KUPI BEUNGOH
Teumeunak, Media Sosial, dan Tong Sampah Kebencian
Mengapa ruang digital kita begitu toksik? Jawabannya tidak sesederhana “kurang sopan santun” atau “efek anonim” di sosial media.
*) Oleh: Prof. Dr. Mailizar, S.Pd., M.Pd
ACEH hari ini menghadapi paradoks besar di tengah kemajuan teknologi dan akses internet yang semakin luas, ruang digital kita justru dipenuhi oleh teumenak—ujaran kebencian, fitnah, dan caci maki.
Media sosial, yang seharusnya menjadi jembatan pengetahuan dan membangun jaringan, kini lebih mirip tong sampah tempat menumpuknya frustrasi sosial. Ironisnya, teumenak ini tidak hanya dilakukan oleh generasi muda yang sering dianggap “gagal digital”, tetapi juga oleh orang tua yang seharusnya menjadi panutan.
Fenomena ini bukan sekadar gejala permukaan, melainkan cerminan krisis yang lebih dalam yaitu rendahnya kualitas pendidikan dan tingginya pengangguran di Aceh.
Setiap hari, linimasa Tiktok, Facebook, X, hingga grup WhatsApp, dipenuhi narasi saling serang, penghinaan, bahkan ancaman.
Banyak yang mengira, hanya anak muda yang mudah terpancing emosi dan menebar kebencian.
Baca juga: Apakah Kita Masih Perlu Guru di Era AI?
Faktanya, orang tua pun tak kalah—bahkan sering kali lebih keras. Di Aceh, teumenak telah menjadi “bahasa baru” lintas generasi dan dipelihara dalam ruang digital yang semakin liar.
Mengapa ruang digital kita begitu toksik? Jawabannya tidak sesederhana “kurang sopan santun” atau “efek anonim” di sosial media.
Ini adalah hasil dari kombinasi sistemik pendidikan yang gagal membangun nalar kritis, dan pengangguran yang melahirkan generasi frustrasi tanpa arah.
Di sinilah dua karya penting membantu membaca realitas Aceh: Hate Speech and Abusive Behaviour on Social Media: A Cross-Cultural Perspective karya Luiz Valério P. Trindade, dan The Internet of Garbage karya Sarah Jeong.
Trindade, yang alumni University of Southampton, meneliti bagaimana media sosial di negara-negara dengan masalah sosial-ekonomi serupa Aceh, berubah menjadi lahan subur bagi ujaran kebencian.
Ia menegaskan, rendahnya pendidikan dan minimnya literasi digital membuat masyarakat mudah terjebak dalam spiral kebencian.
Media sosial bukan sekadar cermin, tapi juga amplifier—memperbesar suara-suara destruktif yang sebelumnya mungkin hanya terdengar di warung kopi atau pojok kampung.
Sarah Jeong, lewat The Internet of Garbage, bahkan lebih keras: internet hari ini adalah tempat pembuangan sampah digital.
Ia menyoroti bagaimana platform digital gagal mengelola “sampah” ini, membiarkan fitnah, hoaks, dan kebencian tumbuh liar.
Jeong menulis, “Internet is broken because people are broken.” Kalimat ini sangat relevan untuk Aceh.
Ketika pendidikan gagal membentuk karakter dan pengangguran menciptakan generasi tanpa masa depan, media sosial hanya mempercepat proses pembusukan sosial itu sendiri—dan ini bukan hanya soal anak muda, tapi seluruh lapisan masyarakat.
Kedua buku ini, jika dibaca bersamaan, memberi peringatan keras, membiarkan media sosial menjadi tong sampah digital sama saja dengan membiarkan masyarakat Aceh tumbuh dalam budaya kebencian.
Ini bukan sekadar soal reputasi individu yang hancur karena fitnah, tapi soal masa depan Aceh yang dipertaruhkan.
Generasi yang terbiasa dengan ujaran kebencian akan kehilangan empati, kehilangan kemampuan berdialog, dan akhirnya kehilangan kepercayaan pada sesama.
Lebih parah lagi, kondisi ini menciptakan lingkaran setan.
Ujaran kebencian yang dibiarkan akan memperkuat polarisasi, memperdalam jurang sosial, dan pada akhirnya memicu konflik nyata.
Aceh, yang pernah berdarah-darah karena konflik, kini dihadapkan pada ancaman baru, konflik digital yang tak kalah merusak.
Solusinya? Tidak cukup hanya dengan imbauan moral. Kita butuh revolusi pendidikan yang menanamkan pentingnya literasi digital dan nalar kritis sejak dini, untuk semua usia.
Pemerintah harus serius menciptakan lapangan kerja, agar masyarakat punya harapan dan tidak menjadikan media sosial sebagai pelampiasan frustrasi.
Dan yang paling penting, kita semua—pengguna, pendidik, tokoh agama, hingga pembuat kebijakan—harus berani mengakui bahwa media sosial Aceh sedang sakit parah.
Jika tidak ada perubahan, Aceh akan terus terjebak dalam “internet of garbage”, di mana masyarakat tumbuh dalam kubangan kebencian dan pesimisme.
Ini ancaman nyata bagi masa depan Aceh. Saatnya kita bertanya: mau sampai kapan ruang digital kita jadi tong sampah, sementara masyarakat kita perlahan membusuk di dalamnya? (*)
*) PENULIS adalah Guru Besar Teknologi Pembelajaran Matematika, Universitas Syiah Kuala dan Alumni University of Southampton.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.