Kupi Beungoh

Epilog Prabowo–Mualem: Era Baru, Narasi Baru, Harapan Baru - Penutup

Prabowo–Mualem adalah salah satu dari sedikit anomali itu--sebuah pertemuan antara pusat dan pinggiran, antara sejarah dan masa depan

Editor: Zaenal
Kolase Serambinews.com/dok.Partai Aceh
KOLASE FOTO Prabowo - Mualem dan Guru Besar USK Ahmad Humam Hamid. Foto salam komando Presiden RI Prabowo Subianto dengan Muzakir Manaf ini diabadikan ketika Presiden Prabowo menerima audiensi pemenang Pilkada Aceh, pasangan Muzakir Manaf (Mualem)-Fadhlullah (Dek Fadh), di Istana Negara, Jakarta, Senin (9/122024). 

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

TIDAK banyak momentum dalam sejarah daerah yang datang dengan keseimbangan antara legitimasi politik lokal, otoritas nasional, dan harapan rakyat.

Prabowo–Mualem adalah salah satu dari sedikit anomali itu--sebuah pertemuan antara pusat dan pinggiran, antara sejarah dan masa depan, antara kenangan luka dan impian nikmat. 

Selama bertahun-tahun, Aceh berjalan dalam ritme yang terpisah.

Kini, untuk pertama kalinya dalam dua dekade terakhir, ada kemungkinan ritme itu diselaraskan.

Dengan komposisi kekuasaan yang unik, harapan baru muncul ahwa Aceh tidak lagi berjalan sendiri, melainkan berdialog aktif dengan republik secara dewasa dan kadang bahkan setara.

Dalam enam artikel sebelumnya, kita telah menelusuri fondasi narasi Prabowo–Mualem dari berbagai sisi.

Pertama, tentang bagaimana rahmat yang diberikan Tuhan melalui geografi dan sejarah, mesti dijadikan nikmat melalui kerja keras, kebijakan cerdas, dan tata kelola yang baik.

Kedua, kita menegaskan pentingnya otonomi asimetris--bukan sebagai keistimewaan kosong, tetapi sebagai bentuk hubungan yang berlandaskan resiprositas dan pengakuan sejarah.

Kita juga menelisik bagaimana pembangunan mesti dimulai dari fondasi konkret.

Infrastruktur dasar, konektivitas wilayah, layanan dasar, hingga ekonomi berbasis sumber daya dan keunggulan lokal.

Kita bicara tentang Sabang dan peluang transshipment global.

Tentang Sumitronomics--sebuah tawaran geopolitik dan geostrategis untuk menjadikan Aceh sebagai gerbang ekonomi pulau besar yang selama ini tertinggal narasinya.

Kita menyinggung peluang energi baru dari Blok Andaman, dan masa depan hijau yang menanti jika Leuser dijadikan poros pembangunan berkelanjutan di wilayah tengah Aceh.

Namun, semua itu hanya akan menjadi retorika jika tidak ditopang oleh tiga prasyarat fundamental yang selama ini menjadi kelemahan kronis Aceh.

Ketiga hal itu, kecerdikan dan kecerdasan politik, kekuatan administratif, dan kehebatan teknokratis.

Kecerdikan dan Kecerdasan

Kecerdikan dan kecerdasan politik Mualem adalah prasyarat pertama.

Ia harus mampu membaca tanda zaman, menjembatani sejarah dan masa depan, mengelola aspirasi lokal tanpa menjauh dari irama nasional.

Aceh butuh pemimpin yang bukan hanya representatif secara emosional, tetapi juga tangkas secara strategis.

Politik bukan hanya soal keberanian, tetapi juga soal kejelian membaca momentum dan kemampuan membangun aliansi, baik di dalam maupun di luar.

Administrasi dan Birokrasi

Kedua, Aceh memerlukan administrasi dan birokrasi yang kuat dan sehat.

Tanpa mesin pemerintahan yang efisien, bersih, dan responsif, gagasan sebesar apa pun akan terbenam dalam lumpur inefisiensi dan korupsi.

Salah satu tantangan terbesar Aceh pasca-otonomi adalah kegagalan mentransformasikan kekuasaan lokal menjadi birokrasi modern.

Maka Mualem harus menjadikan reformasi birokrasi sebagai prioritas mutlak.

Ia harus sangat jelas, mulai  dari rekrutmen yang transparan, penguatan sistem merit, hingga penciptaan budaya kerja berbasis pelayanan dan kinerja.

Teknokrasi yang Handal

Ketiga, hadirnya teknokrasi yang handal adalah keniscayaan.

Aceh tak bisa lagi bergantung pada opini dan intuisi belaka.

Dalam dunia yang semakin kompleks, keputusan publik harus berbasis data, riset, dan logika kebijakan yang terukur.

Ini artinya, Mualem harus menghidupkan kembali kapasitas perencanaan daerah, memperkuat lembaga teknis, dan menjadikan kampus serta lembaga riset sebagai mitra pembangunan, bukan sekadar asesoris formalitas.

Tanpa ketiga hal ini, bahkan dengan aliran dana besar sekalipun, Aceh akan tetap terjebak dalam pusaran ketimpangan dan ketertinggalan.

Otonomi akan terus menjadi romantisme administratif.

Bangga karena “milik sendiri” tapi gagal karena tak mampu mengelola.

Tapi mari kita melangkah lebih jauh.

Di tengah transformasi ini, kita perlu menyelami satu gagasan yang lebih dalam--yakni geografi kebangsaan.

Sebuah ide yang mencoba mensintesis dua cara pandang lama dalam hubungan pusat-daerah- geografi kekuasaan dan geografi kepemilikan.

Geografi kekuasaan adalah cara pusat memandang daerah sebagai wilayah yang harus dijaga kestabilannya, dikendalikan otoritasnya.

Geografi kepemilikan adalah cara rakyat daerah memandang tanahnya sebagai warisan leluhur, sumber hidup, dan basis identitas.

Keduanya kerap bertabrakan, terutama ketika kebijakan dan pembangunan dipaksakan tanpa mendengar aspirasi lokal.

Tapi Prabowo–Mualem bisa menjembatani keduanya.

Mereka, terutama Mualem harus menjadikan Aceh bukan sebagai objek kontrol, tapi sebagai subjek pembangunan.

Semangat Geografi Kebangsaan

Inilah semangat geografi kebangsaan—bahwa republik ini dibangun bukan atas dasar dominasi, tetapi atas dasar pengakuan dan dihargai yang nyaris menuju kesetaraan.

Setiap daerah berhak untuk tumbuh sesuai karakternya, tanpa harus kehilangan loyalitas pada republik.

Prabowo, sebagai presiden, punya kekuatan untuk mendorong paradigma ini.

Mualem, sebagai gubernur, punya peluang untuk membuktikan bahwa otonomi bisa sejalan dengan integrasi nasional.

Dari Sabang hingga Singkil, dari pantai barat hingga dataran tinggi tengah, narasi ini bisa dijalankan dengan nyata.

Pembangunan yang berakar pada potensi, berlandas pada partisipasi, dan berorientasi pada keberlanjutan.

Maka wilayah tengah Aceh bukan hanya tentang konservasi Leuser, tetapi juga tentang ekoturisme, agroforestri, dan pertanian organik yang menghidupi rakyat tanpa merusak tanah.

Kita butuh model pembangunan yang menjadikan masyarakat sebagai aktor utama.

Konservasi Leuser, misalnya, harus berbasis komunitas.

Kita bisa mengembangkan skema pembayaran jasa lingkungan, memberi insentif kepada petani dan warga yang menjaga hutan.

Kita bisa melibatkan dunia internasional sebagai mitra sejajar—bukan sebagai donor, tetapi sebagai kolaborator.

Begitu juga di Sabang dan sekitarnya.

Kawasan ini bisa dijadikan pusat logistik dan pelabuhan internasional jika didukung infrastruktur dan deregulasi.

Di wilayah timur dan utara Aceh, integrasi ke dalam jaringan perdagangan Sumatera dan Selat Malaka menjadi kunci.

Dan Blok Andaman--dengan segala peluang gasnya--harus dikelola secara berdaulat, transparan, dan menguntungkan rakyat.

Namun pada akhirnya, semua ini kembali ke satu hal-keberanian.

Keberanian untuk keluar dari zona nyaman sejarah, keberanian untuk meninggalkan logika pembagian kue, dan masuk ke logika penciptaan nilai.

Maka kepada Jakarta, kita katakan: Jangan hanya menatap Aceh sebagai halaman terakhir dalam buku republik.

Lihatlah Aceh sebagai prolog baru.

Dan kepada Aceh sendiri, kita ajak: Berhentilah menangisi masa lalu, karena masa depan sedang mengetuk.

Kita tidak bisa selamanya hidup dalam bayang-bayang konflik atau bersembunyi di balik status khusus dan istimewa.

Waktunya menjadikan istimewa itu nyata--bukan dalam jargon, tapi dalam kualitas hidup rakyat.

Dan Prabowo–Mualem bukan hanya punya peluang, tapi juga tanggung jawab.

Di tangan mereka, sejarah tidak hanya ditafsirkan kembali, tapi ditulis ulang.

Jika mereka berhasil, maka generasi masa depan akan mengenang masa ini bukan sebagai kelanjutan konflik, tetapi sebagai titik balik kebangkitan.

Membangun Aceh bukan hanya membangun propinsi—ini adalah upaya untuk menulis ulang cara kita memaknai republik. Ini adalah panggilan moral sekaligus agenda politik. Di tangan Prabowo–Mualem, pintu itu terbuka.

Namun pintu yang terbuka tidak menjamin perjalanan akan berhasil.

Yang menentukan adalah siapa yang berani melangkah ke dalamnya.

Apakah kita akan menjadi penonton sejarah?

Ataukah kita, dengan segala keberanian dan keterbatasan, justru menjadi penulisnya?

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

BACA ARTIKEL KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved