Sejarah Aceh

Sejarah Aceh Hari Ini: 26 Tahun Pembantaian Tgk Bantaqiah di Beutong Ateuh: Luka yang Tak Sembuh

Pembantaian terhadap ulama karismatik Tgk Bantaqiah dan puluhan santrinya oleh aparat, meninggalkan jejak luka yang pernah sembuh.

|
Penulis: Agus Ramadhan | Editor: Yeni Hardika
KOLASE SERAMBINEWS.COM
Pembantaian Tgk Bantaqiah di Beutoh Ateuh, Nagan Raya. Pada hari ini 23 Juli 2025, tepat 26 tahun silam, sebuah tragedi kemanusiaan yang kelam terjadi di kawasan Beutong Ateuh. Pembantaian terhadap ulama karismatik Tgk Bantaqiah dan puluhan santrinya oleh aparat militer, meninggalkan jejak luka yang belum pernah benar-benar sembuh hingga kini. 

Sejarah Aceh Hari Ini: 26 Tahun Pembantaian Tgk Bantaqiah di Beutong Ateuh: Luka yang Tak Pernah Sembuh

SERAMBINEWS.COM - Tanggal 23 Juli menjadi hari yang sulit dilupakan bagi masyarakat Aceh, khususnya warga Beutong Ateuh, Nagan Raya

Pada hari ini 23 Juli 2025, tepat 26 tahun silam, sebuah tragedi kemanusiaan yang kelam terjadi di kawasan Beutong Ateuh.

Pembantaian terhadap ulama karismatik Tgk Bantaqiah dan puluhan santrinya oleh aparat militer, meninggalkan jejak luka yang belum pernah benar-benar sembuh hingga kini.

Peristiwa memilukan itu terjadi pada 23 Juli 1999, ketika pasukan TNI menyerbu pesantren milik Tgk Bantaqiah.

Aparat TNI menuduh Tgk Bantaqiah menyimpan senjata untuk mendukung Gerakan Aceh Merdeka (GAM). 

Tanpa proses hukum yang jelas, kekerasan terjadi secara brutal. 

Dalam hitungan menit, suara takbir para santri tergantikan oleh rentetan tembakan. 

Sebanyak 56 nyawa melayang, puluhan lainnya luka, dan belasan orang tak pernah ditemukan.

Baca juga: Teungku Bantaqiah dalam Kenangan yang Pahit

Bagaimana Peristiwa Kelam Itu Terjadi?

Dalam catatan redaksi Serambinews.com, kejadian bermula pada Siang hari Jumat, 23 Juli 1999.

Hari di mana peristiwa berdarah yang membuat warga setempat trauma panjang, sampai harus mengungsikan diri.

Pesantren Babul Al Nurillah di Desa Blang Meurandeh, Kecamatan Beutong Ateuh didatangi 215 personel TNI.

Personel tersebut berada di bawah kendali operasi (BKO) Korem 011/Lilawangsa terdiri dari pasukan Yonif 131 dan Yonif 133, didukung satu peleton pasukan Batalyon 328 Kostrad.

Hari ini tepat 24 tahun Tgk Bantaqiah dalam kenangan, ulama kharismatik itu ditembak secara brutal bersama puluhan santrinya.
Hari ini tepat 26 tahun Tgk Bantaqiah dalam kenangan, ulama kharismatik itu ditembak secara brutal bersama puluhan santrinya. (Arsip Serambi Indonesia)

Mereka menembak Tgk Bantaqiah, Usman Bantaqiah (anak) dan 54 santrinya secara brutal hingga meninggal dunia.

Tgk Bantaqiah dituding melindungi sekaligus membantu menyimpan alat logistik persenjataan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Meski demikian, anggapan tersebut tidak pernah terbukti hingga sekarang, sejumlah pihak mendesak agar pemerintah mengakui peristiwa ini sebagai pelanggaran HAM Berat.

Dikutip dari Arsip Serambi Indonesia edisi Juli 1999, saat itu warga yang berkumpul di halaman rumah Tgk Bantaqiah diberondong senjata setelah lebih dulu diperintah tiarap oleh aparat.

Saksi mata yang selamat dalam tragedi penyerangan di Kemukiman Beutong Ateuh, Jumat itu menyatakan, semua personel sulit dikenali karena mukanya bercat hitam.

Akibat "siraman" peluru itu, sekitar 30-an korban yang merupakan santri Tgk Bantaqiah berjatuhan bersimbah darah.

Sementara sebagian lainnya mengalami luka tembak dinaikkan ke dalam truk militer, mereka ditangkap, dihilangkan dan dihabisi di tempat lain.

Belakangan diketahui jumlah korban meninggal mencapai 56 orang, termasuk Tgk Bantaqiah dan anaknya, Usman Bantaqiah serta para santri setempat.

Seperti diungkap dalam “The Practice of Torture in Aceh and Papua, 1998-2007’ (2008), kasus ini kemudian diselesaikan lewat jalan yang sebenarnya sangat politis, yaitu melalui pengadilan koneksitas pada tahun 2000. 

Peradilan ini dibentuk untuk mengadili tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama oleh sipil dan militer, padahal kasus ini seharusnya diselesaikan dengan cara yang adil, dikutip dalam catatan KonstaS.org.

Persidangan ini menghadirkan 25 terdakwa dengan 3 perwira di dalamnya: Kapten Anton Yuliantoro, Letnan Dua Maychel Asmi dan Letnan Dua Trijoko Adiwiyono. 

Selebihnya berpangkat bintara dan tamtama serta seorang warga sipil. 

Meski demikian, terdapat satu orang terdakwa yang tidak dihadirkan ke pengadilan dan tidak diketahui keberadaannya, yaitu Letnan Kolonel Sudjono yang saat itu merupakan Kepala Seksi Intel Korem 011/Lilawangsa. 

Proses hukum yang dilakukan melalui Peradilan Koneksitas, alih-alih melalui Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), dinilai tidak mampu memberikan keadilan yang substantif dan menyeluruh kepada korban, terutama karena menjadikan kasus ini dianggap sebagai kejahatan pidana biasa bukan sebuah pelanggaran HAM. 

Trauma dan perasaan kecewa juga masih melekat pada keluarga korban, sebab pemerintah tidak pernah melakukan upaya pemulihan kepada keluarga korban.

Mekanisme pengadilan ini juga tidak sama sekali memenuhi standar-standar penyelesaian kasus yang berkeadilan untuk korban dan juga penghukuman terhadap pelaku. 

Termasuk masih belum terpenuhinya rehabilitasi, restitusi dan kompensasi serta ketiadaan penghormatan terhadap pengalaman traumatis korban dan juga pengungkapan kebenaran terhadap peristiwa tersebut. 

Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil pada 2024 mendesak pemerintah Indonesia untuk memberikan pemulihan kepada korban dan keluarga korban dari peristiwa pembantaian Teungku Bantaqiah.

Tgk Bantaqiah Jadi Kenangan Paling Memorable Andika Perkasa

Tgk Bantaqiah tak berdaya dihabisi aparat, jadi kenangan paling memorable eks Panglima TNI Jenderal (Purn) Andika Perkasa.

Hal itu diceritakannya saat mengenang penugasan masa konflik di Aceh, Andika kebetulan pernah ditugaskan mendatangi langsung tempat Tgk Bantaqiah bersama santrinya.

Waktu itu, Andika bersama tim berjumlah sembilan orang datang ke tempat Tgk Bantaqiah sebagai bagian operasi.

Sebab Tgk Bantaqiah dicurigai melindungi sekaligus membantu menyimpan alat logistik persenjataan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Sebagai anggota yang pernah beroperasi di Aceh dan ditugaskan langsung ke tempat Tgk Bantaqiah, informasi yang didapatnya sangat bertentangan dengan kenyataan yang ada.

Eks Panglima TNI itu menyebutkan, pembantaian Tgk Bantaqiah merupakan kenangan paling memorable sewaktu beroperasi di Aceh.

"Timtim kita tiga kali, tapi menurut saya yang paling memorable ya yang di Aceh ini," ungkap Andika dikutip dari YouTube CNN Indonesia, Selasa (11/7/2023).

Bertugas selama 1 tahun 3 bulan di Aceh, ia bercerita waktu itu yang dinyatakan sebagai daerah operasi hanya Aceh Timur, Aceh Utara dan Pidie.

"Jadi, Aceh Besar saja nggak, Banda Aceh itu nggak, apalagi Aceh Barat, Aceh Tengah, itu nggak mas," ungkap Andika.

Meski demikian, dirinya sempat bertanya-tanya kenapa ditugaskan beroperasi di Aceh Barat (kini Nagan Raya), tempat Tgk Bantaqiah dan para santrinya berada.

"Intelijen saya mengatakan, kok mereka ada di luar daerah operasi, tapi intelijen informasi yang saya dapat kok menunjukkan atau mengantar saya ke daerah yang bukan daerah operasi," ungkap Andika membatin kala itu.

Meski demikian, eks Panglima TNI memutuskan untuk tetap pergi karena perintah operasi.

Waktu itu Andika pergi hanya satu tim yang terdiri dari sembilan orang ke Aceh Barat yang waktu bukan daerah operasi.

Setelah berjalan ke arah gunung dan jalan setapak selama dua hari, tim tersebut kemudian sampai ke sebuah perkampungan di tengah hutan yang berdekatan dengan sungai.

"Informasi saya mengatakan orang itu ada teungku, Tgk Bantaqiah namanya. Rupanya orang ini difabel, terlahir dengan kondisi fisik yang tidak sempurna," kenang Andika.

"Tapi, ia sebagai salah satu tokoh, ini berdasarkan informasi. Begitu saya ketemu, saya jadi ragu, tidak seperti yang saya dengar," tambahnya.

Menurut pandangannya, sosok tersebut begitu lemah, sudah lanjut usia dan difabel.

"Apa mungkin? Akhirnya saya berusaha untuk meluluhkan aja hati, karena dia terbuka kan," ujar Andika.

Sebelumnya, informasi yang sampai kepada Andika dan tim kalau Tgk Bantaqiah dianggap sebagai sosok yang melindungi, memberikan tempat bersembunyi ke kelompok bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

"Saya dekati segala macam, jadi sama sekali tidak saya perlakukan seperti yang di-briefing-kan," kenang Andika.

Setelah sebulan berada di sana, hubungan mereka dengan Tgk Bantaqiah semakin membaik, sosok tersebut malah terbuka memberikan sejumlah informasi.

"Saya lebih percaya kepada hati kecil saya, orang ini gak mungkin (membelot)," kata Andika.

"Berbeda dengan informasi yang saya terima. Dia lebih seperti orang yang terpaksalah,” tambahnya.

Kenal dengan Tgk Bantaqiah membuat Andika dkk malah terbantu mendapatkan banyak informasi penting.

"Sehingga hubungan baik yang sudah bagus itu bisa menemukan ladang ganja yang gak ada orang tahu, tempat persembunyian kelompok bersenjata,” tambahnya.

Meski demikian, eks Panglima TNI itu cukup kecewa mendengar kabar kalau Tgk Bantaqiah dihabisi oleh aparat beberapa tahun setelahnya.

"Beberapa tahun kemudian saya dengar yang bersangkutan ini justru dihabisin, saya begitu mendengar beberapa tahun kemudian rasanya sedih saya,” ungkap Andika.

“Benar-benar sedih, sampai masih ingat ya sekarang," ucapnya sambil mata berkaca-kaca.

Ia masih tidak percaya seorang difabel seperti Tgk Bantaqiah dihabisi dengan tuduhan terlibat GAM.

Sebab dirinya sudah membuktikan sendiri saat tinggal di sana, tidak ada indikasi yang menunjukkan kalau Tgk Bantaqiah sebagaimana yang dicurigai selama ini.

Justru sosok tersebut membantu jalannya operasi Andika dkk di sana.

"Apa iya, apa perlu kita harus habisi gitu lho, itu yang terjadi yang paling memorable," pungkasnya.

(Serambinews.com/Agus Ramadhan)

Baca dan Ikuti Berita Serambinews.com di GOOGLE NEWS 

Bergabunglah Bersama Kami di Saluran WhatsApp SERAMBINEWS.COM 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved