Kupi Beungoh
Membangun Peradaban dari Gampong: Zakat, Koperasi Syariah, dan Jalan Fiskal Aceh yang Berkeadilan
umat Islam di Aceh dan Indonesia dibebani ganda: membayar zakat sebagai tuntunan agama, lalu membayar pajak penuh sebagai kewajiban negara.
Oleh: Dr. Muhammad Nasir*)
DI Tanah Rencong, tempat syariat menjadi denyut dan sejarah menjadi cahaya, Aceh menyimpan satu rahasia peradaban: bahwa keadilan sosial bukanlah utopia di langit, melainkan proyek bumi yang bisa dirancang, dijalankan, dan diperjuangkan, dari gampong ke gampong.
Aceh tidak kekurangan sejarah.
Ia juga tidak kekurangan semangat.
Yang kerap absen adalah keberanian menata ulang sistem dari akar, dari komunitas, dari nilai, dari desa.
Di tengah dunia yang kian dikendalikan oleh pusaran pasar dan kuasa modal, Aceh sesungguhnya bisa menawarkan narasi tandingan: bahwa spiritualitas dan kedaulatan ekonomi dapat bersanding, dan bahwa peradaban tidak mesti lahir dari istana atau gedung tinggi, tetapi bisa tumbuh dari gampong yang beriman dan berdaya.
Zakat dan Pajak: Dialog yang Terlambat Terjadi antara Iman dan Negara
Dalam Islam, zakat bukanlah anjuran amal, melainkan fardhu muamalah, kewajiban sosial yang tak bisa ditunda.
Negara modern pun punya pajak sebagai instrumen distribusi dan kemandirian.
Namun, dua sistem ini selama ini berjalan tanpa jembatan.
Akibatnya, umat Islam di Aceh dan Indonesia dibebani ganda: membayar zakat sebagai tuntunan agama, lalu membayar pajak penuh sebagai kewajiban negara, tanpa penghargaan atas kesalehan sosial yang mereka tunjukkan.
Padahal, negara telah membuka sedikit celah.
Pasal 9 ayat (1) huruf g UU PPh, sebagaimana disempurnakan dalam UU HPP, mengatur bahwa zakat yang dibayarkan melalui lembaga resmi seperti BAZNAS, LAZ, dan Baitul Mal Aceh, dapat mengurangi penghasilan bruto.
Tapi ini baru sekadar titik koma.
Yang dibutuhkan hari ini adalah pengakuan penuh: zakat sebagai pengurang pajak terutang (tax credit).
Beberapa negara Islam sudah lebih progresif. Di Malaysia, zakat langsung mengurangi beban pajak penghasilan secara utuh.
Di Pakistan, sistem zakat sudah terhubung dengan sistem bank, dipotong secara otomatis saat mencapai nisab.
Ini bukan sekadar insentif, tetapi afirmasi bahwa iman dan kebijakan fiskal bisa berdialog dalam struktur hukum negara.
Aceh, dengan kekhususan syariat Islam melalui UU No. 11 Tahun 2006, memiliki otoritas konstitusional untuk melangkah lebih jauh.
Inilah momentum untuk melahirkan Qanun Fiskal Islam Aceh, sebuah regulasi yang memuliakan zakat sebagai kontribusi warga kepada umat dan negara, bukan sekadar beban tambahan.
Baca juga: Zakat sebagai Pengurang Pajak Akan Diatur Melalui Peraturan Pemerintah
Baitul Mal Gampong: Membangun Kepercayaan dari Akar
Namun zakat tidak akan menjadi kekuatan tanpa sistem yang amanah. Dan kepercayaan publik tidak lahir dari pusat kekuasaan, tetapi dari kedekatan dan partisipasi. Di sinilah Baitul Mal Gampong menjadi ujung tombak keuangan sosial Islam: lembaga yang akrab dengan warga, yang tahu siapa fakir, siapa mustahik, siapa pelaku UMKM, dan siapa petani yang butuh alat tanam, bukan belas kasihan.
Dalam visi “9 Program Gercep” dari Gubernur Aceh terpilih, penguatan Baitul Mal Gampong menjadi satu program strategis.
Tapi tanpa keberanian regulatif, sistem digital, dan alokasi fiskal daerah yang proporsional, lembaga ini akan terus jadi pelengkap seremonial syariah, bukan motor transformasi.
Bayangkan bila setiap gampong memiliki Baitul Mal yang:
Mengelola zakat, infak, dan wakaf dengan sistem digital, transparan dan terhubung ke provinsi,
Berkoordinasi dengan Bappeda dan DPMG dalam basis data kemiskinan,
Bersinergi dengan koperasi syariah untuk menyambungkan zakat ke sektor produktif.
Baitul Mal Gampong bukan sekadar pos keuangan. Ia adalah bank kepercayaan umat, lembaga amanah yang bisa menjadi jangkar keadilan fiskal dari bawah.
Koperasi Syariah: Mengubah Dana Menjadi Daya, Solidaritas Menjadi Kesejahteraan
Namun amanah sosial tak boleh berhenti di distribusi. Ia harus naik kelas menjadi sistem ekonomi produktif.
Di sinilah koperasi syariah memegang peran.
Bukan sebagai pelengkap, tapi sebagai motor yang menggerakkan dana menjadi daya, infak menjadi investasi, dan zakat menjadi ketahanan ekonomi masyarakat.
Contoh inspiratif hadir dari Koperasi Merah Putih Syariah.
Melalui sistem bagi hasil dan pembiayaan qardhul hasan, koperasi ini menghubungkan dana umat ke tangan petani, nelayan, tukang jahit, dan penjual kopi gampong.
Tanpa riba, tanpa tekanan bunga, tapi dengan semangat saling menanggung dan tumbuh bersama.
Dalam ekosistem ini:
Baitul Mal Gampong menyemai nilai dan kepercayaan,
Koperasi syariah menggerakkan roda ekonomi,
Negara melalui qanun fiskal memberi pengakuan dan insentif.
Inilah simfoni Islam dalam ekonomi, dimainkan bukan di pusat kota, tapi di beranda gampong. Bukan dengan jargon, tapi dengan keberanian sistemik.
Gampong sebagai Subjek Peradaban, Bukan Objek Program
Sudah waktunya kita berhenti memandang gampong sebagai objek administrasi atau ladang proyek pembangunan. Gampong harus ditempatkan sebagai subjek peradaban, ruang tempat nilai Islam, ekonomi solidaritas, dan keberdayaan lokal tumbuh bersama.
Aceh tidak harus menunggu Jakarta. Dengan kekhususan syariat, Aceh bisa memulai dari dirinya.
Dari qanun zakat-pajak.
Dari revitalisasi Baitul Mal Gampong.
Dari koperasi syariah sebagai ekosistem partisipatif.
Aceh bisa menjadi laboratorium dunia Islam dalam membangun model fiskal dan sosial yang adil, berakar lokal, dan otentik, jawaban atas kerapuhan sistem pasar global yang gagal mendistribusi dan menyemai keadilan.
Saatnya Bertindak, Bukan Sekadar Mengkaji
Apa yang ditawarkan Aceh bukan wacana akademik semata.
Ini adalah peluang sejarah. Kita punya dasar fikih, punya legitimasi hukum, punya kelembagaan lokal.
Yang belum kita miliki hanyalah kemauan politik dan keberanian eksekusi.
Zakat sebagai pengurang pajak bukan utopia.
Ia adalah keputusan fiskal yang adil dan realistis.
Baitul Mal Gampong bukan ilusi romantis.
Ia bisa menjadi pusat gravitasi keuangan sosial umat.
Koperasi syariah bukan alternatif pinggiran.
Ia adalah masa depan ekonomi berbasis nilai.
Dan semua ini tidak menunggu perubahan besar dari luar.
Ia hanya menunggu keputusan berani dari pemimpin, legislatif, dan pemangku kebijakan fiskal.
Jika peradaban Islam dulu bersinar dari masjid dan pasar, maka Aceh hari ini bisa menyalakan kembali cahaya itu dari gampong, dengan zakat sebagai pelita, koperasi sebagai jalan, dan keadilan sebagai tujuan.
*) PENULIS Dr. Muhammad Nasir adalah dosen Magister Keuangan Islam Terapan Politeknik Negeri Lhokseumawe, dan penulis buku “Manajemen Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf (ZISWAF)”. Aktif dalam Penelitian dan penguatan lembaga keuangan Islam. Pembina Yayasan Generasi Cahaya Peradaban.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
BACA ARTIKEL KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI
Kemudahan Tanpa Tantangan, Jalan Sunyi Menuju Kemunduran Bangsa |
![]() |
---|
Memaknai Kurikulum Cinta dalam Proses Pembelajaran di MTs Harapan Bangsa Aceh Barat |
![]() |
---|
Haul Ke-1 Tu Sop Jeunieb - Warisan Keberanian, Keterbukaan, dan Cinta tak Henti pada Aceh |
![]() |
---|
Bank Syariah Lebih Mahal: Salah Akad atau Salah Praktik? |
![]() |
---|
Ketika Guru Besar Kedokteran Bersatu untuk Indonesia Sehat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.