Pojok Humam Hamid
Serial MSAKA21: Membaca Sejarah Aceh dengan Kacamata Abad ke-21 – Bagian 1
Tulisan yang berpenampilan serial ini saya beri judul “Membaca Sejarah Aceh dengan Kacamata Abad ke-21”, selanjutnya disingkat MSAKA21.
Di balik mahkota ada pengasingan, pemberontakan, dan suara-suara yang dipaksa diam.
Di situlah sejarah Aceh sejatinya hidup, dalam ketegangan, bukan ketentraman.
Dari Narasi Kolonial Hingga Pemodal yang Menjadi Korban
Ketika kolonialisme datang, Aceh tidak hanya melawan dengan senjata.
Ia melawan dengan doa, dengan hikayat, dengan sistem ekonomi lokal yang coba bertahan di antara peluru dan propaganda.
Tapi kolonialisme yang paling licik adalah yang berhasil menuliskan sejarah musuhnya dengan narasinya sendiri.
Maka Aceh pun diperas ke dalam babak “perlawanan” dan “darah”, seolah seluruh sejarah Aceh adalah soal mengangkat rencong dan tombak.
Padahal, Aceh pernah menjadi tempat lahirnya perdebatan hukum Islam, pemikiran ekonomi wakaf, dan gerakan pendidikan perempuan.
Semua itu hilang dalam narasi yang lebih senang melihat Aceh sebagai daerah “keras kepala” daripada “berkepala tajam.”
Lalu datanglah kemerdekaan dan nasionalisme.
Aceh kembali menjadi catatan kaki, lalu berubah menjadi tajuk utama.
Dari pemodal menjadi korban, lalu menjadi pemberontak, namun kemudian berdamai.
Tak lama kemudian “gaduh” itu tampil lagi.
Kemudian ia bergerak dari wilayah darurat menjadi laboratorium damai.
MoU Helsinki 2005 bukan hanya sekedar perjanjian damai.
Ia adalah jeda sejarah.
Bagaimana Sejarah Akan Menulis 18 Tahun Otsus Aceh |
![]() |
---|
Palestina: Flagelasi Barat dan Narasi Yang” Dipaksa” Berobah |
![]() |
---|
MSAKA21: Loyang Mandale dan Manusia Pertama Aceh – Bagian III |
![]() |
---|
Mampukah Mualem Melanjutkan Momentum Penurunan Kemiskinan Aceh? |
![]() |
---|
Zohran Mamdani dan Anies Baswedan: Apa Beda Queens dan Kampung Bayam? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.