Kupi Beungoh

Engklek: Bukan Sekadar Lompat Kotak, Tapi Fondasi Emas Tumbuh Kembang Anak

Itulah engklek, permainan tradisional yang telah diwariskan turun-temurun di berbagai daerah Indonesia.

Editor: Firdha Ustin
FOR SERAMBINEWS.COM
dr Imam Maulana 

Oleh: dr Imam Maulana *)

Bayangkan sebuah permainan sederhana di tanah lapang, hanya berbekal kapur dan sebuah batu kecil, namun sarat makna dan manfaat.

Itulah engklek, permainan tradisional yang telah diwariskan turun-temurun di berbagai daerah Indonesia.

Di balik gerakan melompat-lompat yang tampak sepele, tersimpan potensi luar biasa dalam membentuk anak yang sehat secara fisik, cerdas secara kognitif, tangguh secara emosional, dan mulia secara karakter.

Warisan Budaya yang Penuh Nilai Edukasi

Permainan engklek bukanlah permainan biasa.

Akar sejarahnya bahkan menembus peradaban Romawi kuno, lalu menyebar ke Eropa, dan akhirnya beradaptasi di berbagai daerah Nusantara dengan nama dan corak lokal masing-masing, dari Sunda Manda di Jawa Barat hingga Gala Asin di Makassar.

Di balik keragaman itu, satu hal tetap sama: anak-anak melompat di atas kotak-kotak sambil menyeimbangkan diri dan mengatur strategi.

Permainan ini bukan hanya menyenangkan, tapi juga mengasah hampir seluruh aspek perkembangan anak.

ILUSTRASI BERMAIN ENGKLEK
ILUSTRASI BERMAIN ENGKLEK

1. Melatih Tubuh, Menyehatkan Jiwa

Dari sisi motorik, engklek adalah latihan fisik yang sangat lengkap. Melompat dengan satu kaki, menjaga keseimbangan, serta melempar dan mengambil gaco melatih otot kaki, koordinasi, dan refleks tubuh.

Tidak perlu alat canggih atau biaya mahal, cukup halaman kosong dan kreativitas anak. Ini menjadi solusi konkret di tengah kekhawatiran tentang minimnya aktivitas fisik anak-anak era gadget.

Tak hanya tubuh, jiwa pun ikut ditempa. Anak belajar mengatur napas, mengendalikan emosi saat kalah, dan kembali mencoba dengan semangat baru.

Bahkan, ketika harus menunggu giliran, mereka belajar bersabar dan menghormati hak orang lain.

2. Engklek Meningkatkan Kecerdasan Anak

Permainan ini juga kaya manfaat kognitif.

Anak-anak harus mengingat pola, urutan kotak, dan posisi gaco.

Mereka belajar membuat keputusan cepat, menyusun strategi, dan menyelesaikan masalah.

Bahkan, lewat kotak-kotak bernomor, mereka mengenal konsep angka dan ruang secara alami, belajar matematika tanpa buku dan tekanan.

Tak kalah penting, engklek memperkenalkan anak pada aturan dan kedisiplinan. Mereka paham bahwa melanggar garis berarti giliran selesai.

Dari sini, tumbuh kesadaran bahwa setiap tindakan punya konsekuensi. Nilai-nilai ini menjadi fondasi penting bagi pendidikan formal dan kehidupan sosial mereka kelak.

3. Sekolah Sosial Mini di Lapangan Bermain

Engklek adalah tempat belajar sosial terbaik. Anak berinteraksi, berdiskusi, bernegosiasi, dan saling membantu.

Dalam satu permainan, mereka mengalami kompetisi sekaligus kolaborasi.

Ketika menang, mereka belajar rendah hati. Ketika kalah, mereka belajar menerima dan bangkit. Nilai-nilai seperti sportivitas, empati, dan kejujuran lahir secara alami.

4. Lebih dari Hiburan: Engklek Edukatif "EKSIS"

Inovasi bernama EKSIS (Engklek Edukasi Sehat & Islami) adalah bentuk kemajuan dari permainan ini.

Kini, engklek bisa menjadi media pembelajaran tematik yang terstruktur.

Dengan menambahkan zona edukatif bertema “Aku Anak Sehat” dan “Aku Anak Sholeh”, anak-anak tidak hanya bergerak, tapi juga berpikir dan memahami nilai-nilai penting tentang kesehatan remaja, ibadah, dan akhlak.

Ada juga unsur kartu tantangan dan hukuman edukatif seperti menyanyikan lagu nasional atau melafalkan doa.

Anak belajar bahwa kesalahan bukanlah aib, melainkan peluang untuk belajar dan tumbuh.

Resiliensi, manajemen diri, dan nilai-nilai spiritual ditanamkan melalui permainan yang menyenangkan.

5. Tantangan Era Digital: Ketika Anak Tumbuh di Balik Layar

Namun realitas masa kini tak bisa diabaikan.

Anak-anak kini tumbuh dalam ekosistem digital yang serba cepat dan instan.

Menurut data Susenas 2022, hampir 40 persen anak usia 5–12 tahun di Indonesia sudah mengakses gawai setiap hari, dengan durasi rata-rata lebih dari dua jam.

Riset dari American Academy of Pediatrics memperingatkan bahwa paparan layar berlebih pada usia dini dapat mengganggu kualitas tidur, menurunkan fokus, memperlambat perkembangan bahasa, serta meningkatkan risiko gangguan perilaku.

Dalam dunia yang sarat notifikasi, anak-anak semakin jarang bergerak, semakin sedikit berbicara, dan semakin sulit bersosialisasi secara langsung.

Mereka terlatih menyentuh layar, bukan menggenggam tangan temannya; terbiasa menatap animasi, bukan membaca ekspresi lawan bicara. Dunia digital memang tak bisa dihindari, namun harus didampingi.

6. Solusi: Seimbangkan Teknologi dengan Tradisi

Orang tua dan pendidik perlu menjadi navigator digital bagi anak.

Membatasi durasi layar, memilih konten edukatif, dan menciptakan waktu berkualitas tanpa gawai adalah langkah awal yang penting.

Lebih dari itu, menghidupkan kembali permainan tradisional seperti engklek menjadi solusi nyata untuk menyeimbangkan perkembangan anak secara menyeluruh.

Permainan seperti engklek tak hanya mengajak anak bergerak, tapi juga berpikir, tertawa, belajar bersosialisasi, bahkan memaknai nilai moral dan spiritual.

Di sinilah tradisi dan teknologi seharusnya tidak saling meniadakan, tetapi saling melengkapi.

Kembali ke Akar, Menuju Masa Depan

Di tengah gempuran permainan digital yang pasif dan individualistik, engklek menghadirkan alternatif yang murah, mudah, dan kaya manfaat.

Permainan ini seharusnya tidak hanya dipandang sebagai nostalgia masa lalu, tetapi juga sebagai solusi pendidikan masa kini. Sekolah, keluarga, dan komunitas bisa mengintegrasikan engklek, baik versi tradisional maupun "EKSIS", ke dalam program pembelajaran anak.

Karena pada akhirnya, sebuah bangsa tidak hanya dibangun oleh kurikulum atau teknologi, tapi oleh anak-anak yang tumbuh dengan sehat, cerdas, dan berkarakter, dan engklek, siapa sangka, bisa jadi salah satu jalannya.

*) PENULIS adalah Praktisi Kesehatan Mental Remaja dan Direktur Eksekutif GEN-A

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved