Pojok Humam Hamid

Serial MSAKA21: Membaca Sejarah Aceh dengan Kacamata Abad ke-21 – Bagian 1

Tulisan yang berpenampilan serial ini saya beri judul “Membaca Sejarah Aceh dengan Kacamata Abad ke-21”, selanjutnya disingkat MSAKA21.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Di balik mahkota ada pengasingan, pemberontakan, dan suara-suara yang dipaksa diam. 

Di situlah sejarah Aceh sejatinya hidup, dalam ketegangan, bukan ketentraman.

Dari Narasi Kolonial Hingga Pemodal yang Menjadi Korban

Ketika kolonialisme datang, Aceh tidak hanya melawan dengan senjata. 

Ia melawan dengan doa, dengan hikayat, dengan sistem ekonomi lokal yang coba bertahan di antara peluru dan propaganda. 

Tapi kolonialisme yang paling licik adalah yang berhasil menuliskan sejarah musuhnya dengan narasinya sendiri. 

Maka Aceh pun diperas ke dalam babak “perlawanan” dan “darah”, seolah seluruh sejarah Aceh adalah soal mengangkat rencong dan tombak. 

Padahal, Aceh pernah menjadi tempat lahirnya perdebatan hukum Islam, pemikiran ekonomi wakaf, dan gerakan pendidikan perempuan. 

Semua itu hilang dalam narasi yang lebih senang melihat Aceh sebagai daerah “keras kepala” daripada “berkepala tajam.”

Lalu datanglah kemerdekaan dan nasionalisme. 

Aceh kembali menjadi catatan kaki, lalu berubah menjadi tajuk utama. 

Dari pemodal menjadi korban,  lalu menjadi pemberontak, namun kemudian berdamai.

Tak lama kemudian “gaduh” itu tampil lagi. 

Kemudian  ia bergerak dari wilayah darurat menjadi laboratorium damai. 

MoU Helsinki 2005 bukan hanya sekedar perjanjian damai. 

Ia adalah jeda sejarah. 

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved