Pojok Humam Hamid

Zohran Mamdani dan Anies Baswedan: Apa Beda Queens dan Kampung Bayam?

Kita punya dua tokoh: Zohran Mamdani dari Queens, New York, dan Anies Baswedan dari Jakarta. Dua lelaki dari dua belahan dunia yang sangat berbeda

Editor: Zaenal
Kolase foto FB Anies Baswedan/IG zohrankmamdani
Kolase foto mantan gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan dan calon wali kota New York Zohran K Mamdani. 

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

DUNIA hari ini adalah urbanisasi dan karenanya, dibangunlah kota-kota yang hebat. 

Tentang fenomena pembangunan kota yang tak pernah henti, ada sebuah  pertanyaan sederhana tapi brutal. 

Siapa yang boleh tinggal di kota, tepatnya di wilayah perkotaan? 

Pertanyaan itu mendapat jawaban yang tidak pernah netral. 

Jawaban itu menentukan siapa yang boleh hidup dan siapa yang harus hengkang. 

Siapa yang diberi kunci apartemen dan siapa yang cuma diberi surat penggusuran. 

Di dalam logika kota modern, hak untuk tinggal bukan lagi soal warga negara, tapi soal daya beli. 

Dan dari Jakarta hingga New York, dari Kampung Bayam hingga Queens, cerita itu berulang.

Nadanya sama dengan variasi- bahasa, sistem hukum, dan nuansa politik. 

Namun esensinya tetap saja sama.

Kota menjadi ladang perebutan antara manusia dan modal.

Kota tidak lahir sebagai ruang netral. 

Kota adalah arena pertempuran.

Di sanalah modal menemukan bentuk paling konkritnya, sebagai apartemen, jalan tol, stadion, dan izin bangunan. 

Kota secara substantif adalah  teater hidup dari ideologi yang tidak pernah tidur. 

Bahwa tanah adalah aset, bukan tempat hidup. 

Baca juga: Donald Trump Ancam Tangkap dan Deportasi Zohran Mamdani Calon Wali Kota New York, Ada Apa?

Dua simpul dari narasi yang sama

Dalam sejarah panjang urbanisasi global, New York dan Jakarta bukan dua kutub yang berjauhan. 

Keduanya adalah dua simpul dari narasi yang sama, yakni pergeseran kota menjadi milik elite.

Kota, dimanapun dikelola oleh teknokrat dan birokrat, dan dijaga oleh aparat.

Kita punya dua tokoh: Zohran Mamdani dari Queens, New York, dan Anies Baswedan dari Jakarta.

Dua lelaki dari dua belahan dunia yang sangat berbeda. 

Mamdani anak imigran dari Uganda dan India, besar di lorong-lorong padat Queens. 

Anies cucu pahlawan nasional, didikan universitas elite Amerika, dan mantan Rektor universitas swasta, dan pernah jadi Menteri.

Keduanya tampak seperti dua dunia yang tak bersentuhan.

Namun dalam soal kota, mereka berdiri di garis api yang sama.

Mereka “bersama” warga biasa yang perlahan kehilangan hak dasarnya, walau hanya untuk sekadar tetap tinggal.

Zohran Mamdani adalah anggota parlemen negara bagian New York dari Partai Demokrat Sosialis. 

Ia tidak datang dari struktur kekuasaan, tapi dari arus balik perlawanan akar rumput. 

Ia tidak duduk di kantor wali kota, tapi berdiri di jalanan bersama penyewa apartemen yang menolak kenaikan sewa. 

Mamdani melawan developer, menyuarakan hak warga, dan menolak sumbangan politik dari pengembang properti. 

Dalam sistem politik Amerika yang dikuasai uang kampanye dan lobi korporasi, sikap ini sangat tidak lazim.

Zohran menjadi  bentuk pembangkangan politik yang sangat tidak biasa, untuk tidak mengatakan aneh sekaligus ganjil.

Di Jakarta, Anies Baswedan berada di sisi yang berbeda dari sistem, tetapi nampak di luar tidak sepenuhnya berseberangan dalam visi. 

Sebagai Gubernur, ia memegang kendali atas birokrasi, anggaran, dan otoritas tata ruang. 

Namun ia mencoba menggeser cara kerja sistem itu dari dalam, bukan dengan revolusi, tapi dengan inovasi kebijakan. 

Program DP 0 persen, penataan tanpa penggusuran, dan kampung susun adalah upayanya membalik logika pembangunan.

Dari pembangunan untuk yang hanya unjuk investor menjadi pembangunan untuk warga.

Ia tidak membakar jembatan kekuasaan, tapi menyusun ulang arah lalu lintasnya.

Di sinilah letak tarik-menarik yang unik. 

Mamdani melawan dari luar. 

Anies membenahi dari dalam. 

Mamdani menyerang akar persoalan. 

Ia menghantam koalisi antara modal dan negara yang menjadikan kota sebagai arena akumulasi. 

Anies mencoba menjinakkan koalisi itu. 

Ia mendispilinkan kapitalis pengembang. 

Ia menggunakan bahasa teknokrasi yang disuntikkan dengan etika publik. 

Keduanya tahu betul bahwa kota hari ini dikuasai oleh “koalisi pertumbuhan”, yakni aliansi diam-diam antara pengembang, politisi, dan birokrat. 

Hasilnya adalah kota yang indah di brosur, tapi kejam di lapangan.

Di Queens, Mamdani menghadapi kenyataan bahwa warganya perlahan diusir dari lingkungan tempat mereka tumbuh. 

Gentrifikasi--kata manis untuk proses pengusiran halus--membuat harga sewa naik, komunitas tercerai-berai, dan ruang sosial dibeli oleh pengembang spekulatif. 

Di Kampung Bayam, Jakarta, warganya justru digusur secara langsung demi membangun.

Sebuah megaproyek yang dijanjikan membawa kebanggaan, tapi justru menyingkirkan mereka yang selama ini tinggal di sekitar stadion itu.

Yang membuat Anies berbeda dari rezim sebelumnya adalah janji akan keadilan spasial.

Ia membangun kampung susun, hunian vertikal modern bagi warga terdampak penggusuran. 

Ini bukan hanya soal tempat tinggal, tapi simbol bahwa warga kecil punya hak untuk tidak terusir dari kota. 

Namun seperti banyak eksperimen sosial lainnya, janji itu patah di tengah jalan. 

Saat Anies tak lagi menjabat, kampung susun itu dibiarkan kosong. 

Warganya dilarang masuk. 

Proyek itu kehilangan nyawanya, karena politik kota tidak mengenal memori.

Yang ada hanya untung rugi.

Sementara itu, Mamdani tetap bersuara lantang. 

Ia tahu sistem tidak bisa diandalkan untuk menyelamatkan warga kecil.

Maka ia membangun kekuatan dari bawah. 

Ia bersama komunitas, solidaritas, dan undang-undang yang melindungi penyewa. 

Ia sadar bahwa kota hari ini tidak bisa ditaklukkan hanya dengan niat baik, tapi dengan konsistensi dan konfrontasi. 

Politik kota, bagi Mamdani, bukan soal menciptakan keseimbangan, tapi soal keberpihakan. 

Ia tidak bicara tentang “semua pihak harus diakomodasi,” tapi tentang siapa yang selama ini diam-diam dikorbankan.

Baca juga: Zohran Mamdani: Sisi Kelam Demokrasi Amerika

Benturan antara dua ruang

Dalam pandangan ahli ekonomi politik perkotaan kondang, David Harvey, kota hari ini adalah mesin akumulasi kapital-uang. 

Urbanisasi bukan sekadar proses pertumbuhan fisik, tapi proyek ideologis. 

Pembangunan kota menciptakan ruang baru untuk menyerap kelebihan kapital, kelebihan uang korporasi.

Gedung-gedung dibangun bukan karena dibutuhkan, tapi karena uang korporasi perlu tempat parkir. 

Harvey menyebut ini sebagai “spatial fix”--cara kapitalisme mengatasi krisisnya-- kelebihan uang, stagnasi keuangan, dengan cara mengalirkan ke tempat lain dengan membentuk ruang baru, lalu mengisinya dengan nilai-nilai lama kapital. 

Nilai lama itu adalah kompetisi, privatisasi, eksklusif. 

Dalam kerangka ini, Mamdani menolak logika tersebut. 

Anies mencoba mengakali dengan proses daur ulang.

Bagi Manuel Castells- sosiolog kota berkebangsaan Spanyol, kota seperti New York dan Jakarta adalah benturan antara dua ruang. 

Ada ruang arus “space of flows” -arus modal global, teknologi, dan elite transnasional dan ruang lokasi fisik, tempat “space of places” -pengalaman lokal, komunitas, dan identitas warga. 

Mamdani berdiri di ruang pengalaman, berusaha mempertahankan makna tempat yang dirampas oleh arus investasi. 

Ia berdiri bersama warga kota, memepertahankan hak mereka.

Anies mencoba menjembatani keduanya, menciptakan kebijakan yang membuat arus modal tetap bergerak, tapi tanpa menghapus jejak warga yang lebih dulu tinggal.

Namun dunia hari ini tidak menunggu reformis atau revolusioner. 

Kota-kota terus bergerak ke arah yang semakin dingin. 

Apartemen mewah dibangun bukan untuk ditinggali, tapi untuk disimpan sebagai aset. 

Jalanan diperlebar bukan untuk pejalan kaki, tapi untuk kendaraan listrik para kelas menengah atas. 

Stadion dibangun bukan untuk rakyat, tapi untuk demonstrasi pejabat publik punya prestasi.

Kota bukan lagi rumah bersama, tapi telah terlanjur menjadi katalog investasi.

Berdiri di garis yang sama

Anies dan Mamdani, meski berbeda jalan, berdiri di garis yang sama. 

Mereka mempertanyakan kota yang telah terlanjur dirajut  menjadi ruang-ruang eksklusif. 

Mereka berdua  adalah spesies sisa dari politik yang masih percaya bahwa kota harus adil, bahwa hak untuk tinggal tidak boleh ditentukan oleh rekening bank.

Bagi Anies dan Mamdani pembangunan tidak boleh dibayar dengan penghapusan komunitas.

Kedua mereka adalah bentuk politik yang mulai langka--politik yang punya keberpihakan moral, bukan sekadar retorika teknokratik.

Tentu saja, keduanya tidak sempurna. 

Mamdani belum bisa menghentikan semua penggusuran.

Anies belum mampu melindungi  kampung, bahkan Kampung Bayam sekalipun .

Tapi dalam dunia yang makin sinis terhadap perubahan, bahkan sedikit keberanian yang dimiliki Mamdani dan Anies untuk melawan arus pun layak dihormati. 

Mereka bukan penyelamat, tapi pengingat. 

Proklamasi keras kedua mereka tentang perkotaan, bahwa kota punya jiwa, dan jiwa itu harus diperjuangkan.

Dalam waktu dekat, kota-kota akan terus tumbuh, harga tanah akan makin menggila, dan warga kecil akan semakin terdesak. 

Tapi pertanyaan dasarnya tetap sama.

Siapa yang berhak tinggal di kota? 

Jika jawabannya hanya “mereka yang mampu beli,” maka kota telah gagal. 

Bukan hanya sebagai sistem, tapi sebagai peradaban. 

Perjuangan seperti Mamdani dan Anies akan menjadi pengingat, bahwa cara yang paling mudah untuk mengukur punah atau belanjutnya peradaban, adalah dengan melihat, bagaimana dan untuk siapa kota dibangun?

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.

 

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved