Jurnalisme Warga

Mencari Pengertian Hukum, Sebuah Upaya yang Tak Pernah Final

Perbincangan tentang permasalahan negara yang sedang kita alami saa ini selalu dikaitkan dengan hukum, sehingga timbul satu pertanyaan

Editor: mufti
IST
M. ZUBAIR, S.H., M.H., Kepala Dinas Komunikasi, Informatika, dan Persandian Kabupaten Bireuen, melaporkan dari Bireuen 

M. ZUBAIR, S.H., M.H., Kepala Dinas Komunikasi, Informatika, dan Persandian Kabupaten Bireuen, melaporkan dari Bireuen

Jumat lalu, sebelum masuk ke ruang kerja, sebagian personalia Dinas Komunikasi, Informatika, dan Persandian (Diskominsa) Bireuen, termasuk saya, duduk rehat sejenak pada kursi-kursi di samping kanan tangga lantai dua kantor tersebut.

Saat rileks sekejap itulah, sambil berkelakar, mencuat diskusi ringan tentang bermacam hal yang menjadi ‘trending topic’ berita di berbagai media saat ini. Diskusi ringan itu dimaksudkan untuk menambah wawasan dan lebih memahami berbagai macam permasalahan yang sedang menyelimuti penyelenggaraan negara kita.

Perbincangan tentang permasalahan negara yang sedang kita alami saa ini selalu dikaitkan dengan hukum, sehingga timbul satu pertanyaan dari salah seorang pegawai kepada saya, “Pak, Bapak kan sarjana hukum. Mungkin Bapak bisa jelaskan kenapa tidak ada satu pengertian hukum yang pasti untuk menjadi pegangan kita?”

Pertanyaan ini menarik bagi saya karena ada juga pegawai Diskominsa Bireuen yang peka dan mungkin hobi membaca buku-buku tentang hukum, mengingat berbagai masalah yang sedang membalut negara saat ini pada umumnya terkait dengan hukum.

Diskusi ringan pagi itu, khusus menyangkut pertanyaan tentang pengertian hukum yang baku, menjdi perhatian saya untuk mereportasekannya dalam tulisan ini karena bisa menjadi pengetahuan kita bersama. Menjawab pertanyaan staf Diskominsa tadi saya mulai dengan balik bertanya, ”Bagaimana pengertian hukum yang Anda pahami?”

Staf itu menjawab, “Hukum adalah peraturan-peraturan yang mengikat dan ada sanksinya, serta dijalankan oleh penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim”.

Lalu kembali saya sambung, “Jawaban Bapak memang ada benarnya, tapi bagaimana dengan pengertian hukum alam dan hukum adat bila dikaitkan dengan pengertian tersebut?”

Pertanyaan saya itu membuat semua peserta diskusi tercengang karena mereka memahami pengertian hukum alam dan hukum adat tidak bisa diartikan peraturan-peraturan yang mengikat dan dijalankan oleh penegak hukum. Hukum bukan sekedar seperangkat aturan tertulis yang dibuat oleh negara karena hukum juga merupakan institusi sosial, sistem nilai, struktur kekuasaan, bahkan ekspresi moral masyarakat. Setiap pendekatan terhadap hukum akan melahirkan definisi yang berbeda.

Saya mencontohkan beberapa pendekatan, seperti pendekatan normatif, yang dianut oleh Hans Kelsen dalam teori hukum murninya, “Law is a system of norms.” Dalam pendekatan ini Kelsen melihat hukum sebagai norma yang mengatur perilaku manusia.

Menurut  Kelsen, hukum adalah  suatu sistem norma yang tersruktur secara hierarkis, otonom, dan bebas dari pengaruh nilai-nilai eksternal. Hukum dipandang sebagai sistem norma yang menekan aspek “seharusnya” atau “das sollen”, dengan norma-norma sebagai produk deliberatif manusia.

Lain lagi pandangan dengan pendekatan sosiologis yang dianut Eugen Ehrlich. Menurutnya,” hukum hidup” sebenarnya terletak pada norma-norma yang hidup dan berkembang di masyarakat, bukan pada teks hukum resmi.

Selanjutnya, pandangan dengan menggunakan pendekatan filosofis yang dianut beberapa ahli masa dahulu, seperti Plato, Aritoteles, dan Jhon Rawls yang melihat hukum dalam konteks keadilan, moralitas, dan kebaikan bersama.

Nah, lain lagi pandangan tentang hukum dengan menggunakan pendekatan realis, yang dikemukamakan Oliver Wendell Holmes Jr. Ia menekankan bahwa hukum pada akhirnya adalah apa yang diputuskan oleh hakim di pengadilan, bukan apa yang tertulis di dalam buku.

Perbedaan pendekatan itu menggambarkan bahwa hukum memiliki wajah yang banyak (multifaceted) dan tidak dapat direduksi menjadi satu definisi tunggal seperti cabang-canag ilmu lain.

Perbedaan tersebut telah ada dari masa ke masa karena pemikiran hukum terus berkembang mengikuti konteks sosial, politik, dan kebuadayaan suatu era. Era dimaksud dimulai dari era Yunani kuno, dilanjutkan ke masa Romawi, abad pertengahan, dan selanjutnya abad ke-20.

Setelah saya jelaskan demikian, bertambah bingunglah teman-teman dalam forum diskusi kecil kami tadi sehingga muncul celutukan dari seorang  peserta lainnya, “Memang ribet hukum ini, makanya negara jadi seperti ini.” Hahaha, saya pun tertawa dan menyambung dengan pernyataan, “Yang sebenarnya tidak ribet, tetapi dibuat ribet oleh orang-orang yang mengerti hukum juga.” Tertawa besama pun pecah sampai membuat pegawai lainnya yang tidak ikut jadi bertanya-tanya ada apa, kenapa sampai tertawa ngakak semua.

Untuk melepas ketegangan pada diskusi mini itu, saya pun menyimpulkan agar semuanya tidak usah memikirkan pengertian yang bermacam-macam tersebut. Namun, untuk menjadi pegangan ingat saja hukum positif yang dapat dpahami sebagai kumpulan aturan-aturan yang dibuat dan ditegakkan oleh pemerintah atau lemabga resmi untuk mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat.

Adapun tujuannya, untuk menjaga ketertiban, keamanan, dan keadilan,  serta berfungsi sebagai pedoman dalam bertindak dan menyelesaikan masalah, baik individu maupun organisasi.

Setelah saya jelaskan demikian tampak ada kelegaan di wajah-wajah tak berdosa peserta poh cakra (kelakar) itu, tetapi bermakna serius di pagi penuh berkah tersebut karena ada terbesit kata-kata, “Terima kasih Pak, karena Bapak telah membekali kami sedikit pengetahuan tentang hukum.”

Merekapun hendak segera bubar, tetapi saya tahan sejenak lagi dan saya katakana, “Jangan bergerak dulu, kita ngopi dulu di sini”. Saya nyatakan demikian agar mereka tidak keluar untuk ngopi di warung kopi pada jam kerja dan lalu saya rogoh kantong celana dan mengeluarkan uang secukupnya sembari meminta seorang petugas ‘cleaning service’ untuk membeli kopi.

Sambil menunggu tibanya kopi ke meja bundar di depan kami duduk, saya lanjutkan penjelasan bahwa ada beberapa alasan lainnya mengapa definisi hukum tidak pernah final dibahas. Hal itu dikarenakan konsepnya yang abstrak dan kompleks di mana hukum tidak bisa dipahami dari satu dimensi saja.

Selain itu, karena konteks historis dan kulturalnya berbeda-beda serta hukum tersebut harus mengikuti perkembangan zaman akibat berkembang teknologi dan pengetahuan manusia. Ditambah lagi dengan terus adanya pertarungan politik di mana hukum bukan hanya alat keadilan, melainkan juga sarana pertarungan kekuasaan.

Dengan demikian, mencari pengertian hukum adalah seperti berjalan dalam labirin yang setiap simpang jalannya membawa kita pada perspektif baru yang tidak jarang menggugurkan pengertian lama. Ini menjadi bagian dari dinamika ilmu hukum dan kehidupan sosial itu sendiri. Upaya mendefinisi hukum tidak pernah final karena hukum adalah cermin dari masyarakat yang tidak pernah diam dan terus berubah bersama zaman.

Oleh sebab itu, kita tidak seharusnya berambisi untuk merumuskan satu definisi hukum yang final, tetapi yang perlu kita sadari bahwa setiap definisi hanyalah upaya parsial untuk memahami sesuatu yang terus bergerak. Justru di stulah letak esensi hukum sesungguhnya bahwa ia hidup dan tidak pernah selesai didefinisikan.

Kopi pun tiba dan kami menikmati bersama dengan saling tertawa karena ribetnya memhami pengertian hukum yang sesungguhnya. Bahkan, ada pegawai Diskominsa yang menyatakan mau kuliah di Fakultas Hukum Uniki saja, salah satu perguruan tinggi terdekat dengan kantor kami, agar ia bisa menjawab permasalahan hukum.

Selesai ngopi, kami pun bubar, masuk ke ruang kerja masing-masing. Tugas dari negara hukum sudah menunggu.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved