Kupi Beungoh
Antara Janji dan Kenyataan Era Prabowo terhadap Ketahanan Pangan Laut
Kendati demikian, data pemerintah menunjukkan konsumsi ikan per kapita Indonesia tahun 2023 hanya 58,48 kg, belum memenuhi target 60 kg.
*) Oleh: Prof. Dr. Ir. Muhammad Irham, S.Si, M.Si.
PEMERINTAH Indonesia menegaskan komitmen memperkuat ketahanan pangan laut melalui konsep “pangan biru” dalam berbagai kebijakan dan kegiatan.
Misalnya, panel diskusi KKP bertema Pangan Biru untuk Swasembada Pangan menegaskan dukungan terhadap visi kemandirian nasional yang menempatkan sektor kelautan sebagai tulang punggung ketahanan pangan.
Pendekatan ini sejalan dengan Asta Cita pemerintahan Presiden Prabowo yang mencakup swasembada pangan berbasis produksi laut.
Namun, pertanyaan krusial muncul: sudahkah janji-janji besar itu diterjemahkan dalam program konkret yang dirasakan para nelayan kecil di pesisir?
Dengan wilayah laut terluas di dunia dan lebih dari dua juta nelayan skala kecil sebagai penopang utama produksi perikanan, laut Indonesia sejatinya mampu menopang ketahanan pangan nasional.
Nelayan-nelayan tradisional bahkan menyumbang lebih dari 80 persen tangkapan nasional.
Kendati demikian, data pemerintah menunjukkan konsumsi ikan per kapita Indonesia tahun 2023 hanya 58,48 kg, belum memenuhi target 60 kg.
Realitas ini menandai tantangan serius: meski sumber daya ikan melimpah, distribusi dan akses pangan laut bagi masyarakat masih belum optimal.
Kondisi Ketahanan Pangan Laut Saat Ini
Banyak pihak mengingatkan bahwa kondisi laut Indonesia menghadapi tantangan serius.
KKP menekankan pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan sangat penting bagi ketahanan pangan, tetapi perubahan iklim dan eksploitasi berlebihan kerap mengancam stok ikan.
Di lapangan, hampir 90 % armada perikanan Indonesia adalah kapal skala kecil di bawah 30 GT, menandakan modal dan teknologi yang terbatas.
Menteri Trenggono bahkan mengakui, “perikanan Alhamdulillah sudah surplus tapi kita belum hebat”, menggambarkan bahwa output tangkapan tinggi belum diimbangi produktivitas dan distribusi yang memadai.
Sementara itu, fenomena cuaca ekstrem dan pemanasan laut akibat perubahan iklim menambah kesulitan nelayan.
Dalam situasi ini, masih diperlukan penerapan kebijakan berbasis data dan penelitian ilmiah untuk menjaga pasokan ikan jangka panjang.
Untuk menghadapi berbagai tantangan dalam pengelolaan sumber daya laut dan memperkuat ketahanan pangan nasional, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) secara intensif mengimplementasikan program ekonomi biru yang menjadi salah satu agenda strategis nasional.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, menjelaskan bahwa program ini dilandasi oleh lima pilar kebijakan utama, yakni: perluasan kawasan konservasi laut guna menjaga keberlanjutan ekosistem; penerapan sistem penangkapan ikan terukur berbasis kuota untuk mengendalikan eksploitasi sumber daya;
pengembangan budidaya laut, pesisir, dan darat secara berkelanjutan sebagai sumber alternatif pangan dan ekonomi; pengelolaan serta pengawasan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan;
serta penanganan sampah plastik di laut melalui inisiatif Gerakan Bulan Cinta Laut yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Serangkaian kebijakan ini dimaksudkan untuk menjaga ekosistem laut sekaligus meningkatkan ketahanan pangan berbasis laut.
Selain itu, KKP menyiapkan Peta Jalan Neraca Sumber Daya Laut (NSDL) untuk mengintegrasikan data laut ke dalam perencanaan kebijakan nasional.
Program-program seperti ekonomi biru dan NSDL menunjukkan bahwa pemerintah berusaha memadukan konservasi, produksi, dan data dalam strategi pangan laut.
Pemerintah terus menunjukkan komitmennya dalam memperkuat ketahanan pangan laut melalui peluncuran berbagai program konkret di sektor kelautan dan perikanan.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, mengungkapkan sejumlah proyek strategis yang tengah diperkuat, antara lain pembangunan tambak udang modern seluas 2.000 hektare di Waingapu sebagai upaya meningkatkan produksi udang nasional, pengembangan budidaya tuna di wilayah Papua yang memiliki potensi perairan luas dan subur, serta hilirisasi rumput laut guna menambah nilai ekonomi hasil tangkapan laut.
Selain itu, pemerintah juga mendorong peningkatan mutu hasil perikanan tangkap agar mampu bersaing di pasar global, serta melakukan penataan kawasan konservasi laut secara lebih terstruktur demi menjaga keberlanjutan sumber daya hayati perairan Indonesia.
Rangkaian program tersebut dirancang untuk mendorong produktivitas sektor perikanan sambil menjaga kelestarian sumber daya laut.
Dalam awal pemerintahan ini, sejumlah program yang sudah berjalan (misalnya penangkapan terukur dan budidaya di masa lalu) akan diperkuat dengan inisiatif baru di atas.
Selain program pemerintah, kemitraan internasional turut diperkuat. Pada Juni 2025 KKP, didukung Jepang dan UNDP, meluncurkan inisiatif seaBLUE bertujuan memperkuat ketahanan pangan laut dengan memberdayakan nelayan skala kecil.
Program seaBLUE mencakup pendampingan bagi ribuan nelayan di wilayah timur Indonesia (seperti Morotai dan Tanimbar), dengan penyediaan teknologi ramah iklim (kapal listrik, cold storage energi surya), diversifikasi usaha tangkap dan pasca tangkap, hingga integrasi data melalui sistem Kartu Usaha Kelautan dan Perikanan (KUSUKA).
Inisiatif ini merupakan bagian dari Peta Jalan Ekonomi Biru Indonesia 2023–2045 dan secara eksplisit mendukung visi Presiden Prabowo menjadikan sektor kelautan motor pertumbuhan desa dan ketahanan pangan yang inklusif.
Apa Kabar Visi dan Misi Presiden Prabowo
Presiden Prabowo Subianto secara eksplisit menempatkan swasembada pangan sebagai prioritas utama pemerintahannya.
Dalam Visi-Misi 2024–2029 (Asta Cita), tercantum tekad “mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan” dengan dukungan ekonomi biru.
Pemerintah bahkan mengangkat istilah pangan biru (makanan dari laut) sebagai bagian strategi mencapai kedaulatan pangan.
Berdasarkan visi itu, ketersediaan protein laut nasional harus dipacu lewat perikanan budidaya laut, pesisir, dan laut dalam, diiringi pemberdayaan masyarakat pesisir agar ekosistem kewirausahaan tumbuh.
Misi ini selaras dengan janji infrastruktur di laut, misalnya tanggul laut Pantura agar faktor eksternal (banjir rob, iklim) tak mengganggu pasokan pangan wilayah utara Jawa.
Wajah nelayan tradisional yang berjibaku di laut pada pagi hari menyimbolkan besarnya beban di lapangan.
Infrastruktur terpencil, modal terbatas, dan regulasi yang masih kompleks membuat banyak nelayan kecil sulit meningkatkan produktivitas.
Satu kajian mencatat sekitar 90 % armada perikanan Indonesia adalah kapal di bawah 30 GT, mengindikasikan masih banyak kapal tradisional tanpa teknologi canggih.
Beberapa pengamat menyoroti perlunya penyederhanaan regulasi dan akses pembiayaan agar kapal nelayan bisa melaju cepat dan hasilnya benar-benar mengisi dapur-rumah tangga.
Jika pemberdayaan nelayan dan pemanfaatan sumber laut tidak dijalankan secara konsisten dari desa ke nasional, janji swasembada pangan laut bisa jadi hanya mimpi retoris.
Pada akhirnya, refleksi atas realita dan janji kebijakan menunjukkan dua hal utama. Pertama, koherensi antara program nasional (ekonomi biru, NSDL, SeaBLUE) dengan kebutuhan lokal nelayan harus diperkuat.
Kedua, pemantauan dan pengawasan harus memastikan bahwa manfaat program menyentuh nelayan kecil dan masyarakat pesisir, jangan sampai hanya tercantum di dokumen Visi-Misi.
Dengan mengimplementasikan langkah konkret dan melibatkan masyarakat sejak tahap perencanaan, Indonesia dapat mengubah lautnya menjadi sumber ketahanan pangan tangguh.
Hingga kini, tugas pemerintah adalah membuktikan bahwa laut Indonesia mampu menjadi kekuatan pangan nasional sesuai janji astacita swasembada.
*) PENULIS adalah Guru Bear pada Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.