KUPI BEUNGOH
Aceh dan Kemerdekaan yang Masih Tertunda
Aceh punya modal besar kekayaan alam, posisi geostrategis, sejarah gemilang, dan identitas kuat sebagai pusat Islam Nusantara
Oleh: Ir. M. Nasir, S.Hut, M.Si*)
Setiap 17 Agustus bangsa Indonesia merayakan Hari Kemerdekaan dengan gegap gempita.
Namun, bagi Aceh, perayaan ini juga menghadirkan pertanyaan reflektif: Apakah kita benar-benar merdeka dalam mengelola sumber daya alam yang melimpah?
Atau justru masih terjebak dalam lingkaran ketergantungan, kemiskinan, dan kehilangan arah pembangunan?
Aceh adalah tanah yang diberkahi. Sejak era Kesultanan hingga kini dikenal dengan kekayaan alam luar biasa: emas, lada, minyak dan gas, rempahperikanan, hutan tropis, hingga energi terbarukan.
Posisi geostrategis Aceh di pintu gerbang Selat Malaka juga menjadikannya simpul perdagangan vital. Peluang besar bagi Aceh menjadi pusat logistik, energi, dan pariwisata halal di kawasan Indo-Pasifik.
Namun realitas jauh dari cerita sejarah. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat kemiskinan Aceh pada Maret 2024 mencapai 14,23 persen—tertinggi di Sumatera.
PDRB per kapita Aceh hanya sekitar Rp 39,2 juta per tahun (USD 2.637), jauh di bawah rata-rata nasional.
Ironis, mengingat Aceh pernah menjadi tulang punggung migas nasional pada era 1970–1980-an melalui LNG Arun yang menjadi primadona ekspor Indonesia.
Baca juga: Kronologis Pelajar Pante Bidari Aceh Timur Tersengat Listrik Usai Upacara Kemerdekaan
Kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata seharusnya memberi ruang bagi rakyat Aceh untuk sejahtera di atas tanahnya sendiri.
Tetapi, apa artinya merdeka jika minyak dan gas hanya menguntungkan pihak luar sementara rakyat masih bergulat dengan kemiskinan? Apa makna kemerdekaan jika setiap tahun kita hanya menunggu alokasi Dana Otonomi Khusus (Otsus).
Dana yang sejak 2008 mengalir rata-rata Rp 8–9 triliun per tahun ternyata belum mampu mengangkat Aceh dari kemiskinan struktural.
Dari Jalur Rempah ke Jalur Migas
Sejarah mencatat, Aceh pernah menjadi poros perdagangan global. Pada abad ke-17, Kesultanan Aceh Darussalam adalah pemasok lada terbesar dunia.
Pelabuhan di pesisir barat dan utara dipenuhi kapal dagang dari Arab, India, Tiongkok, hingga Eropa. Lada sebagai penggerak ekonomi sekaligus alat diplomasi politik.
Kebun lada diperluas hingga ke Sumatera, sementara jalur pengapalan dibuka langsung ke Laut Merah untuk menembus pasar Eropa.
Kemudahan Tanpa Tantangan, Jalan Sunyi Menuju Kemunduran Bangsa |
![]() |
---|
Memaknai Kurikulum Cinta dalam Proses Pembelajaran di MTs Harapan Bangsa Aceh Barat |
![]() |
---|
Haul Ke-1 Tu Sop Jeunieb - Warisan Keberanian, Keterbukaan, dan Cinta tak Henti pada Aceh |
![]() |
---|
Bank Syariah Lebih Mahal: Salah Akad atau Salah Praktik? |
![]() |
---|
Ketika Guru Besar Kedokteran Bersatu untuk Indonesia Sehat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.