari mertuanya, seorang keturunan Tionghoa yang memang ahli membuat berbagai jenis kue, termasuk kue sejenis bakpia.
Baca juga: Dari Dedaunan Jadi Harapan: UMKM Ecoprint Binaan BI Lhokseumawe Bersinar di FESyar Sumatera 2025
“Saya belajar dari mertua. Dulu beliau punya usaha katering dan suka buat kue, termasuk yang satu ini,” ujar Kak Rosni.
Meski bentuk dan isiannya mirip bakpia, masyarakat di Sigli dan sekitarnya lebih mengenal kue ini dengan nama Arafik.
Menariknya, nama “Arafik” sudah digunakan sejak lama, namun hingga kini belum diketahui siapa yang pertama kali memberinya nama.

Di awal usaha, Kak Rosni hanya membuat adonan dari dua kilo tepung dan memasarkannya di sekitar Sigli dan Pidie.
Kini, produksi hariannya menghabiskan hingga dua sampai tiga sak tepung segitiga biru, tergantung permintaan. Pada hari-hari besar, omzetnya bisa mencapai Rp 4 hingga 5 juta per hari.
Kue ini dibuat dari adonan sederhana yakni tepung, minyak dan air tanpa telur, kecuali untuk olesan bagian atas.
Baca juga: Genjot UMKM, Pemkab Nagan Raya Pamer Produk Unggulan ke Amerika Serikat
Semua takaran dilakukan secara manual menggunakan manual lewat genggaman tangan dan gayung. Setelah diaduk, adonan diberi sedikit pewangi minyak pisang dan dibentuk sebagai kulit luar kue.
Isian kacang merah yang manis legit menjadi kunci rasa khas Arrafik.
Kacang direndam, direbus, digiling lalu dimasak selama delapan jam dalam mesin pengaduk otomatis bersama gula dan minyak.
Selain untuk dijadikan stok, selai ini harus disiapkan sejak malam hari sebelum proses produksi dimulai keesokan harinya agar lebih dingin ketika dimasukkan ke dalam kue bakpia.
Dari usaha rumahan, kini Kak Rosni mempekerjakan 14 orang karyawan yang berasal dari warga lokal.
Kue Arafik dijual dengan harga Rp 15 ribu per bungkus (isi 10) untuk agen dan bisa dijual kembali seharga Rp 25 ribu. Permintaan tak hanya datang dari Pidie, tapi juga dari Meulaboh dan Takengon.
Baca juga: Pedagang Abdya Harap Expo UMKM Dilaksanakan Empat Kali dalam Setahun
Tak hanya dikirim ke luar daerah, usaha UMKM kue Arafik ini juga sering didatangi wisatawan lokal maupun mancanegara, rata-rata mereka membeli kue Arafik secara langsung alih-alih merasakan sensasi kue 'fresh form the oven'.
Beberapa waktu lalu, Kak Rosni menceritakan jika tempat usahanya itu kerap didatangi oleh rombongan wisatawan dari Malaysia, mereka melihat langsung proses pembuatan dan membawanya sebagai oleh-oleh.
“Kadang ada yang beli langsung ke sini buat dibawa ke luar negeri. Pernah ada yang bawa ke Kanada, Australia juga. Jadi ya senang juga, kue rumahan bisa dibawa sejauh itu,” tutur Kak Rosni dengan bangga.
Kue Arrafik kini bukan hanya simbol cita rasa unik, tapi juga kisah tentang ketekunan, resep warisan keluarga, dan semangat membangun dari bawah.
Sementara itu, seorang pekerja kue Arafik, Ekawati (48), warga Pulo Pisang mengaku sudah limat tahun mengabdi sebagai pegawai Kak Rosni. Ia bekerja membentuk kue dan mengisinya dengan selai, pekerjaan tersebut dimulai dari pagi hingga siang hari.
Sebagai ibu empat anak, ia merasa kebutuhan rumah tangga terpenuhi dan dapat membantu suaminya dalam perekonomian keluarga, bahkan ia bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga duduk di bangku kuliah.
"Alhamdulillah, bisa dibilang saya juga paling lama kerja di sini, bisa bantu suami juga, kami biasa dibayar per hari, hitungannya per jam kalau bagian isi selai kue. Anak saya juga kuliah dari saya kerja serabutan ini," ujarnya.
Dari dapur kecil di Sigli, aroma kesuksesan itu kini terbang hingga ke belahan dunia lain. (Serambinews.com/Firdha Ustin)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.