Kupi Beungoh
Hasan Tiro, Surat Ultimatum dan Tragedi Pulot Cot Jeumpa Aceh Besar
Surat ultimatum yang dikirim oleh Hasan Tiro itu berkaitan dengan tuntutan penghentian kekerasan yang sedang terjadi di Aceh dan wilayah Darul Islam l
Oleh: Fadhli Espece *)
PADA pertengahan 1950-an, nama Hasan Muhammad Tiro menjadi perbincangan luas setelah mengirim surat ultimatum kepada Perdana Menteri (PM) Indonesia, Ali Sastroamidjojo.
Pasalnya, ultimatum tersebut dikirim dari New York atas nama Duta Besar Republik Islam Indonesia dan diliput oleh berbagai media nasional dan internasional.
Surat ultimatum yang dikirim oleh Hasan Tiro itu berkaitan dengan tuntutan penghentian kekerasan yang sedang terjadi di Aceh dan wilayah Darul Islam lainnya di Indonesia.
Saat itu, konflik Darul Islam sudah meletus di beberapa wilayah, termasuk Aceh.
Melalui ultimatum tersebut, Hasan Tiro menulis beberapa “ancaman” kepada PM Ali Sastroamidjojo.
Akibat sikap politiknya itu, Pemerintah Indonesia mencabut paspor diplomatik Hasan Tiro sehingga ia ditahan oleh imigrasi New York karena statusnya sebagai warga negara tanpa kewarganegaraan (stateless).

Baca juga: Haul ke-15 Hasan Tiro, Mualem Ingatkan Kader PA: Jangan Seperti Lele, Lapar Makan Teman
Selama ini, surat ultimatum Hasan Tiro tersebut seringkali dianggap sebagai responnya atas tragedi pembantaian di Pulot Cot Jeumpa.
Tragedi Pulot Cot Jeumpa adalah peristiwa pembantaian masyarakat sipil terbesar dalam sejarah konflik Darul Islam Aceh.
Peristiwa yang terjadi di Pulot, kemukiman Leupung dan Birek, kemukiman Cot Jeumpa, Aceh Besar ini telah menelan banyak korban dari penduduk sipil.
Oleh sebab itu, banyak penulis dan peneliti, secara keliru mengaitkan surat ultimatum Hasan Tiro tersebut sebagai bentuk protesnya atas genosida yang terjadi di Pulot Cot Jeumpa.
Tulisan ini beragumen bahwa surat ultimatum Hasan Tiro kepada PM Ali Satroamidjojo sama sekali tidak berkaitan dengan tragedi Pulot Cot Jeumpa.
Tragedi Pulot Cot Jeumpa terjadi pada 26 dan 28 Februari serta 4 Maret 1955. Sedangkan surat ultimatum Hasan Tiro dilayangkan pada 1 september 1954.
Baca juga: Jejak Perjuangan Deklarator GAM Tgk Hasan Tiro Memimpin Gerilya, Sosok Brilian yang tak Tergantikan
Artinya, Hasan Tiro sudah menerbitkan surat ultimatumnya sebelum peristiwa kemanusiaan di Aceh Besar itu terjadi.
Benar bahwa surat ultimatum Hasan Tiro berkaitan dengan tindakan genosida di Aceh.
Tetapi bukan karena Tragedi Pulot Cot Jeumpa, sebab tragedi tersebut baru terjadi enam bulan setelah ultimatum itu dilayangkan.
Lantas, jika bukan karena tragedi Pulot Cot Jeumpa, mengapa Hasan Tiro mengeluarkan surat ultimatum kepada PM Ali Sastroamidjojo?
Menurut Hasan Tiro, kabinet Ali-Wongso yang sudah berkuasa lebih dari satu tahun telah gagal dalam menjalankan roda pemerintahan yang efektif.
Ia menuduh kabinet Ali “telah dan sedang terus menyeret bangsa Indonesia ke dalam lembah keruntuhan ekonomi dan politik, kemelaratan, perpecahan dan perang saudara”.
Baca juga: Demi Merdekakan Aceh, Hasan Tiro Tinggalkan Kemewahan di AS & Anak Semata Wayang: Karim yang Misteri
Kegeramannya terhadap situasi politik di Tanah Air menjadi faktor pendorong lahirnya ultimatum tersebut.
Dalam surat ultimatumnya kepada PM Ali Sastroamidjojo, Hasan Tiro, mengemukakan tiga poin penting.
Pertama, ia meminta Pemerintah Indonesia untuk segera menghentikan agressi militer di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan.
Kedua, ia juga meminta pemerintah untuk melepaskan semua tawanan politik di wilayah-wilayah konflik politik tersebut, termasuk Maluku.
Ketiga, ia meminta pemerintah untuk segera berunding dengan Tengku Muhammad Daud Beureueh, SM. Kartosoewirjo, Abdul Kahar Muzakkar, dan Ibnu Hadjar.
Poin ketiga menjadi menarik karena ia menyebut nama Daud Beureueh yang pertama dan mendahului nama pimpinan tertinggi (Imam) Darul Islam, Kartosoewirjo.
Baca juga: VIDEO Ratusan Warga Aceh di Amerika Hadiri Pesta Pernikahan Keturunan Hasan Tiro
Ini menunjukkan positioningnya sebagai orang dan utusan Daud Beureueh.
Artinya, posisi dan kepentingan Darul Islam Aceh mendapatkan tempat dan proporsi yang dominan dalam ultimatum itu. Argumen ini semakin kuat jika jeli membaca ancaman atas pengabaian tuntutannya.
Dalam lanjutan surat ultimatumnya, Hasan Tiro menulis:
“Jika sampai pada tanggal 20 September 1954, anjuran-anjuran ke arah penghentian pertumpahan darah ini tidak mendapat perhatian tuan, maka untuk menolong milliunan jiwa rakyat yang tiada berdosa yang akan menjadi korban keganasan dan kekejaman agressi yang tuan kobarkan…”.
Kalimat pertama yang membatasi tenggat waktu sampai 20 september 1954 merupakan simbol tersirat dari Hasan Tiro.
Darul Islam Aceh diproklamasikan pada 21 September 1953. Jadi, pemilihan batas waktu ini berkaitan dengan satu tahun Darul Islam Aceh.
Baca juga: Jelang Pelantikan, Abu Sarjani dan Al Zaizi Ziarah dan Dipeusijuk di Makam Hasan Tiro
Maka dari itu, surat ultimatum Hasan Tiro perlu dilihat sebagai suatu propaganda politik menjelang satu tahun Darul Islam Aceh.
Propaganda ini bertujuan untuk mengampanyekan Darul Islam atau Republik Islam Indonesia kepada dunia internasional.
Nuansa Aceh oriented juga sangat jelas dalam butir-butir ancaman jika tuntutannya diabaikan.
Dalam suratnya, Hasan Tiro, mengancam pemerintah jika tidak memenuhi anjurannya dengan ancaman bahwa Darul Islam akan membuka dengan resmi perwakilan diplomatik di seluruh dunia, termasuk di Persatuan Bangsa-bangsa (PBB).
Selain itu, ia juga mengancam akan memajukan kasus kekerasan, penyiksaan, dan pembunuhan di Aceh kepada General Assembly PBB yang akan datang dan akan menuntut tindakan genosida rezim Ali di hadapan PBB.
Dalam ancaman ini, posisi Aceh dan rakyatnya yang menjadi korban disebutkan secara khusus oleh Hasan Tiro yang berbeda dengan wilayah-wilayah lainnya.
Baca juga: Menyibak Tabir Hidup Hasan Tiro di Yogyakarta
Selanjutnya, ancaman yang dilayangkan Hasan Tiro termasuk akan mengampanyekan kekejaman rezim penguasa kepada seluruh dunia, mengusahakan pengakuan dunia internasional terhadap Republik Islam Indonesia, mengusahakan pemboikotan diplomatik dan ekonomi internasional atas rezim penguasa, dan yang terakhir akan mengusahakan bantuan moral dan material untuk melawan rezim terror.
Secara historis, surat ultimatum Hasan Tiro didorong oleh realitas objektif atas situasi dan kondisi politik yang sedang terjadi di Indonesia.
Beberapa kali ia menekankan secara khusus terkait tindak kekerasan dan kekejaman negara di Aceh.
Melalui surat tersebut, Hasan Tiro menghendaki penghentian kekerasan dan pertumpahan darah serta menganjurkan musyawarah sebagai solusi untuk penyelesaian pertikaian politik yang sedang terjadi di Indonesia.
Dengan pembacaan yang lebih mendalam, surat ultimatum Hasan Tiro jelas tidak dalam rangka untuk merespon peristiwa Pulot Cot Jeumpa.
Tetapi sebagai bagian dari strategi propaganda politik yang telah dirancang dengan matang menjelang peringatan satu tahun proklamasi Darul Islam Aceh.
Baca juga: 13 Tahun Meninggal Hasan Tiro, Sejarah Perjuangan Hingga ‘Dekrit Keramat’ di Camp Bateë Iliëk
Hasan Tiro secara sadar memanfaatkan surat tersebut sebagai alat diplomasi untuk menarik perhatian dunia internasional sekaligus menekan Pemerintah Indonesia.
Dengan mengeluarkan surat pada 1 september 1954, ia membutuhkan waktu tiga minggu, sebelum Darul Islam Aceh tepat berusia satu tahun pada 21 September 1954 untuk mengampanyekan ultimatumnya di dunia internasional.
Ultimatum itu menjadi instrument penting untuk memperkuat legitimasi perjuangan Darul Islam di dunia internasional.
Apalagi ultimatum itu berupaya untuk membingkai konflik Darul Islam bukan semata sebagai persoalan domestik, tetapi juga sebagai isu politik yang layak mendapatkan panggung dalam perbincangan global. (*)
*) PENULIS adalah Peneliti Institute for Muslim Politics & Aceh Studies (IMPACT)
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Kemudahan Tanpa Tantangan, Jalan Sunyi Menuju Kemunduran Bangsa |
![]() |
---|
Memaknai Kurikulum Cinta dalam Proses Pembelajaran di MTs Harapan Bangsa Aceh Barat |
![]() |
---|
Haul Ke-1 Tu Sop Jeunieb - Warisan Keberanian, Keterbukaan, dan Cinta tak Henti pada Aceh |
![]() |
---|
Bank Syariah Lebih Mahal: Salah Akad atau Salah Praktik? |
![]() |
---|
Ketika Guru Besar Kedokteran Bersatu untuk Indonesia Sehat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.